AMPUH TPPO Sebut Lima Alasan Mengapa Indonesia Sulit Memberantas Perdagangan Orang

redaksi - Selasa, 23 Mei 2023 17:29
AMPUH TPPO Sebut Lima Alasan Mengapa Indonesia Sulit Memberantas Perdagangan Orang DAri kanann ke kiri: Gabriel Goa (Ampuh-TPPO, Nukila Evanty (WWG), Wulan (BKD), Ayuningtyas Widari (AWR Foundation), Wildan dan teman lainnya (BKD). (sumber: WA GG)

JAKARTAA (Floresku.com) -  Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (AMPUH TPPO) melakukan pertemuan dengan Badan Keahlian (BKD)  DPR RI, Senin (22/6).

 Agenda pertemuan tersebut adalah diskusi mengenai tantangan kebijakan  dan penegakan hukum yang berkaitan dengan Perdagangan Orang (Human Trafficking), 

Usai pertamuan, Ketua AMPUH TPPO Gabriel Goa menyebutkan  beberapa tantangan perdagangan prang yang harus menjadi perhatian.

Pertama, perlu solidnya  Polri (Bareskrim),  Kejaksaan dan diakhir ada Pengadilan yang akan memutus kasus-kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). 

Menurut Gabriel, selama ini masih banyak terjadi bolak-balik berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan karena Jaksa menganggap berkas perkara tidak lengkap atau tidak cukup bukti, kemudian siapa sebenarnya yang harus dikuatkan untuk melakukan identifikasi, apakah identifikasi kasus dan korban TPPO itu dari Kepolisian atau dari LSM atau Lembaga Pendamping korban. 

Belum lagi kejaksaan yang mungkin sulit memanggil saksi-saksi untuk kelengkapan berkas penuntutan.

Pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pelaku yang sebenarnya  adalah pelaku TPPO adalah pasal KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau pasal terkait ketenagakerjaan. 

Kedua adalah belum adanya penganggaran yang khusus dan tepat sasaran baik di Kementerian maupun di Lembaga Non Kementerian serta di Lembaga -lembaga lainnya seperti GugusTugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di level nasional sesuai amanat Perpres Nomor 22 Tahun 2021 dan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kendala mereka adalah kurang program, tidak ada anggaran dan sifatnya hanya koordinasi .  

Yang ketiga adalah lembaga - lembaga donor dan  lembaga internasional serta swasta kurang punya sensitivitas terhadap isu TPPO

Tidak jarang  mereka tidak  tulus dan yang penting proyek berjalan,  mereka menunjuk LSM yang kurang  transparan.

Diduga berdasarkan kedekatan atau teman-teman lingkaran mereka sendiri dan LSM tersebut harus  membuat lembaga donor "nyaman" dan  yang bisa dikendalikan oleh lembaga donor, lembaga - lembaga tersebutlah yang membuat program-program bersifat repetisi, 

Bahkan uang-uang proyek tersebut lebih besar misalnya untuk membayar konsultan. Padahal sebenarnya dana-dana ini bisa dimanfaatkan membuka pelatihan Calon Pekerja Migran melalui BLK PMI di tingkat kabupaten dan desa. 

Pelatihan untuk investigator (penyidik) di kepolisian kerap dilakukan,  ternyata penyidiknya sudah pindah bagian bukan dibagian yang berhubungan dengan TPPO lagi .  

Sementara itu Nukila Evanty, Direktur Women' Working Group (WWG) menambahkan masyarakat sipil harus dikuatkan, terutama dalam hal pencegahan kejahatan.

Menurut dia,  sekarang ini sindikat kejahatan tersebut sudah sedemikian canggihnya apalagi setelah pandemi COVID-19 ini,  dampaknya semua orang bisa miskin dan tak punya pekerjaan,.

Sementara sindikat tersebut beredar di masyarakat, ada sindikat kejahatan yang mempromosikan pekerjaan lewat sosial media atau memakai cara -cara seperti yang menimpa WNI  sebagai korban perusahaan online scam di Kamboja baru-baru ini.

Contoh, tawaran dan iming-iming menjadi kurir narkotika seperti yang pernah menimpa Merry Utami, mantan pekerja migran. 

Menurut Nukila, awareness tentang mengenal kejahatan human trafficking as organized crime sangat penting dan menjadi bagian kurikulum juga bagi pekerja migran yang prosedural. 

Pada sisi lain, Presiden AWR Foundation, Ayuningtyas Widari menambahkan kemiskinan  masih menjadi problem di berbagai negara di dunia,.

Karena kemiskinan bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan  menyangkut  antara lain:  kerentanan dan kerawanan orang  untuk menjadi miskin;   ada atau tidak adanya pemenuhan hak dasar warga, dan ada atau tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. 

Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu Indonesia menjadi salah satu penyalur TPPO.

Oleh karena itu, iharapkan negara dapat menjamin mobilisasi yang signifikan contoh  pekerjaan yang layak serta dapat membuat kerangka kebijakan yang kuat di tingkat nasional, regional dan international.

"$toP Jo Bajual Orang!" (SP). ***

RELATED NEWS