Bulan Maria: Kenangan, Warisan dan Realitas Kekinian
redaksi - Minggu, 09 Mei 2021 20:16MEI itu bulan transisi. Di belahan utara bumi, Mei adalah transisi dari musim dingin ke musim semi. Di sana orang mulai berpikir tentang menanam kebun, piknik keluarga, dan membuat rencana liburan.
Di kawasan sepanjang garis katulistiwa, Mei adalah transisi dari musim hujan ke musim panas. Pada bulan ini para petani baru selesai panen. Sembari menikmati hasil panen dengan upacara ritual syukur panen. Tapi, Mei adalah juga Bulan Maria bagi umat Katolik sedunia.
Kembang dari Belukar
Perihal bulan Maria, kenangan saya pada masa kecil selalu terbawa. Saya terkenang, selama bulan Maria, pada setiap sore, menjelang doa rosario saya dan teman-teman sebaya ditugaskan oleh orang tua-tua di kampung untuk mencari kembang di belukar di sekitar kampung.
Mengapa harus ke belukar? Ya, karena di kampung saya (Madasela) tidak punya kebiasaan untuk menanam bunga dan tanaman hias lainya. Karena toh, kembang indah tumbuh liar di semak belukar di pinggir kampung. Lagipula, sepanjang tahun, banyak pohon di sekeliling kampung secara bergantian berbunga dengan warna aneka yang mempesona, ada kuning, merah, putih, dan ungu. Jadi, bagi orang di Kampung Madasela, di perbatasan Kabupaten Nagekeo dan Ende, menanam bungaitu suatu kesibukan yang sia-sia.
Nah, kembali ke tugas mencari kembang di belukar. Biasanya kami menyasar kembang bunga trompet, kembang bunga pecah piring (tapak dara), dan satu kembang lagi yang dalam bahasa lokal disebut ‘Mbunge’. Saya tak tahu namanya dalam bahasa Indonesia atau nam Latinnya. ‘Mbunge’ ini berwarna kuning emas dan bentuknya sangat mirip dengan roti favorit kami, yaitu roti pore rore. Ketika memetik ‘mbunge’ , saya dan teman-teman sekaligus berimajinasi tentang roti favorit itu. Dan itu sudah merupakan sebuah kebahagian tersendiri.
Setelah itu kembang dirangkai seadanya dengan wadah berupa gelas atau tempurung dari batok kelapa. Maka, jadilah, ‘persembahan bunga’ untuk Bunda tercinta, Maria. Menjelang malam seluruh warga bersiap-siap untuk melakukan ritual perarakan gambar dan doa rosario.
Biasanya suasana malam hari kampung kecil Madasela gelap gulita karena tak ada listrik. Suasana terang baru terjadi hanya apabila ada bulan purnama. Saban malam, yang tampak hanyalah kelap-kelip lampu pelita di masing-masing rumah. Namun, selama Mei, suasana gelap mendadak berubah jadi terang benderang oleh obor bambu di tangan warga yang mengarak gambar Maria dari rumah ke rumah.
Meski berdoa rosario merupakan bentuk ibadat yang paling sederhana, namun warga Kampung Madasela menjalankannya dengan penuh semangat. Lagu Maria, baik dari buku nyanyian terbitan Nusa Indah, ‘Syukur Kepada Bapa’ dan lagu Maria lokal dinyanyikan dengan penuh bertenaga, dengan akord empat suara, tanpa teks pula. Merdu dan menggetarkan jiwa memang.
Dan, sebagai anak-anak, hal yang justru paling menarik aalah ritual Litani Bunda Maria… Nama-nama kiasan untuk Bunda Mari seperti ‘Bintang Timur’, ‘ Bintang Laut’, ‘Rumah Kencana’, ‘ Benteng Gading’, dan lain-lain menimbulkan imajinasi yang bernuasa mistik dan magis soal sosok Bunda Maria. Nama-nama kiasan yang disematkan pada sosok Bunda Maria itu dilafalkan begitu saja tanpa tanya, tapi dengan iman yang bulat.
Belakangan, dengan batuan internet, saya sendiri misalnya baru memahami bahwa gelar Maria adalah ‘Bintang Laut’ berkaitan dengan ‘ungkapan iman’ para para saudagar/misionaris Portugis dan Spanyol yang menjadikan Bunda Maria sebagai pelindung dalam pelayaran di lautan luas.
