Antara Debat dan Penaklukan (Sekadar Iris Tipis)

redaksi - Sabtu, 16 Desember 2023 13:24
Antara Debat dan Penaklukan (Sekadar Iris Tipis) Pater Kons Beo SVD (sumber: Dokpri)

“Dalam politik, kebodohan pun bukanlah cacat” (Napoleon Bonaparte, Pemimpin militer & politik Prancis, 1769 – 1821)

Oleh: P. Kons Beo, SVD

INI bukan arena untuk sekadar ‘bikin riuh suasana. ’Tapi ini soal ‘isi kepala’ yang mesti dikeluarkan dengan cara gagah, berwibawa, penuh atraktif serta santun.

Ini juga tentang kuasai isi materi atau pun tentang ‘simak baik-baik inti persoalan yang dipetakan.’ Sedikitnya inilah tentang perkara debat. 

Di area debat orang datang dengan, itu tadi, ‘isi kepala yang ia punyai.’ Semuanya tentang cita-cita dan rencana besar yang mesti tercahaya dalam visi dan misi.

Dan semuanya terpaket dalam gagasan. Dan ini semua, dalam debat itu, bergeloralah arus uji materi dan penguasaannya.

Terpujilah siapapun yang hadir di arena  untuk berdebat dengan ‘kuasai materi’ dan ‘pahami soal.’ Sebab ia tentu kuasai dinamika debat ‘dari arus hulu menuju  hilir persoalannya.’

Dan pada gilirannya alam area debat itu sungguh jadi teater penuh wibawa demi iluminasi serentak konsolasi intelektual yang bercitra. 

Artinya? Publik nantinya pada paham ke arah mana satu gagasan atau cita-cita bakal terorientasi. Dengan itu pula langkah-lengkah terapan sebagai strategi menuju cita-cita dapat terbaca ‘rasional, realistik dan sungguh aplicable.

Bagaimana pun, debat adalah proses evakuasi ‘isi kepala yang tersembunyi’. Dan dinamika itu menuntut adanya peristiwa berbahasa yang mesti jelas, tegas dan tak lagi samar-samar.

Tak butuh banyak tafsir, apalagi segudang tafsir penuh heboh nan berisik. Sebab itulah di arena debat, bahasa adalah instrumentum tak terhindarkan.

Dalam peristiwa berbahasa itulah gagasan ‘ditanam di kepala publik’ agar dapat dimengerti. Itu berarti publik tercerahkan dan terlebih wawasan sungguh diperluas.

Tetapi, di atas segalanya bahwa dalam debat tentu terdapat pula ciri persuasif. Ini dimaksudkan agar pada gilirannya publik dapat diajak dalam ‘menentukan pilihan untuk berjalan bersama’ demi meraih harapan dan cita-cita yang telah dipahami bersama. Tetapi apakah sebuah debat dapat berjalan cantik seperti yang diharapkan?

Penaklukan terhadap lawan debat (kompetitor) sering jadi adegan tak terhindar. Di hadapan publik, pada arena debat  terdapat intensi agar lawan debat dibikin tak berdaya.

Dan jadi kelabakan dalam retorika asal bicara. Dan pada saat yang sama sang penakluk ingin tampilkan diri sebagai penyelamat.

Kisah penaklukan lawan debat dan penguasaan panggung publik juga diracik melalui retorika atau orasi bernada ‘hedonistik verbalis.’

Konkretnya? Terucaplah kata-kata indah sedap terdengar. Itu sejenis “playing games of words,” permainan dan penataan kata-kata yang terdengar logic (masuk akal), yang runtut dalam alur bicara, dan mesti dikemas sopan beretika dalam berujar.

Namun, sayangnya, sedapnya kata-kata itu ternyata ‘inflatif nilainya dan beraroma amis’ saat mesti dibenturkan dengan track record (rekam jejak).

Kata-kata memang mesti dibawa pada fakta kisah-kisah lapangan yang sudah-sudah. Di situlah, kebenaran tak bisa dipenjarakan dalam gelap, apalagi saati jejak digital tak mudah disegel mati atau diberangus begitu saja.

Tetapi, ajang adu debat bisa juga diturunkan kewibawaannya sebagai  panggung sandiwara penuh lawak. Itu terjadi saat debat  yang seharusnya ‘serius, oficial, fundamental’ dibikin fakultatif.

Saat area debat dijadikan sebagai ajang yang disetarakan dengan panggung ‘stand up comedy’ penuh gesture lelucon kekanak-kanakan yang sukanya ‘rame-rame dan hura-hura.’

Bagaimanapun, di balik debat ada kepentingan meraup simpati dan rasa serta tindak keperpihakan. Intinya semakin banyak ‘yang berpihak’ semakin mendekatilah ‘rasa di alam kebenaran.’

Kita tak pernah luput dari kebenaran pragmatisme di jalur pikiran William James, misalnya. Artinya, semakin banyak ‘pro’ secara kuantitatif, maka semakin teballah kebenaran itu. Kita ‘benar dan haruslah menang’ karena banyak orang yang mendukung.

Maka di sinilah, seringkali debat dicurigai sebagai ‘aksi sekedarnya saja di atas panggung.’ Yang hanya butuh gerak tepuk tangan  penuh sorak-sorai.’

Demi jumlah suara benar dan terutama demi kemenangan, aksi atau geliat geriliya  di luar panggung debatlah yang mesti digencarkan. Sebab ‘perang luar panggung’ itulah yang menentukan.

Sebab, tak cukup hanya dengan debat, walau hal intu merangsang akal budi. Yang selalu digencarkan adalah upaya-upaya penaklukan dengan cara apapun.

Penaklukan dengan cara ‘obyekkan diri sendiri dengan lucu-lucuan penuh geli hingga cara-cara sarat emosional yang tak tersembunyikan.’

Wah, ada-ada saja na..

Bagaimana pun tidak kah pernah ada himbauan atau ajakan sejuk bernilai tegas sebenarnya, yang bersuara “Ayo gunakan akal sehat, karena hanya dengan akal sehat bangsa ini akan selamat….”

Pada bangsa ini tentu akal sehat dan hati nurani bakal tak pernah senyap apalagi bila harus  menuju kematian….

Verbo Dei Amorem Spiranti. ***

RELATED NEWS