Antara Farel Prayoga dan Mitos Jokowi ‘Orang Baik?’ (Sekadar Debu-debu Tipis Saja)
redaksi - Minggu, 21 Januari 2024 18:18“Dia yang hanya mempraktekkan kebaikan hanya untuk mendapatkan ketenaran, sudah sangat dekat dengan keburukan”
(Napoleon Bonaparte, Pemimpin militer dan politik Prancis, 1769 – 1821)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Ini cuma serempetan ringan saja. Di bincang-bincang penuh kelakar tentang politik Negeri penuh lelucon dan dramanya, tiba-tiba teringat Farel Prayoga. Anak lelaki jelang remaja kelahiran 8 Agustus 2010 itu, bukankah pernah bikin heboh Istana?
Tampilan ‘gemoy’ Farel di HUT RI ke 77 di 2022, sudah goncangkan para petinggi Republik. Suara emas Farel dalam lantun “Ojo Dibandingke” karya Abah Lala itu sepertinya sudah jadi sebab dari ‘gemoy-an (gemas) nasional.’ Viralnya Farel telah kuasai pemberitaan berbagai media masa.
Indonesia yang telah rayakan kemerdekaan di tahun yang ke 77 itu, mesti istirahat sejenak di sebuah pit stop nasional. Mesti ada rehat Nusantara dari sloganisme dan aksi “Kerja - Kerja – Kerja.” Saatnya harus ada rileks sejenak walau sesaat.
Dan di situ sebenarnya gemoy-gemoyan sudah dimulai. Dan, sekali lagi, para petinggi dan pemegang kuasa lah yang telah mengawalinya dengan ‘goyang tubuh yang menggemaskan.’ Bravo, Farel! Namun, tentu tak stop di situ....
Jika mesti susuri lyrik Ojo Dibandingke, tentu saja “Di hati ini hanya ada Pak Jokowi” telah jadi pemicu gemuruh Istana kala itu. Dan lalu menggema ke seantero Tanah Air.
Apa Abah Lala yang membisikkan ‘frase itu’ pada Farel atau mungkin kah seorang konsultan politik Jokowi yang lakukan itu? Entahlah. Yang jelas “Pak Jokowi, telah jadi booming dan semakin incarnated di bumi pertiwi.”
Gara-gara si Farel, Jokowi semakin tenar, populer dalam pencitraan yang semakin laju deras mengalir! Si Bocil Farel, sepertinya sudah serukan satu himbauan dan nasional: “Ku berharap engkau mengerti, di hati ini hanya ada Pak Jokowi.”
- Osi Gandut Caleg Golkar untuk DPRD Provinsi ‘Pulang Kampung’ Minta Doa Restu dan Dukungan Warga Kelurahan Tanah Rata, Matim
- Surat Gembala Uskup Ruteng Menyongsong Pemilu 14 Februari 2024
- Kejari Sikka Terima Dua Tersangka Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pembangunan Turap
Semua mesti pada maklum pada memang ‘orang baik karenanya tak ada yang lain. Sebab hati ini telah dikuasai Pak Jokowi.
Jokowi kini lagi berangan-angan siap panen raya dari ‘arus mitologisasi’ dirinya sebagai orang baik. Mitos ‘orang baik’ itu sudah tersusun tahap demi tahap sejak 2002, saat Jokowi jadi kandidat Gubernur DKI hingga melaju jadi kandidat Presiden.
Sejak itulah (mungkin juga sejak dari Solo) semangat nasionalisme dibangun dalam pemitosan (calon) pemimpin) yang (ter)baik dalam diri Jokowi.
Tak hanya itu, labelisasi sebagai sosok pemimpin yang sederhana, apa adanya, sabar, merakyat penuh blusukan (bukan busukan), banyak bukti kerja nyata semakin ‘mendarah-daging dan membatin’ di sukma publik. Dan selanjutnya?
Di suatu hari, langit Negeri terpanah. Survey di Juni 2023 melansir “Tingkat kepuasan stabil dan naik tipis pada kisaran 81-82 %.”
