Du'a Ngga'e sebagai Wujud Tertinggi dalam Keyakinan Masyarakat Ende-Lio

redaksi - Rabu, 02 Juli 2025 08:57
Du'a Ngga'e sebagai Wujud Tertinggi  dalam Keyakinan Masyarakat Ende-LioKampung Adat Wologa'i, di tengah kampung terdapat tempat sakral untuk memuja Du’a Ngga’e (sumber: Istimewa)

Oleh: Frater Boy Waro

Pendahuluan

Akal budi manusia pada hakekatnya terbatas. Karena keterbatasan itulah, manusia tidak mampu memahami realitas kehidupan seluruhnya. 

Keterbatasan itu pada akhirnya mengantar manusia pada keyakinan atau kepercayaan akan adanya suatu wujud tertinggi sebagai sumber dan pengatur kehidupan serta segala sesuatu yang ada. 

Dalam pelbagai agama dan kebudayaan wujud tertinggi itu disebut dengan berbagai nama pula seperti Tuhan, Allah, Yahwe, God, dan sebagainya.

Masyarakat Ende-Lio sebagai suatu komunitas masyarakat yang memiliki sistem kebudayaan yang khas juga meyakini adanya suatu wujud tertinggi sebagai sumber dan pengatur kehidupan mereka. 

Masyarakat Ende-Lio mengenal wujud tertinggi tersebut dengan sebutan Du’a Ngga’e. Masyarakat Ende-Lio sudah mengenal Du'a Ngga'e jauh sebelum kekristenan diperkenalkan. 

Keyakinan akan adanya wujud tertinggi tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk seperti ritus, doa, nyanyian, tarian, simbol, dan lain-lain. Keyakinan tersebut juga dibuktikan dalam kehadiran Kanga (ruang sakral) yang disediakan bagi wujud tertinggi yakni Du’a Ngga’e.[1]

Pembahasan

Du’a Ngga’e dalam bahasa Ende-Lio merupakan sebutan untuk wujud tertinggi. Du’a Ngga’e terdiri dari dua suku kata yakni Du’a dan Ngga’e. Kata Du’a dapat diartikan sebagai 'yang tua', 'yang sulung', atau 'yang tertingggi'. 

Kata Ngga’e berarti 'pemilik' atau 'penguasa'. Jadi Du’a Ngga’e dapat diartikan sebagai yang tua, yang sulung, atau yang tertinggi sebagai pemilik atau penguasa. 

Masyarakat Ende-Lio juga sering menyebut wujud tertinggi ini secara lengkap dengan sebutan Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana, yang dapat diartikan sebagai “Yang pertama sebagai penguasa langit (di atas), dan pemilik tanah  (bumi) di bawah”.[2] Dalam konteks pengertian tersebut Du’a Ngga’e dapat diartikan sebagai Tuhan penguasa langit dan bumi. 

 Pengenalan akan Du’a Ngga’e sebagai wujud tertinggi oleh masyarakat Ende-Lio lahir dari sejarah dan refleksi masyarakat Ende-Lio akan pengalaman mistiknya atas keagungan dan sakralitas wujud tertinggi tersebut. 

Pengalaman mistik ini kemudian dituangkan dalam berbagai model ritual adat istiadat lokal setempat. Pengenalan akan realitas tertinggi dalam kebudayaan lokal merupakan sebuah kesadaran akan Allah yang menyatakan diri. 

Pengenalan tersebut pertama-tama terjadi dalam keseharian masyarakat Ende-Lio dalam relasinya dengan alam. Bermula dari kekaguman akan alam semesta, masyarakat Ende-Lio meyakini bahwa di balik semua realitas tersebut terdapat kekuatan lain yang bersifat ilahi yang melampaui manusia. 

Kuasa ilahi  disebut Du’a Ngga’e tersebut tidak lain adalah Allah yang Esa yang diyakini dalam iman Kristiani sebagai Dia yang hadir dan campur tangan dalam kehidupan manusia. 

