Buku yang Mengingatkan Kita ke Kitab Wahyu dan Ensiklik Laudato si

redaksi - Jumat, 31 Januari 2025 21:21
Buku yang Mengingatkan Kita ke Kitab Wahyu dan Ensiklik Laudato si Cover Buku: Everything Must Go (sumber: Amazon.com)
  • Judul:Everything Must Go: The Stories We Tell About the End of the World
  • Terbitan Pertama: 11 April 2024
  • Pengarang: Dorian Lynskey
  • Genre: Biografi
  • Tebal: 500 halan.

JIKA berbicara tentang bencana yang hanya khayalan, keinginan kita tidak ada habisnya; tetapi kita enggan mengantisipasi bencana di dunia nyata hingga semuanya terlambat.

Perbedaan inilah yang dibahas Dorian Lynskey dalam “Everything Must Go: The Stories We Tell About the End of the World,”   (Semuanya Harus Berakhir: Kisah-kisah yang Kita Ceritakan tentang Akhir Dunia) yang kebetulan mendarat di meja saya saat   erupsi Lewotobi Laki-laki  sedang hebat-hebatnya, seakan ‘kiamat’  sudah di ambang pintu rumah, terutama di maata penduduk di sekitarnya.

Saya memang masih berjuang untuk  mengikuti jalan cerita Lindsey. Namun, meski perjuangan itu belum mencapai halaman terakhir,  Sam B. F. seorang sahabat yang berdomisli di  Kent City, WA, negeri ‘Om Trump’  melengkapi hadiahnya  dengan mengsurelnya artikel reviewnya atas buku ‘elok’ tersebut. 

Menurut dia,  Lynskey, yang buku sebelumnya adalah “biografi” novel George Orwell “1984,” memetakan skenario kiamat yang telah memikat dan membuat orang takut selama berabad-abad. 

Selama berabad-abad, agama memonopoli subjek ini: akhir dunia akan terjadi melalui campur tangan ilahi, bukan melalui tindakan manusia atau alam. 

Bagi orang Kristen, ini menjadi dogma sentral. Selama lebih dari 20 bab dengan alur cerita yang aneh dan penuh pertumpahan darah, Kitab Wahyu dalam Alkitab menjabarkan apa yang akan terjadi, dan siapa yang harus diwaspadai di akhir musim – antikristus, pelacur Babel, empat penunggang kuda kiamat, tujuh meterai, angka 666, pertempuran Armagedon. 

Buku ‘Everything Must Go’ berkisah tentang bagaimana, selama 200 tahun terakhir, para penulis dan seniman telah membangun warisan ini untuk menciptakan jenis-jenis eskatologi non-Kristen yang baru. 

Agar semuanya dapat dikelola, Lynskey membedakan tiga zaman utama (periode dari tahun 1816 hingga 1945, zaman atom dan abad ke-21), dan tujuh jenis skenario yang berbeda – mulai dari dampak antarplanet hingga musim dingin nuklir, zombi, dan kerusakan iklim.

Sejak puisi Lord Byron berjudul Darkness (1816), yang menyingkirkan Tuhan, orang-orang telah menciptakan fiksi sekuler tentang tiga cara utama non-ilahi yang dapat mengakhiri sesuatu – pemusnahan planet, kepunahan umat manusia, atau runtuhnya peradaban. 

Film, siaran radio, buku komik, lagu pop, drama, novel, lukisan, acara televisi, permainan video – ternyata skenario-skenario ini telah mengilhami sejumlah besar penemuan terperinci, terutama untuk hiburan. Kita suka berkubang dalam mimpi buruk terburuk kita.

Bentuk cerita-cerita seperti itu selalu dipengaruhi oleh peristiwa dan masalah ilmiah serta lingkungan pada masanya. 

Pada bulan Mei 1941, beberapa bulan sebelum dimulainya Proyek Manhattan yang sangat rahasia, penulis Robert Heinlein menerbitkan sebuah cerita tentang skema rahasia untuk membuat senjata dari uranium-235. 

Banyak ilmuwan proyek itu sendiri adalah pembaca setia majalah Astounding Science Fiction, tempat ia juga berkontribusi. "Pernahkah Anda mendengar tentang U-235?" seorang tokoh dalam salah satu ceritanya bertanya pada bulan Maret 1944; "Siapa yang belum?" jawab yang lain.

Namun, era kita saat ini juga menawarkan kita aliran bencana yang tak henti-hentinya dari seluruh dunia; kita tidak dapat lagi menemukan kelegaan dari berita buruk yang sebenarnya.

 “Yang perlu diperhatikan sekarang adalah bahwa kecemasan apokaliptik telah menjadi hal yang konstan,” tulis Lynskey. “Semua mengalir dan tidak ada yang surut.”

Lynskey, seorang jurnalis budaya Inggris, memiliki kepekaan yang sangat dibutuhkan untuk proyek seperti ini. Ia terkadang begitu bersemangat dengan koleksi budayanya hingga ia bisa terbawa suasana, melontarkan rentetan contoh yang seharusnya bisa ditahan.

Buku ini panjang – bukan hanya karena subjeknya begitu besar, tetapi karena Lynskey menjejalkan setiap fakta menarik dan contoh tidak jelas yang pernah ditemuinya, dan tampaknya tidak pernah menemukan narasi dengan cara yang tidak ingin ia sampaikan kepada para pembacanya.

 Pendekatannya juga memerlukan ringkasan plot yang tak berujung dari teks dan film yang terdengar seolah-olah telah dilupakan. Keluasan itu bisa melelahkan; kadang-kadang, bahkan penulisnya tampak kewalahan oleh banyaknya materi yang telah ia ungkap

Makanya, tak heran, berhadapan dengan 500 halaman (termasuk catatan kaki). Simon, seperti saya mengeluh kalau buku ini terlalu tebal. 

“Sebelulnya, penulis mau memangkas 25 persen pendek, pembaca tidak akan kehilangan pengetahuan atau energinya, karena contoh-contoh yang diberikan sudah lebih dari cukup,” catat Simon pula.

Namun, Lynskey juga merupakan penulis yang sangat menghibur, dengan selera humor yang tinggi. Ekstremitas subjeknya memberikan banyak absurditas untuk digarap. 

Ketika merenungkan bagaimana seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel meramalkan bahwa "On the Beach" (film tahun 1959 yang berlatar setelah perang nuklir) akan menjadi "film yang menyelamatkan dunia," ia mencatat dengan sinis: "Sungguh menakjubkan apa yang orang kira dapat dicapai oleh sebuah novel atau film." 

Akhirnya, buku ini secara tidak langsung menggarisbahwai pesan Paus Fransiskus  melalu Ensikliknya ‘Laudato si’, agar umat manusia bersedia untuk menjaga dan membangun ‘rumah bersama’ dari kerusakan, akibat ekploitasi lingkungan hidup secara membabi buta. 

Buku ini juga seakan membuka mata kita bencana alam seperti erupsi Lewotobi Laki-laki, dan kebakaran hutan di Los Angeles belum lama ini adalah ‘tanda-tanda zaman’ yang menuntut kita untuk ‘bertobat’ dan segera melakukan aksi-aksi kongkrit untuk merawat bumi sebagai 'rumah bersama’ kita. (map) ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS