'Bertemu Tuhan di Tubuh', Refleksi Teologis Saat Sakit Covid-19 (Bagian 1)

redaksi - Kamis, 15 Juli 2021 13:04
'Bertemu Tuhan di Tubuh', Refleksi Teologis Saat Sakit Covid-19 (Bagian 1)Pendeta Dr. Mery Kolimon (Ketua Sinode GMIT) (sumber: google-image)

Oleh Pendeta Dr. Mery Kolimon (Ketua Sinode GMIT)

Berdamai dengan Rasa Marah

AKHIR minggu pada akhir Juni 2021 suami saya mulai merasa tidak sehat: pilek, batuk, badan lemah, tak berselera makan. Saat itu Kota Kupang berangin dan cuaca sedang tidak stabil, kadang panas, kadang dingin. 

Jadi suami saya pikir pasti masuk angin karena kecapaian dengan beberapa rapat akhir-akhir ini. Sebelumnya saya sempat ingatkan beliau: “Kerja jangan sampai terlalu larut, berapat jangan terlalu panjang dan sering. Ini sedang pandemi. Masker harus sering diganti. Kalau pulang rumah, langsung ganti baju, dan seterusnya." 

Hari Selasa di akhir bulan Juni puteri saya kirim WA saat saya masih di kantor: “Mama pulang jam berapa? Ien rasa tidak sehat. Seluruh tubuh sakit, Ien demam dan meriang, sepertinya Ien kena covid”. 

Saya langsung pikir, duh ini harus segera swab bersama bapaknya. Saya kuatir karena dia sudah pegang tiket. Dua hari lagi dia harus ke Jakarta untuk urus visa pertukaran pelajar ke AS. Saya buru-buru menyelesaikan pimpin rapat dan bergegas ke rumah. 

Suami saya masih menolak untuk tes Covid: “Ini paling demam biasa.” Saya ngotot, keduanya harus segera swab antigen. Setengah jam kemudian mereka menelpon dari klinik Neka Sehat: “Mama kami berdua positif.” 

Saya langsung kontak kawan Ibu Fima Inabuy di Lab Biomolekuler Provinsi NTT agar esok harinya kami seisi rumah melakukan tes PCR. Hasil tes PCR Hari Rabu itu kami berempat di rumah, berdua suami isteri dan dua anak, positif. Keponakan yang tinggal dengan kami, Efi, hasilnya negatif. Tiga hari kemudian Efi tes PCR sekali lagi dengan rombongan Kantor Sinode GMIT. Hasilnya masih tetap sama; dia negatif. Terpujilah Tuhan. Selama kami sakit dia yang mengurus kami.

Saat awal mengetahui kami positif, saya marah pada suami dan pada diri sendiri: Kenapa tidak hati-hati? Anak-anak kami sudah satu tahun lebih belajar dari rumah. Kami orangtua yang selalu ke tempat kerja. Di Majelis Sinode kami selalu usaha edukasi komunitas kami untuk ketat dengan protokol kesehatan, tetapi justeru kami tidak hati-hati dan kena, bahkan membahayakan kedua anak kami. Perlu beberapa hari untuk saya berdamai dengan rasa marah dan sedih. 

Seringkali kita sudah taat pada protokol kesehatan. Namun ada saat kita lengah seperti membuka masker untuk berfoto dan makan bersama dalam pertemuan. Semua orang harus lebih berwaspada. 

Kami berdua suami isteri juga pikir kami beruntung telah menerima vaksin sebelumnya. Salah satu keuntungan vaksin yang kami yakini adalah bahwa walaupun tetap ada resiko kita terinveksi, namun dampaknya tidak terlalu berat. Kami berempat tidak mengalami masalah dengan pernafasan walaupun ada sakit penyerta (comorbid). Hal itu sangat kami syukuri. 

Kami juga belajar sekali lagi bahwa dampak Covid lebih terasa pada para senior. Puteri saya yang 17 tahun kehilangan indera penciuman dan sulit makan, tapi tak separah kami suami isteri yang nyeri badan berhari-hari. Alberd, 9 tahun, gejalanya ringan. Walaupun sempat demam dan muntah, hilang indera perasa beberapa hari dan kurang selera makan, Alberd tetap semangat. Dia jadi penghiburan besar bagi kami. Kami bersyukur juga, persis hari yang sama kami tes PCR ada pemberitahuan dari penyelenggara kegiatan pertukaran pelajar bahwa interview visa di Jakarta ditunda karena meningkatnya ancaman Covid di sana. Kami menjadi lebih tenang. (*) BERSAMBUNG

Editor: Redaksi

RELATED NEWS