Dalam iman Kristiani Allah adalah penentu kehidupan yang ada dalam pusaran waktu dan segala sesuatu berada dalam Dia dan dikendalikan oleh-Nya. Allah dalam refleksi masyarakat Ende-Lio adalah Allah yang dekat dan berdialog dengan manusia ciptaannya. Allah yang demikian senantiasa ada bersama manusia dan memperhatikan kehidupan manusia. 

Kedekatan Allah dengan manusia terdapat dalam sebutan Du’a Gheta Lulu Wula Ngga’e Ghale Wena Tana (Allah yang bertakhta di surga dan Allah yang berkuasa atas bumi). 

Du'a dan Ngga'e tampaknya terpisah namun keduannya dipahami oleh orang Ende-Lio sebagai realitas tertinggi yang melampau manusia. Gheta Lulu Wula adalah simbol dari Allah yang bersemayam di atas singgasana, sedangkan ghale wena tana artinya Allah yang ada di bumi. 

Kesatuan keduanya disebut oleh masyarakat Ende-Lio sebagai Du’a Ngga’e. Du’a gheta lulu wula adalah refleksi orang Lio tentang Allah sebagai Sang Pencipta.[3] Allah yang memiliki kuasa atas segala kehidupan dan memiliki kekuatan yang agung dan dasyat. 

Orang Ende-Lio mengumpamakan Allah seperti awan yang kedatangannya tidak diketahui. Ia berasal dari tempat yang sama sekali tidak dimengerti dan diketahui oleh manusia. Ia telah ada sebelum segala sesuatu ada dan dijadikan.  

Bagi masyarakat Ende-Lio Allah penuh dengan misteri. Untuk menyembah Allah yang demikian sakral, masyarakat Ende-Lio membangun tempat khusus bagi Allah.[4] 

Ngga’e Ghale Wena Tana (Allah yang ada di bumi) merupakan sebuah konsep religiusitas masyarakat Ende-Lio akan Allah yang hidup berdampingan dengan manusia, yaitu Allah yang dekat dengan manusia dan terlibat aktif dalam kehidupan manusia. 

Allah yang tidak memisahkan diri dari segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Meskipun berwujud Roh, Allah memiliki energi atau sifatsifat manusiawi, seperti lemah lembut, berbelaskasihan, baik, adil dan juga menghukum mereka yang berbuat jahat. 

Pemahaman akan sifat-sifat Allah itu kemudian melahirkan ritual-ritual adat. Salah satu contoh ritual adat tersebut terdapat dalam upacara Nggua Bapu. Upacara panen raya tersebut merupakan bentuk pengucapan syukur atas segala keberhasilan dalam bercocok tanam. 

Masyarakat Ende-Lio percaya bahwa segala keberhasilan yang diperoleh merupakan berkat campur tangan Allah Yang Maha Kuasa, yaitu Du’a Ngga’e.

Masyarakat Ende-Lio percaya bahwa bumi dan segala isinya dibentuk dan dikendalikan oleh Du'a Ngga’e. Maka nama Du’a Ngga'e selalu disebutkan dalam ritual atau upacara adat suku Ende-Lio. Du’a Ngga’e memang tidak berwujud, namun kekuatannya nyata dalam kehidupan Masyarakat Ende-Lio. 

Oleh karena itu masyarakat Ende-Lio membuat tempat khusus yang disakralkan bagi Du’a Ngga’e yang disebut kanga. Di tempat inilah para mosalaki (kepala adat/suku) melakukan pemujaan dan penyembahan kepada Du’a Ngga’e. 

Kanga itu sendiri biasanya terletak di tengah-tengah perkampungan suku Ende-Lio. 

Kanga menjadi tempat bagi orang Ende-Lio melakukan acara panen raya atau pesta adat sebagai tanda ucapan syukur kepada Du’a Ngga’e. Hal yang sama pun terjadi jika musim kering yang berkepanjangan tiba; Kanga menjadi tempat di mana para mosalaki berkeluh kesah. 

