Mengenal 'Gajah Purba' dari Cekungan So'a, Flores Tengah

redaksi - Kamis, 27 Juli 2023 13:30
Mengenal 'Gajah Purba' dari Cekungan So'a, Flores TengahGajah Purba Flores, lebih kecil dari seekora rusa dewasa. (sumber: Istimewa)

JAKARTA (Floresku.com) - Pulau Flores tidak hanya indah namun juga menyimpan potensi luar biasa di bidang geologi dengan penemuan-penemuan fosil purbakala. 

Kawasan lembah Cekungan Soa di Kabupaten Ngada, Flores Tengah adalah surga bagi kawanan stegodon atau gajah purba.

Melalui Pusat Survei Geologi, Badan Geologi telah mengidentifikasi sekitar 16 lokasi fosil yang tersebar di wilayah seluas 200 km2. 

Penggalian (eskavasi) secara intensif dan sistematik telah mendapatkan ribuan fosil vertebrata dan alat batu (artefak). 

Fosil - fosil yang ditemukan antara lain fosil gajah (Stegodon), burung, tikus, katak, buaya, komodo dan kura - kura. 

Adapun artefak umumnya berupa alat bahan (core) dan alat serpih (flake).

Salah satu lokasi ekskavasi atau penggalian  fosil gajah purba yang dilakukan Pusat Survei Geologi Badan Geologi KESDM belum lama ini adalah Situs Mala Huma,

Situs yang masih berada kawasan Cekungan So'a, tetapi masuk dalam wilayah Desa Nagerawe, Kecamatan Boawae,  Kabupaten Nagekeo. 

Arkeolog melakukan eksplorasi di Situs Mala Huma, Nagekeo (Foto: ignas Kunda/MI)

Berawal dari temuan Theodore Verhoeven SVD

Penggalian artefak purbakala di wilayah Flores Tengah, khususnya Cekungan So’a dimulai oleh seorang misionaris Katolik, Theodore Verhoeven SVD pada tahun 1956.

 Kala itu Verhoeven dan timnya  mengeksplorasi situs prasejarah di kawasan Cekungan So’a dan menemukan fosil gajah purba  (Stegodon) yang kini menjadi koleksi utama Museum Blikon Blewut di Seminat Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere.

Fosil gading Gajah purba flores,  Koleksi Museum Blikon Blewut, Seminari Tinggi Ledalero (Foto: istimewa(

Menurut Endi Paji, pegawai museum Bikon Blewut, fosil gading Gajah purba flores ini ditemukan pertama kali di lokasi Ola Bula, Kapupaten Nagekeo pada tahun 1956 oleh Dr. Theodor Verhoeven SVD yang dilanjutkan juga di Matamenge dan Boa Leza, Kabupaten Ngada. 

Endi Paji, mengisahkan saat sedang berburu, Pater Verhoeven menemukan fosil tulang hewan yang aneh. Dia lalu tergerak untuk melakukan penelitian. Ternyata fosil tersebut merupakan bagian dari fosil gading gajah purba. Sehingga dilakukanlah penggalian-penggalian (ekskavasi) secara sistematis.

Fosil gading gajah ini adalah jenis gajah stegodon trigonocephalus sehingga verhouven memberi nama Stegodon Trigonocephalus Florensis yang kini menjadi masterpiece Museum Bikon Blewut. 

Usia fosil gading gajah ini diperkirakan adalah 300.000 tahun BC.

Situs Mala Huma

Litan Roskusumah dalam artikel pendeknya di situs www.geologi.esdm.go.id , Minggu, 23 Juli 2023 menyebutkan bahwa para ahli Paleontologi di Badan Geologi secara berkala melakukan survei dan penggalian di lokasi tertentu berdasar riset, literatur dan informasi dari penduduk lokal. 

Situs Mala Huma, Kecamatan Boawae, Nagekeo (Foto: istimewa)

Saat ini hasil penggalian terbaru di wilayah Situs Mala Huma ditemukan gigi geraham Gajah dan rahang dari Komodo. 

Fosil-fosil tersebut diperkirakan mencapai usia ratusan ribu tahun yang lalu. 

"Penemuan fosil ini adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan telah dilakukan dari sejak zaman Belanda," tulis Titan mengutip  Hermansyah Kepala Pusat Survei Geologi.

Situs Mata Menge

Sementara itu tak jauh dari Situs Mala Huma terdapat situs Mata Menge di Kabupaten Ngada Provinsi NTT. 

