Kasus Korupsi, Politisasi Birokrasi dan Gerakan 'Civil Society' (Sekedar Mengingatkan Jelang Pileg dan Pilkada Ende)

redaksi - Jumat, 08 September 2023 12:47
Kasus Korupsi, Politisasi Birokrasi dan Gerakan 'Civil Society' (Sekedar Mengingatkan Jelang Pileg dan Pilkada Ende)Steph Tupeng Witin (sumber: Dokpri)

Oleh Steph Tupeng Witin*

 KONSTELASI politik-birokrasi menjelang akhir masa kekuasaan Bupati Ahmad Djafar dan momen menjelang pesta demokrasi 2024 pantas untuk dicermati secara kritis. 

Kekuasaan bupati dan anggota DPRD memang akan berakhir tapi jejak korupsi yang ditinggalkan tidak boleh dilupakan atau dibiarkan menguap ke langit Ende yang sudah kotor. 

Kita menulis ini dengan dasar argumentasi bahwa bupati dan anggota DPRD adalah jabatan publik karena orang-orang ini digaji dan menikmati privilese istimewa akibat sepotong kepercayaan rakyat. 

Kinerja yang baik pantas diapresiasi tapi kelakuan koruptif yang berujung semakin kelamnya derita rakyat, tidak pernah boleh dilupakan, apalagi dikuburkan di alam bawah sadar.

Rakyat Ende tentu tidak terkejut apalagi merasa sebagai soal baru bahwa para politisi dan birokrat di Ende telah lama menjadi bulan-bulanan kasus korupsi yang hingga detik ini mayoritasnya “berlabuh” di Polres Ende atau Kejari Ende. 

Rakyat Ende menduga kuat, kedua institusi penegak hukum di Ende ini telah menjadi “tong sampah” kasus korupsi berjemaah. 

Orang-orang kecil, termasuk di dalamnya pegawai kecil sangat lancar proses hukum kasus korupsi meski berskala kecil. 

Tapi kelompok elite seperti DPRD Ende yang menjadi pengurus KONI Ende yang diduga sangat kuat terlibat dalam kasus korupsi dana KONI senilai Rp2,1 miliar, hingga detik ini masih mengendap di laci Polres Ende. 

Dalam kasus dugaan korupsi dana KONI Ende, publik mesti tahu bahwa ada tiga nama anggota DPRD Ende yang berputar-putar di sekitar kasus ini.

Orang-orang ini sudah berulangkali keluar-masuk pintu Mapolres Ende, tapi belum tersentuh kepastian hukum. 

Tiga orang ini harus disebut namanya agar rakyat tidak gampang lupa atau malah dilupakan dengan alas an tertentu: Fransiskus Taso, Yulius Cesar Nong dan Sabri Indra Dewa. 

Kita sekadar mengingatkan bahwa kasus korupsi PDAM Ende itu punya bukti kekuatan hukum tetap Praperadilan PN Ende dan sampai detik ini tidak pernah dibatalkan. 

Maka sangat aneh dan kehilangan kewarasan rasionalitas hukum ketika ada APH menginformasikan bahwa kasus korupsi PDAM Ende sudah ditutup. 

Polisi jangan membodohi rakyat Ende yang paham hukum. Publik menduga, jangan-jangan ada kolusi antara aparat penegak hukum khususnya polisi dengan para terduga pemakan uang rakyat yang nama-namanya sudah banyak disebut dalam tulisan-tulisan. 

Tapi kita mesti tulis lagi supaya publik Ende tidak pernah boleh lupa nama-nama ini. Beberapa orang ini baliho wajahnya terpampang di pinggir jalan. Fransiskus Taso, H. Wadhi, Emanuel Erikos Rede, Jhon Pela, Kadir Musa Basa, Oktavianus Moa Mesi, Orba K. Ima dan Sabri Indra Dewa.Rakyat Ende juga tidak pernah boleh lupa dengan kasus dugaan korupsi di Sekretariat DPRD Ende senilai kurang lebih Rp972.900.000 bersumber dari Dana UP T.A 2020.

Melalui LHP ini,terungkap bahwa uang tersebut dipinjam pakai oleh beberapa oknum anggota DPRD Ende dan diberikan kepada pihak Kejaksaan Negeri Ende sesuai dengan catatan yang dibuat oleh mantan Kabag Keuangan Setwan Ende yang konon diperintahkan oleh salah satu mantan pimpinan DPRD Ende dan ditandatangani bendahara.

