Berkotbah di Sekolah Cinta

redaksi - Kamis, 16 September 2021 23:01
Berkotbah di Sekolah Cinta RD Stef Wolo itu sedang berkotbah di 'Sekolah Cinta' (sumber: RD Stef Wolo)

Oleh RD Stefanus Wolo Itu*

HARI  minggu 5 September lalu saya mengikuti kegiatan Persekutuan Kristen Indonesia atau PERKI Swiss di Volketswil-Kanton Zürich.  Mereka mengundang saya untuk berdoa, bernyanyi bersama dan membawakan kotbah.

PERKI Swiss merupakan sebuah persekutuan ekumenis. Persekutuan ini terdiri dari pelbagai denominasi Kristen dan juga orang-orang katolik. Mereka berasal dari seluruh Indonesia. Ada orang Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, NTB dan NTT. Mereka tinggal di Swiss karena pernikahan, pekerjaan dan studi.

Komunitas ini seringkali menyelenggarakan kegiatan ekumenis. Ada doa bulanan berskala kecil. Ada perayaan paskah dan natal berskala besar. Ada sekolah minggu ekumenis. Ada pentasan budaya Indonesia. Tampilan mereka keren. Apalagi dilengkapi asesoris fashion keluaran Swiss.

Mereka juga sering mengumpulkan aksi solidaritas.  Entah untuk sama saudara di Swiss maupun di tanah air. Saya kira aksi solidaritas ini sudah menembus ratusan juta. Aksi solidaritas ini bebas dari « primordialisme internal Kristen dan Katolik ». Juga bebas dari sekat agama, suku dan kepentingan politik.

Mereka sering mengundang para pendeta dan pastor untuk memimpin ibadat ekumenis ini. Pastor dan pendeta membawakan kotbah secara bergilir. Saya sendiri cukup laris berkotbah. Perjumpaan pendeta dan pastor dalam „OASE PERKI“ selalu membawa sukacita.

Saya mengenal beberapa pendeta yang pernah bertugas di Indonesia. Salah satunya Pendeta Armin Keller dari gereja Lutheran Jerman. Beliau lama bertugas di Sumatera. Kami berdua saling menyapa „Abang-Adik“. Saya menyapanya „Abang Armin“. Beliau menyapa saya „Adik Stefan“. Sapaan bernuansa persaudaraan. Kami sepakat „Abang-Adik“ mesti menjadi „Motor Penenun Persaudaraan Komunitas Ekumenis“.

Saya berterima kasih dan menghargai undangan istimewa dari PERKI kali ini. Saya hadir karena tiga alasan.

Pertama, saya sedang bebas dari pelayanan pastoral di wilayah paroki sendiri. Saya punya waktu untuk melayani  komunitas PERKI. Bagi saya PERKI Swiss adalah juga „Schola Amoris atau Sekolah Cinta. Sekolah yang membantu masyarakat kristiani agar bertumbuh dalam cinta kasih kepada Tuhan, sesama dan lingkungannya.

Kami hidup di dunia barat. Hidup di kawasan masyarakat individu. PERKI menjadi salah satu komunitas persaudaraan yang memupuk solidaritas keindonesiaan di Swiss. Setiap orang kristiani dari gereja manapun terpanggil menjadi perajut persaudaraan. Di tengah ateisme dan sekularisme bumi Alpen, kita terpanggil untuk tetap berbicara tentang Tuhan. Kita juga memberikan kesaksian iman kita.

Kedua, moment ini juga bertepatan dengan jubileum imamat saya yang ke 24. Tanggal 3 September, saya merayakan jubileum imamat ke 24 seorang diri.  Saya mensyukuri imamat saya dalam kesendirian. Mulai dari doa, ekaristi dan makan minum.

Sehari setelahnya, saya merayakan syukuran bersama keluarga Felisia, Irwanto, Adriel dari Brugg. Kami bergabung bersama Stefan dan Santy di  Lensburg. Kami menikmati makanan dan minuman istimewa.  Kami juga berbagi suka duka hidup keluarga dan hidup imamat. Kami saling memperkaya dan saling meneguhkan.

