Program Capres 2024 Perlu Beresonansi dengan Realitas Keuangan
redaksi - Rabu, 27 Desember 2023 13:25Oleh: Dr Hendrawan Saragi*
DALAM debat tanggal 22 Desember 2023 para Cawapres menyatakan komitmennya menciptakan program-program baru untuk masyarakat yang akan menghabiskan uang negara yang tidak sedikit.
Masyarakat biasanya terlalu sibuk bekerja membesarkan keluarga, menjalani hari-harinya, sehingga tidak cukup terinformasi mengenai program tersebut dan konsekuensinya.
Sementara itu politisi, birokrat, dan kelompok kepentingan khusus yang bergantung pada keputusan politik- karena uang untuk mereka dihasilkan dari politik-sangat tertarik dan aktif sehingga menguasai isu yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi masyarakat.
Mereka menekankan manfaat dari program kepada masyarakat namun jarang sekali menyebutkan darimana dananya dan apa kerugiannya bagi masyarakat dengan cara pengambilan dananya.
Program-program diberikan untuk kelompok tertentu dengan dana yang terdistribusikan ‘mengalir sampai jauh’ tanpa menerangkan bahwa akan terjadi pembengkakan belanja negara dan pembuatan peraturan-peraturan baru dan terpusat.
Faktanya negara bukanlah perusahaan yang memproduksi barang seperti di pasar. Negara tidak membiayai dirinya dari menjual produk dan layanan kepada pelanggan yang secara sukarela membayar, namun dengan pungutan wajib yang disertai dengan peraturan yang mengatur hukuman bila tidak membayar.
- Mantan Gubernur Papua, Terpidana Kasus Korupsi, Lukas Enembe Meninggal Dunia, RIP
- Fintech P2P Lending Permudah Pelaku UMKM Dapatkan Modal Usaha Tanpa Agunan
- Yoh 20:2-8, Bacaan Injil dalam Kalender Liturgi Katolik, Rabu, 27 Desember 2023
Pendapatan negara diperoleh secara paksa dan keputusan mengalokasikan sumberdaya yang dibuat berdasarkan keinginan pemerintah.
Di dalam mekanisme pasar, perusahaan menghitung berdasarkan laba-rugi dan menginginkan umpan balik -apa yang disukai dan apa yang tidak disukai-untuk meningkatkan produktivitasnya.
Tidak ada sumberdaya yang tidak terbatas, peningkatan layanan di satu sisi akan berakibat penurunan layanan di sisi lain sehingga perlu kehati-hatian.
Pemerintah sebagai pengelola negara tidak berpikir ekonomi layaknya pengelola perusahaan.
Pengelola negara tidak mempertimbangkan kelangkaan seperti dalam ekonomi sehingga anggaran belanja negara kemungkinan besar akan terus meningkat walaupun terjadi krisis.
Ketika terjadi krisis maka perusahaan akan melakukan upaya pemotongan anggaran, memikirkan apa yang paling tidak perlu dilakukan agar bisa mengurangi anggaran.
Bila dilihat realisasi belanja negara selama beberapa tahun terakhir terus mengalami kenaikan walaupun dikatakan ada berbagai krisis: Rp 2.213,1 triliun (2018), Rp 2.309,3 triliun (2019), Rp 2.595,5 triliun (2020), Rp 2.786,4 triliun (2021), dan Rp 3.090,7 triliun (2022). Di tahun 2024 rencana anggaran belanja negara naik lagi menjadi Rp 3.325,1 triliun.
Sementara itu utang negara sudah sebanyak Rp 7891,61 trilyun per 30 September 2023, ada kenaikan sekitar Rp 471,14 trilyun dari 30 September 2022 (Rp 7420, 47 trilyun).
Defisit dan utang yang diakibatkan oleh program-program yang sudah dibuat oleh pemerintah saat ini apakah mau diteruskan oleh pemerintah mendatang dengan menambah program-program baru yang akan menambah defisit dan utang negara?
Para Cawapres 2024 menjanjikan manfaat sekarang tanpa harus membayar seluruh biayanya sekarang namun dengan memindahkan biaya ke masa depan.
Program-program ini memang menjadikan mereka populer secara politik di masa sekarang, namun hal ini menambah beban triliunan rupiah yang harus ditanggung generasi berikutnya.
Para politisi mestilah bersikap adil dengan menolak membuat janji-janji program baru yang ‘berlebihan’ dan mencari jalan untuk mengurangi masalah di masa depan dengan memperhatikan isu kontroversial mengenai pilihan program yang ada.*
* Dr Hendrawan Saragi, Peneliti Ekonomi Politik dan Pengembangan Wilayah