Proses penggalian yang dilakukan melibatkan puluhan penduduk lokal yang sudah mendapat pelatihan terlebih dahulu. 

Saking sudah terbiasa membantu Badan Geologi, ketika mereka sedang menggembala ternaknya matanya mencari-cari sekiranya ada fosil yang bisa mereka temukan di sekeliling mereka.

Ketika fosil telah ditemukan dan akan diangkat, dilakukan proses pelapisan tulang dengan perban (tisu) yang dilapisi dengan gipsum agar ketika proses pengangkatan dan pengangkutan ke Badan Geologi Bandung, tidak mengalami kerusakan. 

Temuan fosil purbakala di Situs Mata Menge, Cekungan So'a (Foto: Kompas)

Di kantor Badan Geologi dilakukan beberapa tahapan proses untuk bisa segera direkonstruksi kemudian dipajang di Museum Geologi.

Survei dan ekskavasi di Situs Mata Menge dilakukan secara berkala oleh Badan Geologi bekerja sama dengan University of Wollongong Australia.

 Saat ini yang terbanyak ditemukan adalah fosil gajah purba (Stegodon florensis) dan ditemukan juga alat batu (artefak) berupa batu inti dan serpih.

Ditemukan juga di Liang Bua

Pada tahun 2007, majalah ilmiah Sciencedirect.com mengungkapkan bahwa fosil Stegodon berasal dari lapisan Pleistosen Akhir ditemukan di situs gua arkeologi Liang Bua, Manggarai. 

Digambarkan, fosil Stegodon tersebt  sebagai subspesies kerdil endemik baru: Stegodon florensis insularis subsp. Nov.

“Beberapa fragmen fosil Stegodon ditemukan berasosiasi dengan sisa-sisa Homo floresiensis yang baru-baru ini dideskripsikan, tetapi banyak terjadi pada tingkat dengan konsentrasi artefak yang tinggi. Nenek moyang langsungnya adalah Stegodon florensis yang berukuran lebih besar, diketahui dari situs Pleistosen Awal dan Pleistosen Tengah awal di Flores,” tulis G.D. Van Den Bergh bersama Rokhus Due Awe, M.J. Morwood, T. Sutikna, Jatmiko, dan E. Wahyu Saptomo.

Kumpulan dari Liang Bua sebagian besar terdiri dari unsur-unsur gigi dan kerangka individu remaja. 

Stegodon florensis insularis dicirikan oleh formula ridge molar yang maju dan ukuran kecil: rata-rata molar 30 persen lebih kecil dalam dimensi linier dibandingkan dengan spesies leluhur. Aktivitas hominin kemungkinan berperan dalam akumulasi tulang Stegodon di Liang Bua.

Situs  Mata Menge di So'a Basin, Flores, dengan gunung berapi aktif, Ebulobo, di cakrawala. Fosil hominin ditemukan di area yang dinaungi terpal perak.  (Foto: Yinika Perston/www.phys.org )

Dua spesies Stegodon sebelumnya telah dideskripsikan berasal dari Cekungan Soa yang berada di Kabupaten Ngada.

Pertama, Stegodon sondaari (van den Bergh, 1999), spesies kerdil dengan berat badan dewasa sekitar 300  kg dari situs Tangi Talo yang berusia 900 kyr, dan kedua, Stegodon florensis  berukuran sedang hingga besar dari berbagai situs yang stratigrafinya lebih muda, seperti Dozu Dhalu, Mata Menge, Boa Lesa dan Kobatuwa, yang berumur antara 850 dan 700 ka (Morwood et al., 19 98). 

Spesies terakhir ini awalnya dideskripsikan oleh Hooijer (1957) sebagai subspesies dari Stegodon trigonocephalus , diketahui dari situs Pleistosen Awal dan Tengah di Jawa. 

Namun, penemuan fosil tambahan dari Cekungan Soa, yang dikumpulkan antara tahun 1992 dan 1994, membenarkan klasifikasinya sebagai spesies berbeda, Stegodon florensis , dengan perkiraan berat badan dewasa rata-rata sekitar 850  kg. 

Stegodon trigonocephalus dari Jawa, yang tiga subspesies chrono-nya telah dibedakan, lebih besar dari Stegodon florensis meskipun individu terkecil (dari lokalitas Trinil) cenderung tumpang tindih ukurannya dengan individu Stegodon florensis terbesar. 