Saya juga ingin merayakan sukacita imamat bersama PERKI. Pertama kali saya merayakan syukuran imamat bersama komunitas ekumenis. Saya ditahbiskan sebagai imam katolik. Saya menjalankan tugas pelayanan sesuai dengan norma gereja katolik. Tapi saya menginginkan sebuah persaudaraan yang lintas batas.  Dalam urusan persaudaraan, saya mesti keluar dari „Sekat Kekatolikan“.

Motto imamat saya „AKU MENGASIHI ENGKAU KARENA ENGKAU MULIA DAN BERHARGA DI MATAKU“. Motto ini mengingatkan kasih imamat saya yang mesti lintas batas. Semua orang yang saya jumpai, apapun latar belakangnya, adalah mahluk mulia dan berharga. Mereka memiliki martabat dan harga diri yang sama luhur. Mereka semua gambar Allah dan mahluk ciptaan Tuhan. Jadi tidak hanya terbatas pada orang katolik.

Saya diingatkan untuk menjadi perajut persaudaraan universal. Melalui sakramen pembabtisan kita mengambil bagian dalam tugas-tugas Yesus. Salah satu tugas kita adalah mewartakan sabda Tuhan. Kita hidup di Swiss dan berintegrasi dengan kultur dan masyarakat Swiss. Berkat kekayaan nilai-nilai  injili, kita perlu berkontribusi membangun peradapan cinta di negeri Alpen.

Ketiga, saya ingin mengobati rasa rindu. Saya rindu warga komunitas PERKI ini. Situasi Pandemie membatasi perjumpaan kami. Kami hanya kontak jarak jauh. Saya hanya menikmati postingan-postingan kreatif mereka di jagat maya.  Saya ingin menjumpai mereka di dunia nyata. Perjumpaan di dunia nyata adalah pengobatan rasa rindu yang sejati.

Kerinduan saya ini terjawab secara mengesankan. Sekitar 30 an „Penenun Persaudaraan dan Guru Sekolah Cinta“ PERKI Swiss hadir. Ada Alfonco Sinaga, Ketua PERKI Swiss yang mengiringi lagu-lagu dengan guitar tunggal. Ruth memandu keseluruhan perayaan ekumenis. Emria Sitorus memimpin lagu-lagu merdu. Ada Susie Lehmann, Christiana, Vivien Studer, Frengky, Elny, Cynthia Lebet dan sejumlah pengurus PERKI.

Kami menyanyikan enam lagu: Kaulah Segalanya, Hidup ini adalah Kesempatan, Give Thanks, Tahta Sucinya, Tiap LangkahKu dan Ku Tak Pandang dari Gereja Mana. Syair-syairnya sangat meneguhkan persaudaraan kristiani. Sementara ibu Karin membawakan lagu „THE PRAYER“ dari Celine Dion dan Josh Groban dengan iringan Querflöte atau seruling.

Setelah perayaan kami bersantap siang bersama. Saya terharu karena santapan siang ini adalah juga resepsi hari ulang tahun tahbisan. Makanannya  bervariasi dan enak. Ibu-ibu menyediakannya dengan penuh sukacita. Mereka tampil dengan senyuman penuh kasih. Mereka juga memberikan hadiah untuk saya. Hadiah yang bernuansa persaudaraan.

Saya mengapresiasi komunitas PERKI sebagai komunitas yang mulia dan berharga di mataku. Saya ingat akan dokumen tentang persaudaraan manusia yang  ditandatangani di Abu Dhabi, 4 Pebruari 2019 oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al Tayyeb. Dokumen ini merupakan undangan untuk rekonsiliasi dan persaudaraan di antara semua orang beriman dan yang tidak beriman.  Dan juga persaudaraan di antara semua yang berkehendak baik.

Saya mengapresiasi spirit ekumenis PERKI Swiss. Tetaplah menjadi „Schola Amoris atau Sekolah Cinta“. Sebagai „Sekolah Cinta“ kita menata ruang luas nilai-nilai rohani dan manusiawi. Kita menghadirkan keutamaan-keutamaan moral kristiani.

Semua agama mengajarkan kasih sayang, kejujuran, toleransi dan keadilan. Pelajari nilai-nilai agama itu dan praktekan dengan penuh sukacita. Dengan itu kita menghindari „perdebatan yang tidak produktif antara kristen, katolik dan agama-agama lain“.

*RD Stefanus Wolo Itu, Imam Projo Keuskupan Agung Ende Flores NTT

Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss

Editor: Redaksi

RELATED NEWS