Menurut catatan Bendahara Setwan Ende 2020, Rustam Rado yang telah beredar luas di publik, nama-nama oknum pimpinan dan anggota DPRD yang meminjam uang tertera jelas. Fransiskus Taso (Ketua DPRD Ende/PDIP): Rp15 juta, Tibertius Didimus Toki (Wakil Ketua DPRD/Hanura): Rp10 juta, Emanuel Erikos Rede (Wakil Ketua DPRD/Nasdem): Rp70 juta, anggota DPRD Yulius Cesar Nonga (Yoran)/PKB: Rp13 juta, anggota DPRD Yohanes Don Bosco Rega (Oni)/Nasdem: Rp7 juta dan anggota DPRD sekaligus Ketua Panmil Wabup Ende sarat masalah, Muhamad Orba K. Imma/Gerindra: Rp5 juta. 

Emanuel Erikos Rede yang saat itu menjadi Wakil Ketua DPRD Ende patut diduga kuat menjadi petugas yang mengantar uang sebesar Rp125 juta ke Kejaksaan Negeri Ende. 

Pejabat selevel Erik Rede yang merendahkan dirinya menjadi kurir tentu menunjukkan situasi “genting.” 

Publik Ende juga harusnya tidak boleh lupa dengan dugaan kasus korupsi berupa pungutan liar (Pungli) yang dilakukan di Dinas Pendidikan Kabupaten Ende dengan Kepala Dinas (kala itu) Mensi Tiwe. 

Diduga kuat otak dari kasus korupsi pungli ini ada di institusi DPRD Ende. Dalam kasus ini, Bupati Djafar Ahmad mesti ikut bertanggung jawab untuk membersihkan birokrasi khususnya dinas Pendidikan dari perilaku koruptif yang bermodus partisipasi bawahan. 

Anehnya, kasus ini pun lekas sekali menguap dan entah sudah di mana juntungannya.

Kita masih bisa menyebut banyak dugaan korupsi lain di DPRD dan birokrasi Ende tapi ruang ini sepertinya tidak akan menampungnya. 

Dalam kasus-kasus korupsi tersebut, ada nama anggota DPRD Ende yang muncul terus menerus, tidak pernah absen. 

Ada nama yang sangat rajin dalam kasus-kasus korupsi di Kabupaten Ende. Tapi fakta yang menakjubkan adalah rakyat Ende tetap memelihara dan merawat orang-orang itu sehingga orang-orang ini tetap ada di DPRD dan setia mengulangi kelakuan buruknya. Itulah kelebihan dan keunggulan orang Ende.

Dugaan korupsi di DPRD Ende merupakan gambaran dari eksistensi birokrasi Ende saat ini. Ketika kita menelisik lebih jauh maka sesungguhnya ada benang relasi yang terajut rapi dengan memanfaatkan mesin kekuasaan politik dan birokrasi. 

Menurut literatur ilmu administrasi publik, pola hubungan antara politik dan birokrasi sudah lama berkembang dalam sistem pemerintahan. 

Konteks sejarahnya, ilmu administrasi publik lahir dan mendapat pengakuan dari para scientist berkat tulisan Woodrow Wilson yang berjudul “The Study of Administration” yang dimuat pertama kali di The Journal Political Science Quarterl (1887), bahwa diperlukan suatu ilmu untuk mengkaji masalah administrasi dan membantu menerjemahkan kebijakan-kebijakan politik (Yudiatmaja, 2015). 

Wilson berpendapat bahwa politik dan administrasi harus dipisah karena keduanya memiliki tugas yang berbeda. 

Pemisahan antara politik dan administrasi dimaksudkan agar birokrasi pemerintahan dapat bekerja secara profesional untuk melayani kepentingan umum (public interest) tanpa dibebani isu-isu politik.

Politik yang digambarkan tersebut kemudian hadir melalui partai politik. Hubungan partai politik dan proses penyelenggaraan administrasi publik dalam sistem birokrasi pemerintahan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 

Namun keduanya dapat dibedakan melalui peran dan sistemnya. Sejak reformasi bergulir, ciri pemerintahan yang demokratis ditandai dengan eksistensi Parpol. 

Sejak itu pula, banyak jabatan dalam birokrasi pemerintahan dipimpin oleh pejabat dari partai politik. 

Dan sejak itu pula, di dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dikenal dengan istilah jabatan politik (Miftah Thoha, 2014).