Pesta gambar
Kenangan masa kecil akan Bulan Maria tak bisa dipisahkan dari ‘pesta gambar’. Apa itu ‘pesta gambar’? Itu tak lain dari perayaan syukur dan kegembiraan yang dilakukan orang Katolik di Flores pada hari terakhir Bulan Maria. Karena yang jadi fokus sepanjang Mei (juga Oktober) adalah gambar Bunda Maria, maka acara penutupan doa Bulan Maria dan pestanya disebut dengan istilah ‘pesta penutupan gambar’. Biasa dising, ’pesta gambar’.
Pada acara ‘pesta gambar’ itu, ibadat rosario dilakukan dengan cara yang lebih meriah, dengan nyanyian/lagu Maria yang dibawakan secara lebih semarak.
Selain itu, tentu saja ada makan besar yang ditandai dengan penyembelihan hewan piaraan seperti babi, anjing ataupunayam. Jika tidak mengrobankan hewan piaran, para lelaki bersepakat ke hutan untuk berburu babi hutan.
Tetap bertahan
Tradisi Bulan Maria terus bertahan hingga sekarang, tentu saja dengan beberapa modifikasi dalam pelaksanaanya.
Pada 2018, saya sempat singgah di kampung Madasela dalam sebuah perjalanan balik dari Kupang menuju Jakarta. Oleh karena bertetapan dengan Bulan Maria, saya ikut bergabung dengan warga kampung yang berdoa Rosario secara bergilir dari rumah ke rumah.
Hanya saja, cara beribadat sudah beriberubah. kalau dulu di era 1970-an pemimpin doa, mengandalkan kontas, sekarang pemimpin doa menggunakan Buku Ibadat yang disediakan pihak hirarki gereja, lengkap denga renungan singkat. Namun, antusiasme warga kampung, terutama anak-anak masih berkobar-kobar sebagaimana dulu.
Yang juga berubah adala simbol yang menghadikan Bunda Maria. Simbol yang dipakai bukan lagi gambar Maria dalam pigura, melainkan patung Maria. Meski begitu, dari percakapan warga, saya menguping kalau pada akkhir Bulan Maria mereka akan mengadakan ‘pesta gambar’. Bukan ‘pesta patung’!.
Mewariskan tradisi
Sebagai tradisi global, Bulan Maria juga dipraktikan di Jakarta dan di Depok, tempat domisili saya dalam dua dekade terakhir. Namun, karena berbagai alasan, doa bergilir di Paroki Matiu Bintaro, Jakarta dan di Paroki Herkulanus, Depok tidak dilakukan setiap hari dari rumah ke rumah, melainkan hanya sekali dalam sepekan. Keluarga-keluarga secara sukarela mengajukan kepada pengurus lingkungan agar rumahnya dijadikan tempat beribadat rosario. Karena sifatnya sukarela, maka jadinya, dari tahun ke tahun, rumah-rumah tertentu saja yang dijadi tempat beribadat rosario.
Selama pandemi Covid-19, praktik devosi kepada Bunda Maria ‘terganggu’. Dari kampung, saya mendapat kabar kalau ‘sembahyang gilir' atau doa rosiario bergilir dari rumah ke rumah untuk sementara tidak dilakukan. Pelaksanaannya diserahkan ke keluarga masing-masing.
Nah, kalau diserahkan ke keluarga masing-masing, saya sebetulnya kuatir bahwa Bulan Maria jadi ‘mati suri’. Mengapa? Ya, saya paham benar, kalau orang di kampung saya, belum punya kebiasaan berdoa bersama dalam keluarga. Mereka baru terbiasa dengan berdoa di lingkungan, bergilir dari rumah ke rumah.
Bulan Maria yang ‘mati suri’ juga terjadi di Paroki Herkulanus Depok, Jawa Barat. Sebelum ada pandemi Covid-19, doa rosario selama Bulan Maria dilakukan seminggu sekali. Namun, selama pandemi, tidak dilakukan sama sekali alias ‘mati suri’. Semuanya diserahkan ke inisiatif keluarga masing-masing.
Bagi saya pribadi, Covid-19 justru menjadi semacam ‘berkat terselubung’. Jika sebelum Covid-19, doa rosario di Bulan Maria hanya dilakukan sekali seminggu, kini bisa dilakukan setiap malam.