Di situlah mitologisasi Jokowi sebagai orang baik, benar, sederhana dan merakyat semakin menjadi-jadi. Mengarus tak terbendung. Nampak nya sebagai sebuah ‘kepantasan yang wajar diperoleh.’
Namun, drama ‘Paman Usman yang loloskan Gibran, Putra Jokowi’ sepertinya jadi ‘rem mendadak’ politik Tanah Air di balik “Jokowi Orang Baik” yang sungguh sulit dipahami.
Kini, sebagai Presiden, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi dituding telah lukakan negeri dengan ‘conflict of interest.’ Di hari-hari ini antara “Jokowi Presiden dan Jokowi Bapanya Gibran-calon wakil Presiden Kubu 02” jadi ‘campur baur yang tampak menggelikan.’
Mungkinkah ‘melalui Jokowi, bersama dia dan di dalam dia’ Negeri ini segera terjerembab dalam “ending of democracy and beginning soon of a dynasti?”
Nampaknya Jokowi segera ingin cicipi buah manis dari popularitas yang termitos sebagai orang baik dan benar.
Kata-kata sendu, kini, terdengar lamentatif sentimental, “Ah Pak Jokowi, kau bukan yang dulu lagi....” Para buzzer pendamping dan pembela setia Jokowi di tahun-tahun kemarin itu ‘entah di mana kini kalian berada, tak tahu di mana rimbanya.’
Memang tak gampang juga dengan persoalan hati yang dulunya ‘bela mati-matian’ dan kini ‘harus dipaksa mengutuk habis-habisan.’ Iya, tak semudah itu. Tapi, katanya, ‘untuk entitas politik segalanya punya ciri fakultatif, penuh serba kemungkinan nan variatif dan tak ada yang pasti!’
Katanya, “Jangan mendakwah bahwa politik itu penuh dengan bilik dustanya, sebab itu memanglah bagian dari ciri artistik gemoyan-nya. Yang menggemaskan, begitu! Yang punya banyak bilik dustanya itu hanyalah dalam bangunan gereja, tempat kita akui dosa dan dapat rahmat pengampunan.”
Di balik citra demokrasi Tanah Air yang cemar ini, lagi-lagi kita teringat Farel Prayoga, yang pastinya tak mengerti ‘mengapa di tanahku tetap terjadi bencana politik?’
Sebab si Farel sudah di-designed hanya sebatas berkumandang, itu tadi, “Kuberharap engkau mengerti. Di hati ini, hanya ada Pak Jokowi...”
Apakah karena ini juga “Prabowo penuh sabar dan mati-matian menanti Gibran?’ Dan bukannya salah satu senior dari partai-partai koalisinya. Ini gara-gara “Farel Prayoga dan Abah Lala yang pung kerja semua.....”
Bagaimanapun, di simpang siurnya kehidupan ini, tak ada apapun yang absolut dan abadi. Setiap manusia selalu punya dua sisi diri dan aura jalan kehidupannya.
‘Baik dan tidak baik bisa silih berganti.’ Yang ketika itu ‘dipuja puji, hari-hari ini bisa dicaci maki.’
Pak Jokowi itu di delapan tahun kepemimpinannya pasti tahu bahwa ialah ‘Bapak seluruh Negeri, dan bagi Negeri inilah seluruh jiwa raganya diserahkan.
Namun, di sisa akhir waktu kekuasaannya ini, barulah Pak Jokowi tersadar bahwa ia sesungguhnya adalah ayah dari Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep.’ Dan tidak kah seorang ayah yang pasti tahu apa yang mesti diperbuat demi anak-anak terkasih?
Bagaimanapun, untuk kita yang ‘apa adanya’ ini, biarlah kita tetap berkblat pada nasihat usang nan arkais, walau kita sering-sering tergelincir juga, bahwa “Yang manis janganlah cepat ditelan, dan yang pahit itu janganlah segera dimuntahkan.”
“Farel oh Farel, akan datang saatnya nanti engkau pasti pada mengerti: apa layak atau tidak layaknya lantunmu itu: “Di hati ini hanya ada Pak Jokowi…….”
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***