Selain itu, dalam birokrasi pemerintah dikenal pula jabatan karier birokrasi yang biasa disebut para birokrat atau pejabat birokrasi yang meniti kariernya dalam sistem birokrasi yang berangkat dari jabatan karier terendah di tingkat awal sampai ke tingkat jabatan tertinggi (Dari eselon IV b - eselon IV a - eselon III b - eselon III a - eselon II b dan eselon II a). 

Pejabat karier dalam hal ini diangkat dalam jabatan birokrasi oleh pejabat tinggi/PPK yang berwenang mengangkatnya. 

Sedangkan jabatan politik, adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat atau diangkat oleh pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Jabatan politik ini ada masa jabatannya, dibatasi oleh masa jabatan berdasarkan pemilihan (umum atau kepala daerah), biasanya lima tahun sekali (DPD, MPR, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Presiden/Wapres, Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup/Walikota/Wakil Walikota).

Pertanyaan menggelitik: apakah intervensi politik melalui jabatan politik yang memimpin jabatan karier birokrasi diperbolehkan dalam tatanan kepemerintahan yang bersih, berwibawa, baik dan demokratis? 

Bolehkah pejabat politik memindah, mengganti dan memberhentikan pejabat dalam jabatan karier birokrasi pemerintah sesuka hati atau secara like atau dislike?

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) mengenal  sistem merit yang didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. 

Dengan demikian merit sistem bisa dikatakan sebagai pengelolaan SDM pegawai ASN yang didasarkan pada prestasi (merit) yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya dikategorikan sebagai baik atau buruk yang berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karier jabatan pegawai.

Fokus utama merit system adalah perbaikan atau peningkatan prestasi kerja (Woodard, 2005). Jika prestasi kerja tergolong baik maka pegawai ASN akan diberikan penghargaan atau reward berupa kenaikan penghasilan dan/atau karier jabatan. 

Jika prestasi kerja pegawai ASN tergolong buruk maka akan menerima punishment berupa penurunan penghasilan dan/atau karier jabatan. 

Tujuan merit system adalah merekrut ASN yang profesional dan berintegritas dan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sesuai kompetensinya; Mengembangkan kemampuan dan kompetensi ASN; Memberikan kepastian karier dan melindungi karier ASN dari intervensi politik dan tindakan kesewenang-wenangan; Mengelola ASN secara efektif dan efisien; dan Memberikan penghargaan bagi ASN yang adil dan layak sesuai kinerja. 

Sedangkan manfaat merit system bagi ASN agar dapat mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhannya; Melindungi karir ASN dari politisasi kebijakan politik yang bertentangan dengan sistem merit; Meningkatkan motivasi ASN; dan agar ASN memiliki jalur karier yang jelas.

Titik ini merupakan kondisi ideal normatif bagi pola pengembangan karier para ASN. Ketika masuk dalam tataran implementasi, ibarat langit dan bumi. Bupati merupakan jabatan politik, iya. 

Tapi dalam kapasitasnya sebagai PPK yang juga sebagai elite eksekutif mestinya harus mempertimbangkan unsur profesionalisme yang didasarkan pada konsep merit system karena birokrasi pemerintahan bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik dan melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif dan efisisen. 

Maka birokrasi pemerintahan merupakan faktor kunci/penentu bagi keberhasilan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance).

Terkait dinamika birokrasi pemerintahan di Ende, terjadi tarik-menarik antara politik dan kekuasaan yang kemudian menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi dan peran birokrasi. 

Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat, berkembang i melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. 

Sampai saat ini kuatnya pengaruh politik terhadap birokrasi (politisasi birokrasi) membuat semakin sulitnya mesin birokrasi memberikan pelayanan publik yang profesional dan rentan terjadinya tarik menarik kepentingan politik.

Konsekuensi politisasi birokrasi mengakibatkan peran dan fungsi lembaga pemerintah menjadi kabur dan kurang jelas. Birokrasi pemerintahan menjadi kepentingan politik praktis yang mengabaikan etika administrasi negara dan etika pemerintahan sehingga tidak dapat dibedakan secara jelas antara jabatan politik dan jabatan karier Aparatur Sipil Negara (ASN) (Yudiatmadja, 2015). 

Ketidakjelasan ini pun berpengaruh pada sistem pembinaan aparatur birokrasi ASN. Pembina ASN bukan pejabat karier ASN, melainkan pejabat politik (bupati) yang berasal dari partai politik. 