Hitung-hitung ini kesempatan untuk mewariskan kebiasaan menghormati Maria selama sebulan kepada ketiga putri kami: Leony, Sandra dan Rachel. Syukur, dari hari ke hari, mereka bertiga tampak ‘menikmatinya’ sehingga bersedia memimpin doa rosario secara begilir. Mudah-mudahan itu menjadi pengalaman penuh kenangan untuk kehidupan mereka masing-masing. Meski saya menyadari bahwa kenangan mereka tak sedramatis seperti apa yang saya alami selama kanak-kanak di kampung terpencil, di Flores dulu.
Mengapa Bulan Maria?
Meski sudah menjadi kebiasaan, pertanyaan yang kadang-kala muncul dari sesama orang Katolik dan juga dari anak-anak kami sendiri adalah ‘Mengapa Mei dijadikan Bulan Maria?
Setelah melakukan riset kecil-kecilan saya akhirnya menemukan jawaban seperti demikian. Berdasarkan catatan sejarah, selama berabad-abad, gereja Katolik telah menyisihkan satu bulan penuh untuk menghormati Maria, Bunda Allah. Bukan hanya satu hari di bulan Mei, tapi sebulan penuh.
Tak diketahui persis kapan awal mulanya. Namun, kebiasaan ini telah berlangsung selama berabad-abad di berbagai wilayah dan budaya di berbagai belahan dunia.
Konon, tradisi menghormati Maria berakar dari tradisi orang Yunani Kuno. Oleh masyarakat Yunani kuno, Mei didedikasikan untuk Artemis, dewi kesuburan.
Di Kekaisaran Romawi Kuno, bulan Mei didedikasikan untuk Flora, dewi bunga. Pada akhir April dan awal Mei, orang-orang Roma merayakan pesta rakyat yang diisi dengan permainan dan perlombaan terkait bunga. Pada kesempatan itu mereka juga ‘berdoa’ agar dewi Flora memberkati semua tanaman bunga yang sedang mekar kembangnya.
Pada abad pertengahan (abad 5 hingga 15 Masehi), kebiasaan serupa terus berjalan. Pada periode tersebut perayaan dan upacara spiritual dilakukan guna mengusir musim dingin. Upacara itu dimulai pada 1 Mei, karena dianggap sebagai awal dari musim semi.
Dalam abad pertengahan itu, di lingkungan gereja Katolik mulai muncul tradisi Tricesimum, atau "Pengabdian Tiga Puluh Hari kepada Maria". Tradisi ini disebut juga, "Lady Month". Acara tersebut diadakan, bukan pada bulan Mei melainkan pada 15 Agustus-14 September. Beberapa daerah di Eropa bahkan masih menjaga tradisi tersebut hingga sekarang ini.
Ide untuk mendedikasian bulan Mei untuk Maria rupanya dapat ditelusuri kembali ke zaman Barok (tahun 1600 hingga 1750 Masehi). Meskipun tidak selalu diadakan selama bulan Mei, kebiasaan untuk melakukan tiga puluh latihan spiritual harian untuk menghormati Maria mulai berkembang di kalangan umat Katolik.
Di era ini pula perlahan-lahan latihan spiritual selama sebulan dan Mei dipadukan, sehingga Mei dikenal sebagai Bulan Maria. Mengapa Mei dipilih? Ya, rupanya orang Katolik bercermin pada pada tradisi Yunani dan Romawi kuno sebagaimana saya sampaikan di atas.
Begitulah proses Mei dijadikan sebagai Bulan Maria dengan devosi khusus yang diselenggarakan setiap hari sepanjang bulan. Kebiasaan ini menjadi kian meluas di kalangan umat Katolik di Eropa selama abad kesembilan belas, kemudian merambat ke berbaga penjuru dunia dan tetap dipraktikkan hingga saat ini.
Cara Maria dihormati di bulan Mei sama beragamnya dengan orang-orang atau bangsa yang menghormatinya. Namun, adalah hal yang umum bagi umat di kelompok basis di seluruh dunia untuk mendaraskan rosario setiap hari selama Mei. Bahkan, banyak keluarga Katolik yang mendirikan altar khusus dengan patung atau gambar Maria sebagai tanda sedang dalam Bulan Maria.
