Bantuan Tanpa Pamrih Itu… (menatap Perumpamaan Orang Samaria yang murah hati)
redaksi - Senin, 05 Februari 2024 15:50
“Bantuan tidak ada hubungannya dengan bantuin ya.. Harus iklash”
(Cak Lontong cs – Koalisi Tawa)
P. Kons Beo, SVD
Kisah itu memang bukan sekadar satu perumpamaan. Atau hanya semacam satu kisah bercerita biasa dari Yesus. Tercover dalam injil Lukas 10:25 - 37. Ini semua bermula saat seorang ahli Taurat ajukan satu pertanyaan coba-coba tentang syarat apakah agar ia ‘memperoleh hidup kekal.’ Mungkinkah seorang ahli Taurat tak mengerti hukum (Taurat) untuk dapatkan cita-cita mulia itu? Sudahlah! Namanya saja pertanyaan ‘yang mau sekedar test-test.’
Yesus, ‘yang tak mau begitu saja dikerjain atau dijebak’ dalam tanya yang penuh pura-pura itu, harus menguji kepakaran Ahli Taurat soal hukum. Sebab para ahli Taurat itu ‘suka sekali dan terikat kuat pada apapun atas dasar ketentuan hukum. Sebab itu?
Yesus harus balik bertanya pada si ahli Taurat itu: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?” (Luk 10:26). Dan si Ahli Taurat pun tak punya pilihan lain selain harus jelaskan pengetahuan dan kepakarannya tentang hukum. Katakan begini saja, jika hendak ‘selamat’ maka “harus mengasihi Tuhan dalam segalanya.” Dan juga “harus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.”
Kepakaran si penguasa atau juga si penyembah hukum ini tentu dipuji Yesus. Sebab ia tak salah. Tapi, si Ahli Taurat itu rupanya tak puas. Ia ingin sebuah kepastian tentang “siapa kah sebenarnya sesama manusia itu?” Apakah sesama manusia itu hanyalah sebatas kelompok orang yang dihalalkan oleh Hukum Taurat? Atau?
Dan karena itulah Yesus mesti menuntunnya menuju siapa sebenarnya ‘sesama manusia itu?’ Dan bagaimana sebenarnya sebuah hati yang harus berbelaskasih tanpa dipagari Undang-Undang atau Hukum Taurat yang banyak kali ditafsir licik dan picik.
Biarkan saja untuk tak konsen pada ‘si Imam dan seorang Lewi’ yang sungguh apatis, cuek ‘malas tahu mati punya’ akan derita si korban di pinggir jalan itu. Toh bagi mereka berdua, “Apa untungnya memberi bantuan kemanusiaan?” Tak ada efek sosial (politik) sedikitpun. Tanpa beri bantuan juga tak ada pengaruhnya pada derajat sosial sebagai Kaum Imam dan sebagai seorang Lewi. Intinya berdua itu akhirnya melewatinya dari seberang jalan (cf Luk 10:31-32).
Tapi untuk si Samaria, yang berasal dari kalangan ‘biasa-biasa dan tak diperhitungkan dalam kepantasan struktur sosial, Yesus justru kisahkan sedeteilnya bagaimana ‘dinamika bantuan sosial kemanusiaan’ yang ditunjukannya bagi si korban perampokan, yang telah dibogem hingga setengah mati itu.
Si Samaria itu: turun dari keledai, dekati si korban, balut luka-lukanya, sirami dengan minyak dan anggur, naikan si korban ke atas keledainya (si Samaritan itu harus berjalan kaki), membawanya ke penginapan dan membayar penginapan, dan meminta agar si korban dirawat.
Kisah si Samaria tak berhenti di situ. Perhatian pada si derita dimeterai dalam ingatan penuh afektif, “Aku pasti kembali untuk memastikan bahwa ia sembuh, dan kelebihan biaya perawatan akan dikembalikan.” Bagi Yesus, bukan persoalan bahwa kaum pinggiran seperti masyarakat Samaria itu ‘tahu hukum atau tidak tahu hukum tentang siapa itu sesama.’
Di atas hukum masih ada cita rasa yang dimeterai dalam etika kebijaksanaan. Dan itu harus melampaui efek kepentingan sendiri dan kelompok. Si Samaria itu tunjukan belaskasih dalam sejadinya. Dan bisa jadi di dalam ‘sunyi penuh hening’ dan hanya si pemilik penginap yang mengetahuinya.
Dan apakah hal seperti ini bisa diikuti oleh si Ahli Taurat dan kelompoknya? Yang perbuatan ‘baiknya’ selalu dipamer-pamer agar dilihat publik dan dengan itu sungguh harapkan pujian? Si Samaria tak perlu pujian.
Yakinlah bahwa kisah si ‘Samaria yang baik’ itu ingin bebaskan si ahli Taurat itu dari politisasi bantuan sosial-kemanusiaan terhadap sesama untuk tujuan yang berkiblat demi kepentingan diri dan kelompok sendiri. Yang diperlihatkan oleh si Samaria terhadap di derita ‘sungguhlah bantuan dari hati nurani dan cita rasa kemanusiaan.
Dan, di akhir perumpamaan itu, ada imperasi jelas dari Yesus buat si Ahli Taurat, Ahli Undang-Undang itu, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” (Luk 10:37). Maksudnya, buatlah dalam ‘sunyi’ demi sesama yang menderita, berkekurangan dan berkebutuhan. Tak usalah seperti aksi ‘pamer-pamer atau sejenis kampanye dan selebrasi agar dapat kompensasi pujian publik.
Teringat lagi kata-kata Yesus buat murid-muridNya, “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Tetapi kalian kalau kam memberi sedekah, berikanlah dengan diam-diam, sehingga tidak ada yang tahu..” (cf Mat 6:3-4).
Bagi si ahli Taurat, lebih dari sekedar menghafal Taurat atau Undang-Undang, ia sebenarnya dibina untuk satu animasi Revolusi Mental dalam melihat “Siapakah sesamaku yang sesungguhnya.” Melihat sesama sambil memberi bantuan dengan iklash. Tanpa harapan mati-matian dalam intensi bantuin ya..
Ada-ada saja Cak Lontong cs di Koalisi Tawa ini.
Verbo Dei Amorem Spiranti