Stegodon trigonocephalus memiliki perkiraan berat badan berdasarkan panjang tulang paha antara 1017 dan 1713  kg. 

Namun, Stegodon trigonocephalusbelum tentu nenek moyang langsung dari Stegodon florensis , yang mungkin datang dari utara melalui Sulawesi (van den Bergh, 1999).

Subspesies ini berukuran menengah antara Stegodon sondaari dan Stegodon florensis dari Cekungan Soa. 

Di Liang Bua, bukti Stegodon florensis insularis berasal antara 95 dan 12 ribu tahun SM, dan dikaitkan dengan konsentrasi tinggi artefak batu dan sisa-sisa kerangka Homo floresiensis, spesies hominin kerdil endemik (Brown et al., 2004; Morwood et al. , 2005). 

Tanda potong pada beberapa tulang Stegodon dan distribusinya dalam kaitannya dengan artefak batu di lantai pendudukan menunjukkan bahwa hewan di lokasi tersebut disembelih oleh hominin (Morwood et al., 2004; Morwood et al., 2005).

Kejadian terbaru di Asia Tenggara

Penemuan Stegodon yang berusia  12 ribu tahun SM di  situs Liang Bua  adalah kejadian terbaru yang kredibel untuk stegodont di Asia Tenggara. 

Di Cina Selatan Stegodon berlanjut ke Holosen secara lokal, sebagaimana dibuktikan dengan penemuan dari situs Neolitik Gua Xiaohe, yang bertanggal 4100  tahun silam (Ma dan Tang, 1992). 

Di Jawa, stegodont akhirnya digantikan sepenuhnya oleh gajah Asia modern ( Elephas maximus ) pada awal interglasial terakhir antara 120.000 dan 130.000  (van den Bergh et al., 2001a; Storm et al., 2005; Westaway et al. , sedang ditinjau). 

Hilangnya Stegodon dari urutan Liang Bua bertepatan dengan lapisan tuf putih berbutir halus yang diendapkan di dalam gua sekitar 11.000. 

Letusan gunung berapi yang terkait dan gangguan lingkungan mungkin menjadi faktor kepunahan Stegodon dan Homo floresiensis .

Mengapa menjadi kerdil?

Kasus pengerdilan gajah purba di Pulau Flores, menjadi tema menarik yang hingga saat ini belum terjawab seutuhnya dengan memuaskan.

 Para ahli mengatakan, stegodon yang ditemukan di Flores merupakan spesies gajah purba paling kerdil di Indonesia.

Paleontolog yang pernah memimpin penggalian pada Cekungan Soa, Fachroel Azis, berteori bahwa di suatu pulau terisolasi dan sumber makanan terbatas, mungkin saja fauna mamalia akan mengerdil. 

Ia menerangkan, "Di Flores terdapat stegodon yang kecil, Stegodon sondaari. Serta stegodon yang besar, Stegodon florensis. Namun yang besar pun jika dibandingkan dengan gajah yang berada di Jawa Stegodon trigonocephalus, masih kalah besar."

Uniknya, masih berdasarkan Fachroel, saat gajah mengerdil, spesies dari golongan reptilia seperti komodo malah membesar. Sebab di pulau hampir tidak ada predator tandingan.

Geolog dan paleontolog dari Universitas Wollongong Australia, Gert van den Bergh, yang yang mendalami penelitian stegodon di Cekungan Soa mengajukan hipotesis lain, gajah purba di Flores menjadi kerdil akibat adaptasi kondisi pulau. 

Menurut Gert, di pulau yang kecil tidak diperlukan juga badan terlalu besar karena tak ada pemangsa seperti harimau.

Sebagai pulau gunung api yang muncul dari dasar laut, Flores terisolasi sejak jutaan tahun silam. Bahkan tatkala permukaan air laut di tingkat terendah pada masa Oligocence (20 hingga 30 juta tahun lalu), daratan Flores tetap terkepung lautan.

Dan secara umum, sifat dari sebuah pulau yang terisolasi adalah miskinnya biodiversitas. "Jumlah spesies yang ditemukan di Cekungan Soa pun terbatas karena sejak lama Flores adalah pulau yang terisolasi dari dataran besar."

Tidak ada jembatan darat yang menghubungkannya ke daratan di Asia atau Australia. 

Kondisi Flores ini berbeda dengan di pulau-pulau besar Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan yang secara periodik terhubung dengan daratan utama. (Maxi Ali/dari berbagai sumber)***

Editor: redaksi

RELATED NEWS