'Bertemu Tuhan di Tubuh', Refleksi Teologis Saat Sakit Covid-19 (Bagian 3)
redaksi - Selasa, 27 Juli 2021 19:51Oleh Pendeta Dr. Mery Kolimon (Ketua Sinode GMIT)
Dosa Apa?
Di grup MPH PGIW NTT, muncul percakapan mengenai dosa sebagai penyebab seorang pendeta terkena Covid. Seorang kawan pimpinan wilayah salah satu denominasi di NTT menulis demikian: “Shalom. Saya beritahukan pada kawan-kawan di group ini, beberapa hari yang lalu saya dinyatakan positif Covid-19.
Seorang “hamba Tuhan” menyampaikan pada saya. Katanya dia diberitahukan Tuhan bahwa saya positif Covid-19 karena saya telah berdosa sama seperti dosa Yudas Iskariot yang telah menjual Tuhan Yesus demi uang dan kekayaan.
Pertanyaan saya, apakah kami yg sudah terkena Covid-19 karena kami sudah mengkhianati Tuhan Yesus seperti Yudas Iskariot?”
Pertanyaan kawan pendeta GBI ini langsung menjadi diskusi teologis para pimpinan denominasi Protestan di grup kami. Saya dapat membayangkan bahwa cara berpikir ini sangat erat terkait pemamahan tentang hubungan penyakit dan kutuk dalam budaya kami. Misalnya, di kalangan orang Timor Barat ada konsep naketi. Seseorang bisa tertimpa kemalangan seperti penyakit karena ada dosa atau kesalahan tertentu. Ada api, ada asap.
Orang sakit pasti karena ada kesalahan yang dibuat. Dosa dipandang begitu kuat sampai bisa melompat melintasi beberapa generasi. Anak-anak bahkan cucu beberapa generasi kemudian bisa terkena penyakit gara-gara dosa nenek moyangnya. Untuk itu perlu pengakuan dosa.
Saya sendiri bergumul dengan pertanyaan yang sama saat saya terbaring di tempat tidur: Dosa apa yang telah kami sekeluarga lakukan? Namun refleksi saya lebih terhubung dengan ketidakhati-hatian kami untuk memakai masker yang benar dan jaga jarak.
Saya juga berdoa agar kalau ada hal salah yang kami lakukan, Roh Kudus menegur kami agar kami menyadarinya. Kami juga mau membuka hati memahami kehendakNya melalui sakit yang kami alami. Tapi saya tidak akan menerima begitu saja kalau ada yang datang dan mengatakan karena kami begitu berdosa sehingga kami dihukum dengan Covid.
Saya menulis kepada kawan pendeta yang berbagi keprihatinannya itu: “Bapak Pendeta, ujilah semua suara supaya jangan kita yang sudah sakit dilempari batu yang makin melukai. Saya tetap percaya dalam semua musim hidup, kasih setia Tuhan kekal. Dia izinkan kita, hamba-hambaNya para pendeta, mengalami ini seperti sesama yang lain, agar kita dapat turut mengalami penderiataan dunia sekarang ini dan mendapati bahwa dalam lembah kekelaman pun Tuhan tidak tinggalkan ciptaanNya.”
Gembala Terinveksi Covid
Tahun 2015 saya terpilih sebagai Ketua Sinode. Saya ingat salah satu doa syafaat saat terpilih adalah agar saya tidak sakit selama empat tahun memimpin gereja ini. Saya harus selalu tampil prima, sehat, dan bergembira. Saya tidak akan mengizinkan diriku sakit selama empat tahun. Saya berjanji untuk hidup sehat dengan pola makan, istirahat, olahraga, dan pola kelola mental yang baik. Tetapi awal tahun 2019, karena kelelahan, tiba-tiba saya sakit cukup serius.
Saya bilang ke suami saya suatu pagi: “Yustus, saya tidak bisa angkat kaki. Tolonglah saya.” Kawan-kawan yang datang menjenguk saya menasihati saya: “Mery, tidak masalah kalau kamu sakit. Tubuh butuh istirahat juga.” Di periode kedua pelayanan kegembalaanku sekarang, saya sudah lebih berdamai dengan tubuhku, untuk merangkul keletihan, istirahat, dan sakit.
Saya kini lebih berdamai dengan keringkihan dan kerapuhan tubuh saya. Beberapa waktu lalu ketika kami bekerja maraton di Posko MS GMIT Tanggap Darurat Siklon Seroja, seorang pendeta senior berkata pada saya: “Saya berdoa pada waktunya Mery sakit dan tidak bisa bangun beberapa hari supaya sungguh-sungguh bisa beristirahat.” Saya menoleh kepadanya, tertawa, dan berkata itu doa yang baik, tetapi sekarang saya tidak boleh sakit. Kini doa beliau terjawab.
Saat saya terinveksi Covid, satu hal saya belajar penting. Tuhan mengizinkan saya terinveksi supaya saya dapat lebih mengerti ketakutan, kecemasan, dan kekuatiran terdalam orang-orang yang terinveksi. Saya terinveksi pada gelombang kedua di Indonesia, di saat tiap hari ada berita 20,000 sampai 30,000 orang Indonesia terinveksi dan lebih dari seribu orang meninggal karena Covid. Setiap pagi dari kamar tidur ketika terbangun, kami mendengar kicau burung dari halaman yang terlalu indah, tetapi juga sirene mengaum-aum terburu-buru mengantar jenazah ke pemakaman.
Seorang gembala umat terinveksi di masa-masa ini memampukannya memahami ketakutan terdalam umat manusia di depan penyakit yang mengancam, dan belajar mengucapkan doa yang paling jujur kepada Tuhan di depan ancaman kuasa penyakit dan kematian. Namun kalau dia peka, dia juga dapat melihat dan menyukuri pemeliharaan Tuhan yang tak berhenti. Burung bernyanyi, saudara peduli, kawan mendukung. Hidup tak hanya tentang tangisan dan kecemasan. Di hidup juga ada persahabatan, cinta kasih, dan kepedulian yang tulus.
Sebagai teolog, seringkali kita terlalu cepat berkhotbah tentang keadaan tertentu. Kita mau langsung menulis dan menghubungkan Covid dengan ayat Alkitab yang kita ingat untuk menceramahi orang lain. Pengalaman terinveksi Covid menolongku untuk tidak buru-buru melompat pada kesimpulan teologis tertentu. Dengarkan bahasa tubuh. Resapi perasaan hati. Dengarkan perasaan dan kecemasan sendiri.
Simak apa harapan dan kerinduan terdalam. Bicara dengan Tuhan, jujur sampaikan dan dengarkan apa yang Tuhan sedang sampaikan. Mulailah berteologi dari sana. Hubungkan pengalaman penderitaan, kecemasan, harapan, dan kerinduan dengan pergumulan umat beriman di masa Alkitab, pelajari juga pergulatan terdalam manusia masa kini, dan lihat apa yang dapat dipelajari sebagai pesan Injil untuk pergumulan umat manusia hari ini. (*) BERSAMBUNG)