Bertamasya ke Fulan Fehan, Serasa Berada di Swiss atau New Zealand
redaksi - Minggu, 06 Juni 2021 15:05AJANG Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 yang berlangsung di Hotel Inaya Bay Labuan Bajo, Kamis, 20 Mei 2021 lalu menempatkan Fulan Fehan sebagai Juara 1,Kategori Destinasi Dataran Tinggi.
Meski demikian, rupanya banyak yang belum tahu, apa dan di manakah Fuhan Lehan itu?
Memang beberapa waktu lalu, nama ini sempat viral saat Pevita Pearce memposting kekagumannya pada Fulan Fehan di Instagramnya. Ya, aktris cantik ini pernah ke Fulan Fehan di Desa Dirun Kecamatan Lamaknen Kabupaten Belu, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk syuting film Rumah Merah Putih garapan Alenia Pictures.
Kalau Pevita ke dataran tinggi di kaki Gunung Lakaan dekat perbatasan dengan Timor Leste ini untuk berkerja (syuting), sahabat traveler kami ajak untuk berkenalan dengan Fulan Lehan. Siapa tahu, suatu saat kelak anda bertamasya ke sana.
Padang sabana nan eksotis
Apa yang membuat Fulan Fehan dipiliht tim juri API 2020 sebagai juara? Rupanya, alasannya ada beberapa, dan semua pertimbangan tentu sangat masuk akal.
Fulan Fehan adalah sebuah dataran tinggi unik karena berupa lembah di kaki Gunung Lakaan, berada di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, sekitar 26 Km dari Atambua, ibukota Kabupaten Belu.
Sebagian besar lembah Fulan Fehan adalah padang rumput yang yang luasnya tak terjangkau oleh mata. Di padang rumput nan luas itu terdapat banyak hewan seperti kuda dan sapi yang bebas berkeliaran. Di sejumlah tempat terdapat tumbuhan kaktus yang tumbuh subur dan menghasilkan buah yang lezat.
Makannya, siapa pun yang menjejakkan kakinya di Fulan Lehan pasti akan berdecak kagum, terpesona.
“Eksotis itulah salah satu kata dari ribuan kata indah yang dapat menggambarkan lembah dengan sabana yang luas ini. Kecantikan nan misterius mengundang banyak teka-teki bagi pecinta lorong-lorong indah negeri ini,” tulis Siti Atika Haris di kumparan.com sekembalinya dari Fulan Lehan pada akhir 2019 lalu.
Kemudian Siti Atika Harun melanjutkan, “Tempat ini kuibaratkan sebagai surga kecil yang menjadi muara pertemuan dua bangsa yang dulu pernah bersatu dan mengikat janji untuk berkhidmat kepada bumi pertiwi, namun akhirnya berpisah.
Sabana ini bak tiruan padang rumput di Swiss dan New Zealand yang Allah titipkan di bumi pertiwi untuk jiwa-jiwa yang belum bisa menebus tapal dan batas negeri ini, karena bukan hanya masalah waktu yang menjadi penghambat untuk sampai ke padang rumput di benua biru namun juga biaya yang tidak sedikit.”
Banyak obyek wisata
Tak jauh dari bentangan padang rumput nan hijau, terdapat beberapa objek wisata sejarah yang menakjubkan, warisan suku bangsa Melus.
Di ujung Timur lembah ini ada situs bersejarah Kikit Gewen yang berupa kuburan tua yang sangat sacral.
Ada pula obyek wisata ama berupa dua air terjun berair jernih dan segar yakni Air Terjun Sihata Mauhalek, dekat Desa Aitoun, dan Air Terjun Lesu Til di pinggiran Weluli, pusat Kecamatan Lamaknen.
Benteng Tujuh Lapis
Di antara banyak obyek wisata tersebut, salah satu yang paling unik adalah benteng peninggalan Kerajaan Dirun. Benteng ini bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis 7. Ini adalah benteng perang tradisional ketika dulu di pedalaman Timor masih marak terjadi perang antar suku.
Sesuai namanya, Benteng Ranu Hitu berbentuk lingkaran berlapis-lapis yang tersusun oleh tembok batuan karang.
Uniknya, pintu masuk masing-masing lingkaran letaknya bukan pada satu garis lurus laiknya Candi Borobudur, sehingga pengujung harus berjalan mengikuti pola lingkaran. Artinya pengunjung mesti mengitari beberapa kali sebelum sampai ke pusat benteng.
“Saya belum pernah melihat benteng kuno semenawan ini. Apalagi pepohonan berjejal dan batuan tua ditumbuhi lumut, serta kabut tebal yang seolah menari-nari terperangkap di dalamnya,’ tulis Valenino Luis dalam blog pribadninya, lionmag.net.