Akibat sistem pembinaan ASN yang tidak tepat menimbulkan “dilema” dalam tatanan pemerintahan, dimana loyalitas para ASN ditanamkan secara ganda: di satu sisi harus loyal kepada pemerintah sebagai pelayan masyarakat, tapi pada sisi lain harus loyal kepada pimpinan yang notabene berasal dari partai politik yang menguasai birokrasi pemerintahan.

Fenomena ini menyebabkan para ASN menjadi terkotak-kotak dan tidak berkonsentrasi pada tugasnya sebagai pelayan publik, bahkan hubungan satu sama lain cenderung tidak harmonis dan saling mencurigai. 

Pola pengembangan karier ASN tidak lagi diukur dari kualitas dan prestasi kerja, akan tetapi lebih banyak diwarnai pada pertimbangan politik, khususnya dalam penempatan jabatan struktural.

Selain itu, aspek moral publik juga menjadi salah satu pertimbangan utama bagi seleksi dan promosi pejabat birokrasi pemerintah karena moral merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama. 

Setidaknya catatan moral ini, harus ada di berkas/file setiap pejabat yang diperoleh dari sikap, perilaku dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing pejabat tersebut. 

Ada semacam uji publik untuk mendapatkan penilaian dari masyarakat terhadap figur pejabat yang mau dipromosi. 

Posisi ASN juga selalu menjadi incaran bagi partai politik dalam Pilkada maupun pemilihan anggota DPRD karena posisinya yang strategis sebagai mesin politik pemenangan kandidat pasangan calon tertentu. 

Tujuannya untuk kepentingan mendulang suara, bahkan kekuatan para ASN ini ditengarai dapat mengalahkan soliditas partai politik pengusung.

Fakta lain, keterlibatan para ASN juga cukup kuat dalam memberikan dukungan kepada petahana, yang setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. 

Pertama, iming-iming promosi jabatan, hal ini sebagai implikasi ketidaknetralan dimana penempatan jabatan struktural berdasar pada kepentingan politik semata yang mengabaikan kualifikasi, kompetensi, integritas, moral dan lebih mengedepankan mariage system, bukan merit system. 

Kedua, posisi para ASN yang cenderung dilematis, di satu sisi dituntut untuk bekerja secara profesional tapi di sisi lain para ASN sebagai bawahan pembinaan pejabat politik yang tidak bisa melawan instruksi atasan. Maka terjadilah prinsip “monoloyalitas”.

Faktor determinan terjadinya politisasi birokrasi adalah model pembinaannya. Sistem pembinaan ASN selama ini dilakukan dengan cara memberikan kewenangan secara penuh kepada bupati yang notabene pejabat politik. 

Selayaknya seorang pejabat karier birokrasi seperti para ASN semestinya dibina oleh seorang pejabat karier birokrasi yang tertinggi dalam pemerintahan, bukan oleh pejabat politik sebagaimana yang selama ini terjadi. 

Pola pembinaan seperti inilah yang pada akhirnya menjadikan para ASN tidak netral, tidak profesional dan selalu terkooptasi dengan kepentingan politik, karena Pejabat Pembina Kepegawaian/PPK-nya adalah seorang pejabat politik.

Maka ketika bupati atau Sekda di kabupaten “para arwah” mengumpulkan para camat dan bicara tentang Pilkada 2024 dengan iming-iming jabatan birokrasi tentunya, di situlah pelanggaran serius telah terjadi. 

Bupati sebagai pejabat politik bebas mengkooptasi para camat karena mungkin dia dungu soal manajemen birokrasi dan pejabat sekelas camat haus jabatan dan rakus kuasa yang sebenarnya menggambarkan ketidakmampuannya sendiri dalam ruang birokrasi. 

Perilaku bawahan khususnya para gerombolan camat ini mesti diawasi oleh public yang kritis sebagai bentuk kontrol publik yang harusnya niscaya di kabupaten semodel Ende ini yang wakil rakyatnya hanya berbaju DPRD tapi perilakunya adalah pemburu proyek dan pengumpul modal Pileg berikutnya. 

Publik berharap bahwa bupati dan bawahannya yang memiliki otoritas bersumber dari kepercayaan rakyat bekerja keras demi rakyat. 

Otoritas berasal dari kata Latin “auctoritas” yang terbentuk dari kata kerja “augere” artinya menambah atau mengembangkan. 

Maka otoritas merupakan kepercayaan publik dan legitimasi dari struktur politik dan birokrasi. Seorang pejabat publik, entah birokrasi maupun politik, mesti menggunakan otoritasnya untuk mengabdi dan melayani rakyat.

