Tidak Hanya Soal Politik Transaksional, Pemilihan Wakil Bupati Ende Perlu Perhatikan Sisi Deliberasi dan Representasi

Minggu, 04 April 2021 17:48 WIB

Penulis:redaksi

gusti 3.JPG
Gusti T

Agustinus Tetiro, Koordinator Kelompok Studi ‘Ende Bergerak’. (Foto: koleksi pribadi).

JAKARTA (Floresku.com) – Posisi wakil bupati Ende yang masih lowong hingga saat ini disinyalir sebagai tidak canggihnya para wakil rakyat di daerah dalam memenangkan pendapatnya di ruang rapat. Ini tentu saja menjadi indikator awal kadar intelektual dan kemampuan retorika serta debat para wakil rakyat dan eksekutif di daerah.

“Solusi atas persoalan kursi wakil bupati yang kosong harusnya bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ruang gerak untuk politik transaksional sebenarnya sudah menyempit, karena posisi itu dipilih langsung oleh anggota DPRD. Apakah transaksi politik masih terjadi di antara para wakil rakyat di daerah?,” demikian komentar dan pertanyaan retoris koordinator kelompok studi Ende Bergerak Agustinus Tetiro saat dihubungi secara langsung oleh Floresku.com, di Jakarta (Minggu, 04/04)

Menurut Agustinus, pemilihan wakil bupati Ende tidak boleh berdasarkan pertimbangan politik transaksional. Karena, bagaimanapun, politik transaksional mengindikasikan suatu penyakit akut dari demokrasi yaitu mandeknya kerja otak dan akal budi serta matinya kesadaran etis para politisi.

“Selentingan di luar kita dengar kalau calon wakil bupati Ende harus merogoh gocek hingga 5 atau 6 miliar rupiah. Duh, mau ambil uang darimana itu? Ya, semoga tidak benar. Jika kabar angin itu benar, berarti hampir dipastikan akan ada pertarungan para pemilik modal, yang tentu saja pada gilirannya merusak demokrasi,” jelas putera asli Ende-Lio yang sering disapa dengan nama kecil Gusti ini.

Gusti mengungkapkan, selain harus anti-politik transaksional, pemilihan wakil bupati Ende perlu mempertimbangkan sisi deliberasi dan sisi representasi. Deliberasi mengandaikan adanya suasana diskusi yang komunikatif antarpara anggota DPRD dari berbagai partai politik, terutama parpol pendukung Marsel-Jaffar. Politik deliberatif model ini hanya bisa dilakukan pada level intelektual tertentu yang diandaikan seimbang atau setara antaranggota DPRD.  

“Para anggota DPRD harus mampu bertukar pikiran secara fair dengan agenda utama pada kepentingan rakyat kabupaten Ende. Kepentingan pribadi dan kepentingan parpol masing-masing harus ditekan untuk sementara. Jika tidak, maka setiap rapat tidak akan menghasilkan butir-butir solusi yang efektif,” ungkap Gusti.

Sementara itu, pemilihan wakil bupati Ende harus memenuhi syarat representasi atau perwakilan. Politik representasi menjadi urgent untuk menjaga keseimbangan publik. “Jika memang sudah tidak ada calon yang memenuhi kriteria, maka pilihan jatuh pada minus malum: memilih orang dengan keburukan paling sedikit. Itu pun harus dengan mempertimbangkan berbagai latar belakang sang calon,” ujar Gusti. 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kabupaten Ende dihuni oleh masyarakat dari dua suku besar yakni Ende dan Lio. Begitu juga dari sisi agama ada komposisi yang hampir berimbang antara pemeluk agama Islam dan Katolik di kota Ende.

“Tanpa perlu jatuh pada penyebutan kelompok tertentu, saya hanya ingin memastikan bahwa semua kelompok masyarakat kabupaten Ende harus merasa suaranya terwakilkan baik di legislatif maupun di eksekutif dan birokrasi. Jangan sampai ada kesan dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain dalam pengisian pos-pos penting di pemerintahan,” tegas Gusti.

Gusti berharap, ke depan, atmosfer diskusi publik yang terbuka bukan menjadi hal yang tabu di Ende. “Hanya dengan diskusi public anggota DPRD dan eksekutif pada gilirannya bisa menemukan solusi-solusi kreatif atas mentoknya rapat yang penuh agenda politik praktis dan politik sentimental,” tanda Gusti. (*)