Alur Hidup: Antara Ketakpastian dan Perubahan (sekadar satu perenungan buat yang terkucil)

redaksi - Selasa, 16 Januari 2024 15:57
Alur Hidup: Antara Ketakpastian dan Perubahan  (sekadar satu perenungan buat yang terkucil)Pater Kons Beo, SVD (sumber: Dokpri)

 

“Bagi orang Kristen, kebohongan yang besar adalah memandang orang lain tanpa belaskasihan, menutup mata kita terhadap kebaikan mereka sebagai manusia dan membenani mereka dengan beban-beban dosa mereka...”

(T. Radcliffe, OP – What is the point of being Christian? 2005)

P. Kons Beo, SVD

Semuanya mesti pasti atau dipastikan! Jelas dan ada dalam kendali. Telak terprogram. Sudah terencana dan telah dipersiapkan. Segalanya mesti ada dalam posisi meyakinkan dan beres. Sebab kita butuh rasa aman. Kita tak ingin terganggu oleh segala ini itu ‘yang mendadak’ dan penuh improvisasi ‘yang tidak ada model punya.’ 

Saat merasa terganggu oleh segala ‘huru-hara’ akibat tanpa persiapan, pun tanpa kepastian, siapapun bisa saja hilang kendali di alam emosi. Kita telah belajar hidup dalam suasana penuh tertib, terarah, orientatif, jelas dalam visi – misi dan komitmen. 

Bagi alam sudah dipastikan dalam hukumnya. Tak selamanya kita gemetaran  di musim dingin, sebab toh kita bakal kuyup keringatan di musim panas. Dahan dan ranting pun sudah pada tahu bahwa ada saatnya ia terlihat meranggas. Namun ada ketikanya bilamana datang musim semi yang berkisah ceriah dalam pucuk-pucuk segar dan pancaran warna-warni kembang bermekaran. Semuanya telah dirancang alam dan ditentukan Sang Pencipta.

Hidup yang melaju selalu membawa perubahan. Tidak kah kita berubah di alam lingkungan, dalam kebersamaan dengan siapapun, dalam peluang – harapan dan tantangan yang dihadapi? Setiap kita bukanlah ‘makluk statis.’ Yang terpaksa menyerah dan terserap dalam tanda-tanda zaman yang nyata. Tidak!

Seseorang yang pernah ditakar dalam ‘lingkungan lama dan pada waktu itu’  tentu telah menjadi lain dan berubah dalam ‘alam dan suasana baru dan kini.’ Toh, perubahan adalah keniscayaan  yang sulit terhindarkan. Namun, apakah dinamika perubahan itu sekian mudah terjadi?

Berserah diri secara pasif dalam situasi baru pasti bukan langkah ideal untuk satu perubahan. Ada hal lain lagi yang diyakini si Bijak, “Perubahan yang terjadi sebagai reaksi atas situasi yang menekan atau demi menggalang pengakuan publik sering tak membantu dan juga tak memuaskan.” Sebab, di situlah irama hidup kita tak lebih dari sekedar ‘kelinci percobaan’ dari sekian banyak harapan orang.

Bila ditangkap dari permenungan Nouwen, maka perubahan mesti bertolak dari ‘ruang terbuka dan kosong, dan dimulai dari sendiri, serta bergerak dalam keheningan dan ketenangan!’ Perubahan hanya bisa terjadi ketika kita, dengan jiwa besar, dapat menangkalkan setiap ketakutan yang ‘disembunyikan’ dalam kuasa, pangkat, jabatan, posisi, kedudukan, harta, mamon atau segala kemewahan diri yang fana.

Perubahan tidak serta ditangkap sebagai ‘gerak maju atau langkah ke depan’ sambil cetuskan ide bahwa ‘ke depan harus berbeda dari yang sekarang ini dan di sini.’ Langkah arif perubahan adalah kembali atau pulang ke diri sendiri atau juga area di sekeliling diri sendiri. Maksudnya? 

Semuanya demi tajamkan kesanggupan pancaindra dan daya-daya rohani dalam diri sendiri demi lintasan berikutnya yang lebih kreatif, inovatif, produktif serta proaktif sambil melihat kesempatan-kesempatan selanjutnya. Kita pasti tahu, siapapun kita, sering bakal sulit hindar dari stigma sesama bahwa ‘kita memang seperti itu sudah.’ 

Bagaimanapun, kita juga bakal tahu diri bahwa ‘kita bukanlah segalanya yang indah untuk menyenangkan hati sekian banyak orang. Atau bahwa kita jalani hidup hanya sebatas jawabi ekspetasi dan valutasi dunia dan sesama. Di hadapan kita, tetap terhampar kesempatan jalani hidup seluas dan sebisanya. 

