CERPEN Susan: Surat Cinta yang Terakhir
redaksi - Sabtu, 12 Februari 2022 10:25AKU mengintip di balik pohon pisang yang bertumbuh di atas bukit, agak jauh dari wanita separuh baya itu. Ia masih bersimpuh di sana. Di antara ratusan rumah penghuni abadi. Wajahnya terlihat serius. Sesekali tangannya bergerak membersihkan untaian kertas-kertas, daun-daun jambu yang menempel tepat di atas rumah itu.
Sesaat setelah itu, aku melihat wanita separuh baya itu menggapai sebuah belpoin dan seuntai kertas dari saku jacket yang dipakainya. Terlihat pena itu menari-nari di atas kertas putih.
Yah, dia menggoresakn tinta ke selembar kertas yang ia bawa dari rumah. Sembari menggoreskan, terlihat sebutir tetesan air mata di pelupuk matanya. Tetetesan air mata itu semakin mengalir dengan deras ke pipi-pipi ranumnya. Aku yakin, dia pasti menulis surat !!.
Ribuan detik dan ratusan menit pun berlalu. Dia sudah menyelesaikan goresannya dan memasukannya kedalam amplop putih bersih. Aku penasaran dengn isi goresan itu.
Tetapi, aku pun tetap berdiri kokoh di balik pohon pisang. Tak ku hirau sapaan orang-orang yang lewat di jalan tepat di samping aku berdiri.
Wanita separuh baya pun berdiri dan meletakkan amplop putih tepat di atas kepala rumah itu, sambil tersenyum dan sedikit terlihat bibir ranum itu berbicara lalu beranjak pergi dan meninggalkan ratusan rumah-rumah itu.
Ketika sudah tak terlihat lagi, aku melangkah dengan penuh kehati-hatian mendekati tempat di mana dia meletakan amplop putih itu. Sesampai di rumah penghuni abadi itu, aku meraih amplop putih itu, membuka lalu membacanya.
Kepada Ferdinand ,
Ketika menulis surat ini, suasana di sekelilingku sangat sepi. Hanya saja senja di pelupuk bukit itu yang tampak. Memang aku tak berpikir sebelumnya bahwa kesepian ini kami rasakan setiap hari.
Sunyi, senyap dan bahkan suara angin pun tak terdengar olehmu.
Aku berpikir, bahwa aku istri yang tak berguna bagimu. Tak menemanimu di saat kesendirian. Maafkan aku hanya datang sekali setahun di rumahmu. Hanya untuk melepas kerinduanku padamu.
Jujur, aku benar-benar rindu.
Detik ini aku ingin menceritakan banyak hal kepada dirimu. Tentang perjuangan seorang diriku menghidupi anak-anak kita. Ingin menyekolahkan mereka.
Aku masih ingat, kita berdua pernah merencanakan bahwa si Sulung harus menempuh pendidikan di Seminari. Kita bertengkar hebat, lantaran aku tak menyetujui hal itu. Sebab, biaya pendidikan sangatlah mahal.
Akan tetapi, dirimu percaya atau tidak aku telah menyekolahkan mereka walaupun tak mengenyam pendidikan di Seminari. Yah, walau sepenuhnya aku sadar aku tak mungkin bisa membiayai pendidikan mereka sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Aku ingin kamu tahu, bahwa perjuanganku sangatlah sulit. Setidaknya kamu terkesan dengan perjuanganku Ferdinand.
Ferdinand, aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku hanya ingin bersamamu. Menghidupi anak-anak kita yang kini duduk di bangku sekolah. Sekarang, kau hanya berada di tempat lain dan tak seperti diriku yang hidup dengan penuh penderitaan.
Aku ingin merasakan betapa bahagia kita berdua di saat-saat keberhasilan anak-anak kita..
Ferdinand.
Ketahuilah bahwa hanya namamu yang kuperbincangkan dengan Tuhan. Berbicara tentangmu akan menguatkan jiwaku untuk menghidupi anak-anak kita."
Setelah aku membaca surat itu, aku merasakan sesuatu yang tak bisa kujelaskan kepada diri sendiri…
Air mataku tumpah tak beraturan. Ibu, begitu telah menghidupi aku dan adik-adikku dengan kasih sayang yang luar biasa.
Dengan perjuangan seorang diri, ibu telah rela hidup dalam kesendirian tanpa di temani ayah yang kian tiada.. kataku dalam hati. ***