Di benteng ini terdapat lapisan-lapisan pertahanan yang dimulai dari awal pintu masuk hingga akhirnya ke lapisan terakhir dimana terdapat sebuah area bulat dari batu membentuk sebuah tempat pertemuan, tempat dimana raja-raja waktu dulu berkumpul.
Di pusaran benteng, terdapat dua buah batu besar yang konon dulu dipergunakan untuk menaruh kepala musuh mereka.
Ada pula beberapa kursi dari batu. Salah satu kursi batu terlihat special dan berada di tempat yang lebih tinggi, layaknya sebuah singgasana raja.
Menurut warga lokal, itu adalah tempat raja Suku Uma Metan biasa duduk. Di singgasana itu terletak sebuah batu bulat pipih sebagai alas duduk. Oleh warga lokal, batu alas duduk itu disakralkan, sehingga tidak boleh diduduki oleh siapapun juga. Warga lokal percaya jika mereka menduduki bangku tersebut, maka nasib buruk bisa menimpa mereka.
Tepat di belakang bangku tersebut terdapat sebuah batu persegi panjang yang ternyata adalah makam dari sang raja pertama Kerajaan Dirun, Raja Dasi Manu Loeq.
Tentang ini seorang penunjung bernama Valentino Luis bersaksi, “Kami masuk lingkaran akhir dimana terdapat kubur panglima perang, batu altar, dan juga meriam Spanyol. Konon, benteng ini adalah kampung leluhur orang Dirun. Altar tersebut digunakan untuk ritual, sedangkan area lingkaran pusat merupakan tempat pertemuan ketua adat untuk mengeksekusi pelanggar hukum sekaligus tempat peletakkan kepala musuh yang dipenggal sewaktu perang.”
“Saya masih ingin berlama-lama dalam benteng ini, tapi tiba-tiba hujan turun dengan deras disertai serbuan kabut tebal. Saya dan teman-teman bergegas keluar. Dan ajaibnya, setelah kembali ke padang rumput, matahari bersinar cerah,” kenang Valentino lagi..
Festival Fulan Lehan
Untuk mempromosikan desitinasi wisata Fulan Fehan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah menggelar sebuah perayaan budaya bernama Festival Fulan Fehan. Kegiatan berlangsung pada 3 Juli hingga Oktober 2018 yang diawali dengan Festival Foho Rai 3-16 Juli 2018.
Festival Fulan Fehan mengangkat khazanah seni yang bermula dari mitos asal usul manusia di kawasan tersebut, yakni “Tari Likurai”.
Dalam mitologi masyarakat Belu disebutkan bahwa pada zaman dulukala, di dunia pada masa itu masih sempit, terjadi pertikaian antara manusia dengan bangsa monyet. Manusia harus berperang dengan bangsa monyet agar bisa bertahan hidup. Tentu, sang manusia berhasil memenangkan perang.
Raja lalu memerintahkan untuk membuat upacara penyambutan bagipara pahlawan perang yang telah mengalahkan bangsa monyet. Atas perintah itu, diciptakanlah “kolo kolo, bui muk” sebagai instrumen tarian. Para wanita menggunakan kolo kolo bui muk sebagai properti tarian.
Dilaksanakan di depan rumah adat, tarian kemenangan ini kemudian disebut Likurai. Sesuai perkembangan zaman, tak ada lagi peperangan, maka tarian Likurai dipentaskan dalam acara-acara resmi adat, atau misalnya penyambutan tamu di Belu.
Pada tahun2016, Kemendikbud menetapkan tarian Likurai sebagaiwarisan budaya tak benda Indonesia. Dalam masyarakat di kawasan Belu dan sekitarnya, tarian ini tak hanya menjadi wahana penyambutan kepada mereka yang telah memenangkan pertarungan, tapi juga menjadi wahana perwujudan, pemuliaan dan penyebaran ungkapan nilai-nilai kerja sama, gotong-royong, keramah-tamahan, sikap saling menghargai dan toleransi.
Sebelum tampilan akbar di Lembah Fulan Fehan, diselenggarakan Festival Foho Rai, di lima lokasi kampung adat. Rancangan Festival Foho Rai merupakan cara untuk menampilkan ekosistem penunjang Tari Likurai.
Tari Likurai sebagai satuan budaya yang diangkat dalam Festival Fulan Fehan, dalam model ini dipampangkan dalam habitat muasalnya, yaitu kampung adat, disangga oleh komunitas adat. (MA/dari berbagai sumber).