Catatan Kritis KPA Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo
redaksi - Sabtu, 17 Agustus 2024 21:45PIDATO Kenegaraan Presiden Jokowi yang disampaikan pada Sidang Tahunan MPR, Jum’at, 16 Agustus 2024, didominasi dengan klaim-klaim keberhasilan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi makro.
Luput membahas persoalan yang lebih struktural di bidang agraria, yakni ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria yang semakin meluas. Padahal, reforma agraria adalah salah satu janji politiknya pada masa awal pemerintahannya dulu.
Hanya kata-kata maaf yang terus-menerus diulang oleh Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Pidato Kenegaraannya.
Berlindung di balik ketidaksempurnaan sebagai manusia. Padahal, sebagai Presiden, Jokowi diberikan kekuatan dan sumberdaya yang besar untuk menuntaskan janji politiknya tersebut, membenahi persoalan struktural agraria tersebut selama ia berkuasa.
- HUT RI ke-79 di Sikka Diwarnai dengan Laka Lantas di Wolomarang,1 Orang Meninggal Dunia
- HUT RI Ke-79, Kades Pong Ruan: Bangun Desa Butuh Kerja Sama
Namun kenyataannya, satu dekade memimpin, persoalan struktural agraria semakin kronis, melahirkan dekade krisis agraria yang semakin parah. Berkebalikan dengan klaim-klaim capaian keberhasilan pemerintah dalam pidatonya tersebut.
Berikut catatan kristis KPA atas berbagai hal yang luput disampaikan Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraannya.
Pertama, liberalisasi besar-besaran kebijakan di bidang agraria, mengamputasi RUU usulan rakyat.
Pada aras kebijakan, kita melihat adanya upaya-upaya terstruktur dan sistematis untuk meliberalisasi berbagai kebijakan dan aturan di bidang agraria, alih-alih meluruskan dan melahirkan kebijakan yang pro agenda reforma agraria.
Berbagai RUU usulan masyarakat yang mengusung agenda kerakyatan terus diamputasi, diselewengkan, bahkan digagalkan.
Sebut saja RUU Pertanahan versi gerakan reforma agraria, usulan Revisi Perpres Reforma Agraria hingga RUU Masyarakat Adat.
Berbanding terbalik dengan proses pengesahan UU Cipta Kerja, Revisi UU Minerba, UU IKN, PSN, Bank Tanah, HPL, HGU 190 tahun di IKN yang semuanya mengamputasi hak-hak rakyat atas tanah.
Kedua, klaim keberhasilan sertifikasi tanah untuk menutup kegagalan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah. Selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo, satu-satunya parameter yang dijadikan klaim keberhasilan reforma agraria hanyalah berapa jumlah bidang tanah yang sudah disertifikasi.
Alih-alih melaporkan berapa konflik yang sudah diselesaikan, berapa juta hektar yang sudah diredistribusi pada petani dan rakyat, serta berapa pula pemerintahan ini berhasil mengurangi gap ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Catatan KPA menyebutkan penyelesaian konflik di 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan luas 1,6 juta dan digarap oleh 530.962 rumah tangga petani berjalan mandek.
Dari total usulan penyelesaian konflik tersebut, hanya 21 lokasi atau 2,46 persen yang berhasil diredistribusi kepada petani. Angka yang sangat kecil dibanding gembar-gembor klaim keberhasilan pemerintah.
Keberhasilan ini pun hanya terjadi di wilayah konflik agraria eks HGU swasta. Sementara capaian LPRA untuk tipologi BUMN (PTPN, Perhutani/Inhutani) dan HTI, masih tidak beranjak dari angka nol persen.
Angka di atas mencerminkan jika pemerintah sejak awal sebenarnya menghindari kerja-kerja penyelesaian konflik agraria dan redisribusi tanah. Memanipulasinya melalui capaian-capaian sertifikasi untuk menutup kegagalan-kegagalan tersebut.
Ketiga, konflik agraria akibat perampasan tanah dan penggusuran semakin meluas. Periode waktu satu dekade terakhir adalah periode kelam situasi agraria di Indonesia.
Sebab, berbagai letusan konflik agraria terus terjadi di berbagai penjuru nusantara. KPA mencatat, sepanjang 2015-2023 terdapat 2.939 letusan konflik agraria di atas tanah seluas 6,3 juta hektar dan berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani.
Artinya, selama sembilan tahun terakhir, setiap dua hari telah terjadi satu letusan konflik agraria di Indonesia.
Jumlah konflik ini bahkan naik hingga 100 persen dibanding satu periode sebelumnnya dengan jumlah 1.502 letusan konflik, dengan luas 5,7 juta hektar dan korban sebanyak 977.103 rumah tangga petani.