 Melalui otoritas, pejabat publik lebih kreatif dan inovatif mengembangkan kapasitas dan wewenang, tanpa melanggar regulasi, untuk mengoptimalkan pelayanan demi mencapai kesejahteraan bersama (bonum commune).   

 Gerakan “Civil Society”

Setelah 78 tahun usia kemerdekaan, Indonesia masih menghadapi banyak persoalan yang belum terselesaikan, terutama terkait demokrasi dan kesejahteraan. 

Diperlukan upaya keras membangun kembali kekuatan masyarakat sipil untuk menggerakkan kesadarn kritis, guna menyikapi persoalan yang mengemuka di tengah masyarakat. 

Civil society adalah masyarakat yang mampu menggerakkan kesadaran kritis untuk menyelesaikan persoalan yang mengemuka di tengah masyarakat. 

Civil society merupakan entitas yang luas seperti akademisi, komunitas, Lembaga sawadaya masyarakat, jurnalis dan media massa.

Saat ini pergerakan masyarakat sipil di Indonedsia melemah. Fenomena ini terjadi karena banyak kepentingan yang mengooptasi. 

Hal itulah yang menyebabkan praktik demokrasi di Indonesia masih prosedural, bukan substansial untuk mengurusi kesejahteraan rakyat (Kompas 5/9/2023)

Demokrasi tanpa substansi itulah yang sedang rakyat saksikan dalam dramaturgi “bongkar-pasang” pembentukan koalisi antarpartai politik sebagai jalan instan-pragmatis menuju Pilpres 2024. 

Musim akrobat politik saat ini sesungguhnya menginsafkan rakyat untuk mengubur dalam-dalam partai politik dan tokoh politik yang haus kuasa dan hanya menjadikan rakyat kuda tunggangan musiman lima tahun.

Rakyat membaca perilaku elite politik yang memamerkan kedangkalan hasrat meraih kekuasaan demi pribadi dan kelompok meski yang diomongkan dalam dialog dan wawancara adalah rakyat.   

Media massa sebagai bagian utuh dari civil society harus berperan sebagai corong informasi publik. 

Di era digital saat ini konten media mesti menjadi wahana edukasi agar publik lebih cerdas, peka dan bijak. 

Konten media itu adalah fakta yang terjadi terang benderang agar warga menjadi sadar dan memahami secara utuh konteks sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. 

Hal yang mesti dijauhi media massa era digital saat ini adalah mengejar apa yang disebut “viral” yang sesungguhnya berada di luar jangkauan media. Kualitas karya jurnalistiklah yang mesti menjadi “viral” karena dipercaya publik cerdas. 

Mina Al-Oraibi, Pemimpin Redaksi The National, koran berbahasa Inggris di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, mengingatkan, kredibilitas dan konten berkualitas adalah masa depan jurnalisme. Masa depan media massa di bumi ini (Kompas 18/02/2022).

Terkait regenerasi kepemimpinan, media mesti menjadi ruang kritis untuk mengedukasi publik agar cerdas memilih sehingga tidak membiarkan ruang politik dan birokrasi dikuasai para pengganggur yang hanya mencari makan. 

Tabiat ini membuka gerbang penerabasan terhadap regulasi publik dengan mengandalkan “jalan tikus” sesat beraroma suap.

Orang-orang yang rakusnya sudah di ubun-ubun akan berani “pasang badan”, mempertaruhkan integritas dan menumbalkan urat malunya di ruang-ruang publik. 

Basis kecerdasan publik ini akan menjadi amunisi rasional untuk menilai apakah seseorang layak dan pantas atau tidak menjadi panutan atau figur publik.

Rakyat membutuhkan informasi yang benar agar bisa menjadi pegangan untuk menilai rekam jejak dan kinerja pemimpin yang akan sangat menentukan pilihannya pada Pileg dan Pilkada 2024.

Terkait itu, unsur ketidakpastian tetaplah tinggi. Publik pemilih, dengan kemampuan kognitifnya, tak dapat melakukan evaluasi dan penilaian atas pemimpin politik dan birokrasi dengan komprehensif sehingga pilihannya tak optimal. 

Pemilih bisa terperangkap pada prediksi pilihannya. Situasi dan problem seperti ini oleh Herbet Simon (Administrative Behavior, 1947) disebut pilihan rasional yang terbatasi (bounded rationality). 