Namun, tidak semua orang bisa melakukan “sembahyang” kepada Du’a Ngga’e di Kanga sebab hanya mosalaki yang memiliki hak dan wewenang untuk tugas tersebut. Kanga merupakan tempat yang sangat dihormati oleh orang Ende-Lio karena menjadi tempat bersemayam Yang Mahakudus. 

Orang dilarang berbicara keras atau berjalan tidak sopan ketika melewati Kanga. Jika Kanga mulai rusak dan memerlukan perbaikan, maka hanya mosalaki atau tua-tua adat saja yang apat memperbaikinya. Artinya, tidak semua orang diizinkan untuk membersihkan dan memperbaiki tempat tersebut. 

Segala macam fungsi, kegunaan, dan seluruh persoalan yang berkaitan dengan Kanga, hanya diketahui oleh seorang mosalaki. Maka tidak heran jika hingga saat ini, banyak orang Ende-Lio yang tidak sungguh-sungguh paham tentang Kanga. Hal ini merupakan dampak dari sakralitas Kanga yang hanya dieksklusifkan kepada mosalaki.[5]

Kesimpulan

  Kebudayaan Ende-Lio adalah hidup manusia Ende-Lio itu sendiri. Di sana tergambar jelas relasi mereka dengan Du’a Ngga’e sebagai wujud tertinggi yang tampak dalam upcara adat atau pun ritus-ritus di Kanga

Kesadaran ini mengungkapkan keyakinan masyarakat Ende-Lio akan adanya wujud tertinggi yang menjadi asal muasal segala sesuatu dan pusat hidup mereka. Oleh karena itu, sebagai sebuah produk kebudayaan yang mengandung nilai luhur dan mulia, praktik religiusitas akan Du’a Ngga’e sebagai realitas tertinggi mesti dijaga dan dipelihara terus menerus. 

Keyakinan masyarakat Ende-Lio akan Dua Nggae sudah ada jauh sebelum agama-agama modern seperti Kristen diperkenalkan. Oleh karena itu, Gereja Katolik sebagai sebuah institusi religius yang masuk dalam kebudayaan suku Ende-Lio, Flores, sejatinya harus tetap menghormati dan menghargai kebudayaan lokal setempat. 

Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam praktik pemujaan terhadap Du’a Ngga’e sebagi wujud tertinggi atau Yang Mahakudus, tidak serta merta dihapus karena dianggap menyesatkan iman akan Allah. 

Gereja mesti melakukan dialog dengan kebudayaan lokal setempat sehingga iman yang ditaburkan Gereja bisa bertumbuh dalam corak kebudayaannya yang khas, yakni dalam kebudayaan masyarkat Ende-Lio. 

Hal ini didasarkan pada keyakinan Gereja bahwa Allah juga menyatakan diri dalam kebudayaan manusia manapun, termasuk dalam praktik keyakinan terhadap Du’a Ngga’e dalam masyarakat Ende-Lio.*

Catatan kaki:

[1]Mathias Jebaru Adon, Siklus Rikardus Depa, Vinsensius Rixnaldi Masut, “Hubungan Antara Konsep Du’a Ngga’e Sebagai Realitas Tertinggi Suku Ende-Lio dengan Iman Kristiani”, Jurnal Studi Agama-agama, 7:2 (Al-Hikmah, November 2021), hlm. 258.

[2]Hasil Wawancara dengan bapak Ambros Gharu via telepon pada Kamis, 13 April 2023.

[3]Aloysius Santo Ndate, Sai Miu? Ata Nggela Lio-Ende, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2022), hlm.327.

[4]Mathias Jebaru Adon, dkk,  op. cit., hlm. 262-263.

[5]Ibid., hlm. 259. *

*Frater Boy Waro adalah mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere**

Editor: redaksi

RELATED NEWS