Tetapi, pada titik renung tertentu, kita bisa saja tiba pada kesadaran bahwa kita tetap terkepung oleh sekian banyak ketidakpastian! Kehidupan beriman kristen, di perjalanan sementara ini, layaknya hidup tanpa kepastian, tanpa jaminan. Dalam ungkapan T. Radcliffe, itulah satu ‘ziarah kehidupan tanpa peta.’ Mari susuri Alkitab.

Bukankah Abraham tinggalkan segala ‘kepastian dan jaminannya’ untuk satu ‘perjalanan terbuka’ yang akan ditunjukkan kepadanya (cf Kejadian 12:1)? Murid-murid Tuhan mesti tahu bahwa mereka ikuti Gurunya ‘yang tak punya tempat sebagai sandaran alas kepala. Tak sebaik nasib serigala yang masih punya liang atau burung yang tetap ada sarangnya (cf Matius 8:20)

Apakah artinya sebuah gaya hidup, jika memang segala sesuatu harus dilepaskan demi mengikuti Pribadi yang penuh tanda tanyanya (cf Lukas 14:25-33)? Seperti apakah  hidup itu bersamaNya sekiranya horison iman harus tenggelam dan berakhir pada kengerian Golgota? 

Kita, bisa saja, sudah terbakukan pada satu atau litania isi dan cara berpikir yang kita ‘dogmakan’ sendiri tanpa perlu lagi satu ‘ruang terbuka’ yang sepertinya cari hal untuk mengobok-obok ‘rasa terjamin dan kenyamanan rasa hati.’

Sebuah cara, isi berpikir dan mental bersikap di dalam ‘batu-batu perajaman’ mesti dilepaskan dan diubah total agar citra kemanusiaan (kembali) dimuliakan.  Apa yang diajarkan dan ditegakkan Yesus tentu bukanlah perkara mudah demi membongkar kepastian lama dan tawarkan satu perubahan pada masaNya. Bagaimanapun, setidaknya, “Dahulu difirmankan kepadamu......... Tetapi, kini (sekarang, hari ini), Aku berkata kepadamu...” (prasasti moral baru dalam Yesus: Kotbah di Bukit, Matius 5-7) telah dikumandangkan. Dan memang mesti dikumandangkan. 

Di hari-hari ini, ada rasa tak teduh yang bergejolak di dada. Di balik LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender) tak pernah boleh ada ‘aura berkat.’ Sepotong kata ‘berkat,’ yang kita terjemahkan saja sebagai ‘bicara baik’ (bene  dicere) buat mereka dan tentang mereka terasa amatlah sulit. Sebabnya? 

Kita telah nyaman pada asumsi, dan juga ‘keyakinan’ (palsu) bahwa semua yang di kategori LGBT itu adalah jahanam, bejat, amoral, laknat, bahkan terkutuk. Kelompok ini bahkan tak layak untuk dapatkan ‘remah-remah berkat’ yang jatuh ‘meja utama berkat meriah dan agung, atau altar ritual-liturgi mewah.’ 

Yang terbaca hari-hari adalah arus ketidakpedulian yang narcis. Bukan saja soal tak peduli akan cara dan isi pandang tentang sesama yang ditatap buntung tak beruntung itu. Tapi bahwa sudah tak mau tahu dengan ‘tenang, sabar dan rendah hati’ untuk pahami dengan isi kepala dan hati apa makna sebuah berkat yang mesti menjamah siapapun.

Maka, di sini jadi nyata, bahwa yang disebut  cinta dan belaskasih, sebagai sikap batin dan aksi, tak pernah selesai dikumandangkan. Sebab gairah hidup tak pernah sepi dari ketidakdilan, berbagai tekanan bahkan dari kekejaman. Demi keadaan nyaman, tenang, penuh jaminan dan pasti, maka ‘yang ternilai aneh, tak biasa, mesti direndam terbenam atau disingkirkan jauh.

Tiba-tiba teringat lagi di hari-hari silam. Saat sekian gesit ‘berkata baik – bene dicere’ itu tentang kendaraan bermotor, bangunan, rumah kediaman, serta segala harta dan kepunyaan ini itu. Katanya, “Itu bukti berkat Tuhan bagi umatnya.” Lalu di titik selanjutnya?

Apakah sesama manusia ‘yang distigma tak biasa’ mesti terkucil dan terpidana selamanya? Seperti itulah mereka dari sananya memang. Alam ‘kepastian aura diri yang tak berubah.’ Hanya buat kita, yang baik-baik dan terhormat ini yang mestinya membongkar ‘kepastian punya kita sendiri.’ Dan lalu mesti berubah untuk berjiwa besarlah dalam sepotong doa berkat yang simpel, biasa, tak mewah meriah. Yang tidak selamanya memandang sesama terus di dalam nista. Dalam alam mimpi-mimpi hidup penuh teduh yang selalu kandas....

Verbo Dei Amorem Spiranti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: MAR

RELATED NEWS