Tingginya eskalasi konflik ini tidak terlepas dari kegagalan pemerintahan menjalankan reforma agraria. Situasi ini berkelindan dengan kebijakan pengadaan tanah bagi proyek-proyek strategis nasional dan investasi di bidang agraria yang dikerjakan secara serampangan.
Tidak dijalankannya reforma agraria di tengah berbagai kebijakan pengadaan tanah untuk percepatan pembangunan dan investasi telah menyebabkan laju konflik agraria yang semakin pesat selama satu dekade terakhir.
Keempat, penanganan konflik agraria yang semakin represif. Deratan konflik agraria yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah melahirkan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi yang harus dialami oleh petani dan masyarakat.
Pengerahan aparat dan represifitas seperti tidak bisa dipisahkan dari pendekatan yang dilakukan pemerintah di wilayah konflik.
Tindakan tersebut telah menyebabkan banyak korban yang berjatuhan di pihak masyarakat, bahkan tidak jarang berujung dengan kehilangan nyawa.
Sepanjang 2015-2023, KPA mencatat sedikitnya terdapat 2.442 orang mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan dan penganiayaan, 84 orang tertembak dan 72 orang tewas.
Kelima, meningkatnya alih fungsi lahan pertanian dan guremisasi petani akibat pengadaan tanah yang serampangan.
Proses pengadaan tanah bagi investasi dan percepatan proyek strategis nasional selama satu dekade terakhir seringkali menyasar lahan-lahan produktif pertanian.
Hal ini terjadi akibat kebijakan yang dilakukan secara serampangan. Terkesan tergesa-gesa tanpa melibatkan masyarakat, alih-alih dilakukan secara matang dan penuh perhitungan.
Akibatnya telah terjadi alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran. Laporan Kementerian Pertanian pada tahun 2022 mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai angka 90-100 ribu hektar pertahun.
Alih fungsi lahan pertanian tersebut telah menyebabkan menyempitnya tanah pertanian yang dikuasai dan dimiliki petani.
Survey BPS 2023 menyebutkan saat ini terdapat 17,24 juta rumah tangga petani dengan status gurem, atau rumah tangga petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar.
Jumlah tersebut naik sebanyak 2,62 juta dari tahun 2013. Bahkan Catatan akhir tahun KPA menyebutkan, 10 besar provinsi penyumbang konflik agraria pada tahun 2023 merupakan wilayah dengan peningkatan guremisasi petani yang sangat siginifikan.
Keenam, Monopoli tanah badan usaha skala besar tidak terkendali, gagal mengurai ketimpangan penguasaan tanah. Salah satu hal yang juga terjadi seiring dengan peningkatan jumlah petani gurem di Indonesia adalah semakin meluasnya penguasaan tanah oleh badan-badan usaha skala besar, baik itu korporasi perkebunan, korporasi kehutanan, maupun tambang.
Di sektor perkebunan, khususnya perkebunan sawit, luas tanah yang dikuasai oleh korporasi pada tahun 2022 mencapai 17,76 juta hektar. Naik sebanyak 2,37 juta hektar dibanding tahun 2014. Artinya terjadi perluasan monopoli tanah seluas 200 ribu hektar setiap tahunnya oleh korporasi perkebunan sawit.
Hal serupa juga terjadi di industri kehutanan dimana Kementerian LHK mencatat terjadi kenaikan luas penguasaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada periode 2014-2022. Pada tahun 2022, luas HTI mencapai 11,22 juta hektar.
Naik hingga 700 ribu sejak 2014 dimana pada tahun tersebut luas lahan industri kehutanan tersebut tercatat seluas 10,54 juta hektar. Sementara, korporasi tambang menguasai hampir 10,11 juta hektar tanah di Indonesia.
Ketujuh, gagal berdaulat pangan, terjebak dalam lingkaran setan importasi dan korporatisasi pangan. Saat ini, terdapat 17 juta rumah tangga petani gurem di Indonesia. Jumlah mereka semakin bertambah akibat kebijakan pembangunan infrastruktur dan investasi di bidang agraria yang banyak menyasar lahan-lahan pertanian produktif.
Jika pemerintah serius membenahi persoalan pangan, seharusnya petani-petani tersebut lah yang menjadi prioritas bagi agenda redistribusi tanah melalui agenda reforma agraria.
Dengan memberikan tanah minimal satu hektar untuk masing-masing rumah tangga petani tersebut, setidaknya Indonesia telah memiliki 17 juta hektar tanah pertanian produktif yang bisa dijadikan sebagai basis kedaulatan pangan.
Namun sayangnya, pemerintah gagal melihat urgensi pelaksanaan reforma agraria dengan upaya pembenahan pangan nasional.
Ujung-ujungnya, urusan pangan diberikan kepada korporasi melalui program food estate dan impor pangan.
Jakarta, 17 Agustus 2024
Dewi Kartika, Sekretaris Jendral, Konsorsium Pembaruan Agraria. ***