HOMILI, Minggu, 10 November 2024

redaksi - Sabtu, 09 November 2024 14:24
HOMILI, Minggu, 10 November 2024Pater Gregor Nule SVD (sumber: Dokpri)

Oleh: Pater Gregor Nule, SVD

 MEMBERI DENGAN TULUS ADALAH UNGKAPAN CINTA YANG SEJATI
 Minggu Biasa XXXII B: (1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12:42-44)

Ilustrasi:    
Setiap hari Ibu Teresa selalu memberi makan kepada sekitar 9.000 orang miskin di Kalkuta. Pada suatu hari satu pasangan suami-isteri dari kasta tinggi di India datang ke Komunitas ibu Teresa  dan menyerahkan sejumlah besar uang bagi orang-orang miskin.

 Pasangan muda itu berharap agar uang mereka dipergunakan untuk membeli makanan bagi orang-orang itu. 

Ibu Teresa  bertanya, “Dari mana kamu mendapat uang sebanyak ini?” Mereka menjawab, “Dua hari yang lalu kami menikah. Sebelum menikah kami  telah memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan uang guna membeli busana pernikahan yang mewah dan mengadakan perjamuan yang besar. Kami ingin agar  uang yang telah disiapkan untuk pernikahan kami diberikan kepada orang-orang miskin”, 

Perlu kita ketahui bahwa bagi orang India dari kasta tinggi, tidak mengadakan pesta nikah dengan segala kemegahannya merupakan suatu skandal besar. Keluarga, sahabat dan kaum kerabat tidak dapat membayangkan suatu pernikahan tanpa gaun mewah dan pesta yang meriah. 

Maka Ibu Teresa bertanya lagi, ‘Mengapa kamu memberikan kepada kami seluruh uang itu? Dan jawaban mereka sungguh mengagumkan, “Kami sungguh rasakan betapa besar cinta Tuhan kepada kami  sehingga Ia telah mempertemukan kami berdua. 

Kami sungguh saling mencintai. Cinta Tuhan dan cinta kami berdua sudah cukup bagi kami. Hal-hal lain tidak  kami butuhkan sekarang. Cinta Tuhan yang telah kami peroleh ingin kami bagi-bagikan kepada orang lain, terlebih kepada mereka yang sangat membutuhkan perhatian penuh kasih itu”. 

Ibu Teresa dari Kalkuta

Refleksi 
Bacaan-bacaan hari ini melukiskan tentang kemurahan hati dan kerelaan memberi dari  dua orang janda miskin. Mereka rela melepaskan segalanya  dengan tulus. Mereka memberikan apa yang sebetulnya sangat mereka butuhkan untuk hidup sehari atau beberapa hari.

Janda dari Sarfat, negeri Fenesia, Libanon, dalam bacaan pertama, rela memberi makan dan minum kepada Elia yang lapar dan haus dalam perjalanannya. Padahal janda itu hanya punya segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli sebagai jaminan hidup untuk sehari bagi dirinya dan anaknya. 

Meski demikian ia rela melayani Elia, orang asing itu. Ia tidak sedikit pun memikirkan tentang nasibnya dan anaknya. Ia tidak peduli akan apa yang akan mereka makan dan minum. Baginya yang terpenting adalah melayani orang asing yang haus dan lapar itu. 

Injil menampilkan seorang janda miskin lain, tanpa nama, asal, dan tanpa identitas jelas. Tetapi ia melakukan suatu tindakan besar dan mengagumkan. Ia memasukkan dua peser, yaitu semua yang ada padanya ke dalam peti persembahan. Ia memberikan semua yang dimilikinya sebagai persembahan kepada Allah dan kenisah.

Tindakan janda miskin ini menunjukkan betapa besar imannya. Dia mempercayakan dirinya secara penuh kepada Allah. Dia sungguh mengandalkan Allah, pemberi segala. Karena dia yakin bahwa Allah selalu dan akan terus  mengembalikan dalam kelimpahan  semua yang telah ia berikan dengan rela. Ia tidak akan berkekurangan apa pun jika senantiasa mengandalkan dan berpasrah kepada Tuhan.

