Bible-Corner: Non Enim Misit Deus Fìlium Suum in Mundum, ut Iùdicet Mundum

redaksi - Sabtu, 13 Maret 2021 19:29
Bible-Corner:  Non Enim Misit Deus Fìlium Suum in Mundum, ut Iùdicet Mundumkons beo (sumber: 2021/03/1615638470224.jpeg)

Oleh: P. Kons Beo, SVD

Memasuki Pekan Prapaskah IV, Minggu 14 Maret 2021, saya mengajak saudara/i sekalian untuk membaca dan merenungkan Injil Yohanes 3:14-21.  Sharing saya kali ini saya beri judul:

“Non Enim Misit Deus Fìlium Suum in Mundum, ut Iùdicet Mundum..”

(Sebab Allah Mengutus AnakNya ke Dunia Bukan Untuk Menghakimi Dunia).

Yoh. 3:17

Kerentanan Milik Kita Semua

Tak ada gading yang tak retak.’ Itulah ungkapan paling nyata berkenaan kemanusiaan kita. Yang mau disinyalir adalah betapa rapuhnya manusia itu. Siapapun dia. Sehebat-hebatnya seseorang, ia pasti punya retak-retak dalam kediriannya.  Bahkan ada kisah yang telah jadi ‘monumen’ kejatuhannya. Tak tersangkalkan. Berpaling untuk menatap ulang kisah kerentanan itu ada yang terlarut dalam sesal yang menebal. Sepertinya tak punya harapan lagi untuk bangkit dan kembali berjalan penuh semangat. Ada yang terjerat dalam nuansa kompesasi. Artinya, ia sebatas bicara tentang betapa kelamnya sesama. Hanya karena tak berani untuk berbicara tentang kenyataan rapuh pada dirinya sendiri.

Di sisi lain, tak terhindarkan terdapat apa yang disebut pengadilan eksternal. Di situ, ada sekian banyak pasang bola mata elang yang menoropong kesalahan, kerentanan serta kejatuhan sesamanya. Tak cuma berbinar-binar memandang ketakberuntungan atau kerapuhan sesama, pada titik berikutnya diskursus atau bincang-bincang tak sedap  tentang sesama mulai membara. Apakah Anda sungguh bebas dari omong-omong tentang nama orang? Betul kah Anda selalu berlidah santun dan benar-benar luput dari nikmatnya gosip tentang sesama? Rasanya tidak! 

Marilah kita jujur. Sulit rasanya bahwa kita tak pernah sibuk terlibat dalam menghakimi orang lain. Tentu hampir pasti tanpa kehadiran orang itu. Itu yang disebut penghakiman in absentia. Di situ, kita rela buang-buang waktu hanya demi melayani   rasa ingin tahu yang sesat. Demi menyenangkan lidah kita tentang sesama. Bahkan kita bisa saja dramatisasikan remuknya hidup sesama. Tanpa ampun. Namun,  pada muaranya, sedikitpun tak ada hasilnya. Apakah dengan itu Anda lebih benar dan lebih saleh dari sesama itu? Apakah Anda lalu mendapat kembali orang itu sebagai saudaramu? Jelas, tidak! 

 Yesus: Kasih Allah Yang Menyapa

Yesus adalah Allah inkarnatif! Ia menjadi daging, menjadi manusia. Dan diam di tengah-tengah kita (Yoh 1:14). Allah jadi manusia untuk menegaskan betapa mulianya manusia itu. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah sendiri. Ketika Yesus datang sebagai Allah yang menjadi manusia (inkarnasi), betapa Ia nyatakan hubungan Kasih surgawi yang mesti berdaya dalam kenyataan hidup manusiawi dan duniawi! Allah tak pernah jauh apalagi meninggalkan manusia. 

Namun, manusia telah terperangkap dalam situasi salah. Kegelapan tapak-tapak kehidupan butakan mata manusia untuk menangkap cahaya Kasih Allah. Manusia terzalimi dalam sikap, tindak atau perilaku tak gemilang. Jauh dari kasih Allah adalah perendahan dan pengkhianatan serius akan martabat dan citra kemanusiaan. Ilustrasi biblis ungkapkan keadaan pilu manusia dalam rupa-rupa lukisan: anak yang hilang (Luk 15:11-32), domba yang hilang (Luk 15:1-7), ilalang dan gandum (Mat 13:24-43), pemungut cukai (Mrk 2:16), kelompok kambing yang ditempatkan di sebelah kiri (Mat 25:31-34).

Tetapi, Kasih Allah sungguh menyapa. Dalam Yesus, Allah hadir tidak untuk menghakimi. Tidak untuk menindas, menghancurkan dan melenyapkan. Allah datang untuk kembali mengutuhkan, merawat, menyembuhkan, mencari-menemukan dan memanggil pulang! Terhadap dunia yang terluka Allah dalam Yesus membahasakan secara nyata apa yang disebut KASIH-KESETIAAN-serta PENGORBANAN! Karena, Allah, dalam Yesus hadir untuk menyelamatkan dan bukannya untuk menghakimi. 

Lumpuhkanlah Tindakan Menghakimi

Kini, apakah Kasih inkarnatif telah berakhir? Karena Sang Kristus, Allah jadi manusia telah kembali naik ke surga dan duduk di sebelah Allah Bapa yang mahakuasa? Tidak! Kasih Kristus yang mencintai tetap hidup dan berdaya di dalam ziarah iman-harapan-kasih setiap orang yang percaya kepadaNya. Panggilan tegas kekristenan adalah robohkan setiap tembok yang membatasi, membangun jembatan untuk menghubungkan, membongkar sekat-sekat yang memisahkan. Takhta kekristenan adalah Kasih. Bukanlah palu yang diketuk atas dasar hukum-hukum yang mematikan.

Kita tak menepis kenyataan. Betapa begitu menantangnya bahasakan Kasih tanpa penghakiman dalam alam hidup kompetitif. Accusative style sering tak terhindarkan. Kritik yang seharusnya cerdas, solutif, kreatif dan inovatif telah berubah jadi penghakiman dan penelanjangan harga diri sesama. Bahkan seringkali bahasa profetik kini sudah diterjemahkan sebagai satu publikasi atau pengumuman atas kesalahan dan kegagalan seseorang. Terutama terhadap seorang pemimpin. 

Kita memang harus bebas dari alam liar penghakiman. Kata Tuhan, “Jangan kamu menghakimi, maka kamu pun tak akan dihakimi” (Luk 6:37). Dan pastilah kita ingat, “Sebab ukuran yang kamu pakai untuk menghukum akan diukurkan kepadamu” (Luk 6:38). Rasul Yakobus ingatkan kita, “Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu?” (Yak 4:12).

Adalah tugas bagi semua kita untuk menjadikan hati kita sebagai rumah induk yang nyaman bagi siapapun. Tentu, hal ini tak berarti bahwa kita harus bebas dari saling mengingatkan demi saling saling koreksi yang sehat dan membangun. Tetapi sebatas menghakimi atau terus mempersalahkan adalah lebih menjauhkan dan lebih mengasingkan seseorang. Benarlah kata si bijak, “Bila kita terlalu kuat membenarkan diri sendiri, selalu ada kecenderungan tak terbendung untuk mempersalahkan dan menghakimi sesama”. 

Mari kita ikuti semangat Yesus, Tuhan dan Guru, yang datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkan dunia”.

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma    

RELATED NEWS