Untuk meminimumkan risiko itu, peraih Nobel Ekonomi Politik tahun 2009 Elinor Ostrom (Institutional Rational Choice, 2009) mengharuskan jurnalis dan media kritis melakukan pencarian informasi dan mengalirkan informasi itu kepada para pemilih guna meningkatkan kapabilitas kognitif pemilih (Kompas 4/9/2023).

Secara filosofi, hal yang dituntut publik dari seorang pemimpin adalah keteladanan hidup. 

Bagaimana publik bisa percaya kalau pemimpin adalah tukang tipu, proses jadi pemimpin sarat kolusi parpol, menerabas regulasi negara jadi kebanggaan semu dan urat rasa malu sudah lama putus sehingga tampil dengan “muka tebal” persis dinding trotoar di Jalan El Tari Ende? 

Apalagi politik dan birokrasi di Ende sangat beraroma kasus-kasus korupsi dimana politisi dan birokrat saling mengunci “dosa” masing-masing. 

Maka politisi dan birokrat sama-sama bersinergi memengaruhi aparat penegak hukum agar memetieskan kasus-kasus korupsi sambil bersama-sama mendorong agar kasus korupsi kelas teri yang melibatkan bawahan digulirkan secepat kilat untuk membungkam suara-suara kritis publik. 

Kondisi ini makin diperparah jika aparat penegak hukum (APH) khususnya polisi dan jaksa yang ditempatkan di Ende diduga hanya menjadikan kasus-kasus hukum elite politik dan birokrasi sebagai ATM saja. 

Modusnya: pada awal kasus, polisi sangat sibuk, kumpulkan bukti sana sini, layani wawancara jurnalis, pokoknya agresif informasikan peerkembangan kasus. Tapi makin lama kasus korupsi makin sayup terdengar akhirnya senyap tanpa bekas.

Jika civil society lemah bahkan tidak ada seperti di Nagekeo, maka aparat penegak hukum khususnya polisi bisa sangat leluasa melakukan apa pun tanpa kontrol publik. 

Polisi bisa berperilaku melebihi kontraktor, bisa merekayasa kasus berdasarkan pesanan politisi. 

Malah kapolres dan anak buah bisa melakukan kekerasan sampai tancap sangkur depan warga, bisa menganiaya pemuda babak belur lalu berbohong di depan kamera murahan, bisa berperan menggantikan bupati meletakkan batu pertama pembangunan mushola yang kontroversial lalu berkelit siapa saja boleh meletakkan batu pertama dan masih banyak lagi.

Realitas politik dan birokrasi di Ende saat ini berada pada titik yang sangat mencemaskan. 

Kita bisa merasakan dan mendengar narasi ASN yang sudah bosan bahkan sampai pada taraf apatis dengan kondisi kerja. Apalagi elite birokrasi kasak-kusuk mempolitisasi berbagai acara dalam dimensi apa pun menjadi ajang kalkulasi elektoral menjelang Pileg dan Pilkada 2024. 

Bukan narasi baru bahwa tim sukses yang terbangun dalam struktur birokrasi, tentu dengan iming-iming sepotong jabatan plat merah pun mulai berseliweran persis manusia yang kesurupan.

Mestinya dalam politik dan birokrasi, bisa berlaku teori seleksi alam (survival of the fittest) yang dipopulerkan Charles Darwin dan muncul pertama kali dalam buku Principles of Biology (1864) karya Filsuf Herbert Spencer.

Dalam politik dan birokrasi, survival of the fittest terbaca dalam suasana kerja profesional dan berkualitas yang menghasilkan politisi dan birokrat yang unggul karena kualitas intelektual, moralitas, kompetensi dan profesionalisme. Tapi konteks politik lokal Ende, survival of the fittest berevolusi menjadi unggul karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). 

Proses politik dan birokrasi ini akan melahirkan pemimpin berpredikat “ilegal” yang sesungguhnya sangat merusak dan menghancurkan peradaban politik lokal.

Inilah beban sejarah politik dan birokrasi di Kabupaten Ende yang sangat buruk dan memalukan yang menjadi warisan tidak terpuji dari generasi politisi dan birokrat saat ini. 

Di titik ini, ruang publik (Ende) membutuhkan gerakan civil society khususnya media yang kritis dan berintegritas untuk menjaga marwah politik dan birokrasi agar berjalan baik dan benar. 

Jika tidak, halaman media hanya menjadi ruang informasi seputar kejahatan politik dan birorkasi khususnya korupsi berjemaah yang tak ada ujungnya. ***

*Steph Tupeng Witin, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM 2019)

Editor: redaksi

RELATED NEWS