Ilustrasi dan kedua bacaan di atas sungguh menginspirasi dan sekaligus menantang kita. Bagi orang kirsten sejati, iman kepada Allah dan kasih kepada sesama, khususnya mereka yang miskin dan sangat membutuhkan hendaknya menjadi pilihan utama. 

Dan iman yang sejati kepada Allah dan kasih yang tulus kepada sesama mesti nyata dalam hidup sehari-hari. 

Karena itu, ada dua pesan penting yang perlu kita renungkan.  Pertama, belajar memberi dengan tulus. Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa orang kaya lebih mudah memberi karena punya kelebihan, sedangkan orang miskin sulit berbagi karena tidak punya banyak, dan yang dimililkinya tidak cukup bahkan untuk dirinya sendiri. 

Tetapi, pasangan nikah dalam ilustrasi di atas dan kedua janda miskin menunjukkan suatu kebenaran lain. Bahwa entah miskin atau kaya, entah punya banyak atau sedikit, yang paling penting adalah memiliki hati yang rela memberi dan mau berbagi. 

Dalam hidup sehari-hari ada orang kaya yang punya hati terbuka dan mau berbagi dengan orang lain atau kelompok yang sungguh membutuhkan. Tetapi ada juga orang berada yang tidak mudah membuka tangan dan hati untuk memberi dan berbagi.  

Demikian pun, ada orang miskin yang sebetulnya tidak punya banyak, tetapi punya hati penuh kasih maka ia mau memberi kepada orang lain yang lebih miskin. Sebaliknya, ada juga orang miskin yang selalu mengeluh dan menjadikan kenyataan kemiskinannya sebagai alasan untuk menutup diri dan tidak memberi apa pun kepada siapa pun. 

Kedua, belajar menjadi  bijaksana dalam menggunakan harta milik yang adalah pemberian Tuhan.  Kadang-kadang ada orang yang berpikir bahwa harta dan kekayaan yang ada padanya adalah hak milik pribadinya. Maka ia bisa gunakannya demi kepentingan dan kesenangannya  sendiri sesuai rencananya, tanpa peduli dengan orang lain. 

Menurut saya, harta dan kekayaan yang kita miliki sebetulnya merupakan “pimjaman” dari Tuhan. Maka hendaknya kita gunakan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggungjawab untuk  memenuhi kebutuhan diri, keluarga serta  melayani sesama dan mengabdi Tuhan. 

Pasangan nikah di atas memberikan kita sebuah pelajaran berharga. Mereka putuskan untuk lakukan sesuatu yang melawan adat dan tradisi keluarga, bahkan merupakan sebuah skandal besar, yakni tidak membeli gaun mewah dan membuat resepsi nikah, hanya untuk melayani orang-orang miskin dengan uang nikah yang telah mereka siapkan.

Mungkin terkadang karena gengsi, status sosial dan supaya dianggap hebat, serta disanjung-sanjung maka kita gunakan uang dan kekayaan  untuk berfoya-foya. Kita merayakan pesta HUT kelahiran, atau pesta nikah, atau pesta Komuni Pertama, atau pesta perak imamat atau hidup membiara secara besar-besaran. 

Mungkin kita anggap hal itu biasa karena  sudah sesuai dengan rencana. Tetapi, di sekitar kita  ada begitu banyak orang miskin dan anak-anak terlantar, atau korban bencana alam yang membutuhkan sesuap nasi dan sedikit uang untuk membiayai pendidikan dan kesehatan mereka. 

Mata dan hati kita buta terhadap penderitaan orang-orang kecil dan miskin. Telinga kita tuli terhadap tangisan dan suara permohonan mereka.

Oleh jarena itu, mari kita berusaha bermurah hati dan berbagi kepada sesama, dalam keadaan apa pun, miskin atau kaya. Sebab orang yang rela memberi dari kekurangan akan menerima pada saat ia berkekurangan.

 Dan, orang yang rela berkorban akan memperoleh balasan yang melimpah dari Allah pada waktunya. Amen.

Kewapante, 10 November 2024. ***

 

 

 

 

RELATED NEWS