Selain itu, berkembang pula tradisi untuk memahkotai patung Maria selama bulan Mei - kebiasaan yang dikenal sebagai Penobatan Mei (May Crowning). Seringkali, mahkotanya terbuat dari bunga-bunga indah yang melambangkan kecantikan dan kebajikan Maria.
Itu semua merupakan pengingat bagi umat beriman untuk berusaha meniru kebajikan Bunda Maria dalam hidup kita sendiri. Penobatan Mei, di beberapa daerah, adalah perayaan besar dan biasanya dilakukan di luar Misa. Misa dapat dirayakan sebelum atau sesudah upacara penobatan.
Keluarga sebagai gereja kecil
Disadari atau tidak, pandemi Covid-19 mengukuhkan kedudukan keluarga sebagai sebuah gereja kecil. Sebelum pandemi, segala ritual gerejani dipusatkan di Paroki, atau setidak-tidaknya di Lingkungan. Namun, pandemi Covid-19, mengalihkannya sehingga berpusat di keluarga, di rumah masing-masing.
Pandemi Covid-19, mengubah aktivitas Bulan Maria yang semula berpusat di tingkat lingkungan (kampung) menjadi kebiasaan yang terpusat di setiap rumah keluarga-kelurga Katolik. Perubahan ini tentu bernilai positif. Sebab, ketika umat (keluarga-keluarga) menggemakan tradisi gereja di rumahnya masing-masing, maka rumah/keluarga akan bertumbuh menjadi sebuah ‘gereja kecil' atau ‘gereja rumah tangga’ (Ecclesia Domestica) (Lihat: Lumen Gentium 11, Bdk. Familiaris Consortio 210.
Itu berarti gereja sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus menjadi semakin nyata, semakin dekat dengan setiap anggota keluarga. Dan, kebenaran bahwa Kristus adalah kepala, dan kita semua adalah anggota-Nya (lih. 1 Kor 12:12-30) semakin menjadi kenyataan. Dan, setiap pribadi menjadi ‘ranting’ yang semakin erat berhubungan dengan Yesus Yesus sebagai pokok anggur (lih Yoh 15:1-8).
Untuk maksud itu, dalam surat kegembalaan menyambut Bulan Maria 2020, Paus Fransiskus menulis, "protokol kesehatan dan pembatasan pandemic Covid-19 telah membuat kita semakin menghargai aspek "keluarga" dari sudut pandang spiritual."
Untuk alasan ini, lanjut Paus Fransiskus, “saya ingin mendorong semua orang untuk menemukan kembali keindahan berdoa rosario di rumahnya masing-masing di bulan Mei. Selama Bulan Maria ini, hendaknya keluarga-keluarga Katolik mendirikan pojok doa di rumahnya masing-masing. Tidak peduli seberapa mewah atau sederhana itu. Poin utamanya yakni bahwa itu adalah tempat yang diperuntukkan bagi Bunda Maria dan Putranya Yesus Kristus, Tuhan kita. Itu adalah tempat kita mengarahkan hati; tempat kita bertemu dan berkomunikasi dengan Bunda Maria dan Tuhan Yesus.”
Ajakan Paus Fransiskus sangat penting, karena sejatinya kita butuh keseimbangan dalam hidup ini. Keseimbangan antara hubungan yang vertikal dengan Tuhan, dan yang horizontal dengan sesama dan lingkungan. Bahkan, ajakan tersebut menjadi urgen karena di era teknologi digital sekarang ini, hampir seluruh waktu dan perhatian kita telah disita untuk komunikasi horizontal melalui aplikasi media sosial di smartphone atau pun tayangan televisi.
Bulan Maria merupakan kesempatan untuk mengimbangi aktivitas horizontal yang berlebihan. Karena itu isilah Bulan Maria, bukan karena itu tradisi lama di gereja, meskipun demikian adanya. Bukan karena ada rahmat khusus yang berhubungan dengannya, meski itu sesungguhnya tersedia.
Tidak, kita mengisi Bulan Maria karena Maria adalah seorang Bunda; seorang Ibu- ibumu, ibuku, ibu semua orang. Dan, karena dia memperhatikan kita semua setiap hari tanpa gagal, menjadi perantara bagi kita dengan Yesus Tuhan, bahkan dalam hal-hal terkecil. Untuk itu, Bunda Maria berhak mendapatkan pernghormatan selama satu bulan penuh. (*) (Oleh: Maxi Ali)