CERBUNG: Wanita Penagih Janji (Part 4)
redaksi - Jumat, 01 Oktober 2021 20:55Oleh: Isidora Anggraini Thelma Da Gomez*
KEBERUNTUNGAN. Satu kata yang selama ini tak pernah kupercayai untuk ada. Namun, untuk dua minggu belakangan ini aku benar-benar merasakannya. Berkat info lowongan pekerjaan dari Dian, aku berhasil mendapatkannya. Memang tidak mudah, terlebih banyak pelamar yang juga berlomba mencari keberuntungan diterima bekerja pada sebuah koperasi simpan pinjam di kota itu.
Menurut info beredar, koperasi itu merupakan sebuah badan usaha simpan pinjam, yang cukup terkenal di Merpau. Sudah banyak cabang dibuka di berbagai wilayah dengan memiliki nasabah mencapai ribuan orang.
Setelah memasukkan lamaran, beberapa hari setelahnya aku dinyatakan lolos bersama sembilan belas pelamar lainnya. Tinggal melakukan training selama tiga bulan, dan aku berharap agar semuanya berjalan lancar tanpa hambatan.
Akan tetapi, aku memiliki kendala sendiri sekarang. Syarat pakaian yang digunakan untuk bekerja di tempat itu, cukup membuatku pusing. Tentunya memang harus berpakaian rapi, tetapi ada beberapa pakaian tertentu yang mengambil motif asli kebudayaan kota itu sendiri. Sementara, aku sama sekali tak memiliki uang yang lebih guna membeli serta membayar jahitan untuk sebuah pakaian kerja.
Memikirkannya, kembali membuatku dilanda stres. Terduduk lemas di kamar, kupandangi ponsel dengan pikiran kacau. Untuk saat ini, sebuah ide cemerlang sempat terbesit dalam otakku. Namun, aku masih ragu menjalankannya. Rencananya ponselku yang dibeli dengan harga puluhan juta ini, ingin kujual untuk membeli perlengkapan bekerja nanti. Sekaligus, membeli ponsel biasa untuk dipakai sementara agar aku tidak kesusahan untuk berkomunikasi. Hanya saja aku masih merasa berat untuk melakukannya. Mengingat benda persegi ini sudah cukup lama bersamaku, dan rasanya susah melepasnya begitu saja.
Dering telepon cukup mengalihkan perhatianku. Nama Adel tertera pada layar. Menghembuskan napas gusar, segera kuangkat panggilan darinya sebelum terhenti.
"Tita! Kenapa kau tak pernah mengabariku selama di sana?"
Sebelum aku bersuara, dia sudah lebih dulu mengomeli dari seberang. Kupejamkan mata rapat, berusaha menahan rasa kesal akibat suara melengking sahabatku itu.
"Aku merindukanmu, Tita. Beberapa hari lalu, aku sempat bertemu papamu di sebuah restoran. Kami banyak bicara, tetapi beliau sama sekali tak menyinggung tentangmu. Sungguh, aku prihatin dengan keadaannya sekarang." Suara Adel perlahan memelan.
"Apa Papa baik-baik saja?" tanyaku.
"Beliau terlihat kurang sehat, Tita. Sepertinya, Om Darman lebih kurus dari pertemuan terakhir kami. Aku tidak tega melihatnya sendirian seperti itu. Apa ... kamu tak ingin kembali ke rumah?"
"Aku tidak bisa."
"Why? Di sana, hanya menyiksa dirimu, Tita. Hanya gara-gara dia, kamu melakukan hal yang sama sekali tak pernah kamu lakukan sebelumnya!" seru sahabatku itu.
Dari nada bicaranya, aku tahu emosi Adel mulai tak stabil. Kami memang bersahabat, dan sering kali bertengkar untuk hal-hal tertentu. Namun, tidak lama setelahnya hubungan kami akan kembali membaik dan bersikap seolah tak punya masalah.
"Aku ingin bertemu dia, Adel. Mengertilah."
Dari seberang, Adel berdecak. "Dan mengorbankan papamu sendiri di sini?"
Aku terdiam. Rasa bersalah itu kembali hadir. Aku tidak bermaksud demikian, hanya saja diri ini sedang melakukan proses yang dinamakan perjuangan. Aku ingin mengejar kebahagiaanku dan hanya dia yang bisa memberikannya. Dalam artian untuk sebuah hubungan asmara.
"Lalu bagaimana sekarang? Kamu sudah bertemu dengannya?"
Aku mengangguk kecil, walau pada kenyataan Adel tak bisa melihatnya.
"Tita!"
"Ya, aku bertemu dia."
"Baguslah kalau begitu. Aku harap kamu tidak akan terluka selama di sana. Jika butuh bantuan, hubungi aku saja."
"Aku memang membutuhkan bantuanmu."
Panggilan siang itu berakhir dengan keputusanku untuk meminjam uang dari Adel. Dia bersedia memberikan pinjaman sesuai kebutuhanku, dan aku berjanji akan segera mengembalikan secepatnya.
***
Sabtu sore, ditemani Dian aku mulai berbelanja kebutuhan untuk bekerja nanti. Fokusku pada pakaian yang akan aku kenakan selama training dan setelah bekerja nanti.
Dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan kota sore ini. Sangat ramai, dengan lalu lalang kendaraan yang cukup padat. Sudah beberapa toko kami masuki, dan baru dua blouse serta satu rok hitam yang kubeli. Berarti, aku harus mencari tambahan beberapa lagi serta sepatu, dan juga tas.
"Kita ke toko sepatu dulu," ucapku diangguki Dian.
Hampir dua jam lebih, aku sungguh menghabiskan waktu dengan berbelanja. Semua kebutuhan yang aku inginkan, telah terpenuhi. Tinggal Senin depan aku siap menjalankan tugas dan kewajiban yang baru sebagai pegawai dari sebuah koperasi. Sebuah pekerjaan yang tak pernah kuinginkan, tetapi keadaan membuatku harus menerima dan menjalankan sebagai amanah.
Kami berdua memutuskan untuk berkeliling sejenak ke pasar malam. Keadaan sekitar kian padat, karena hari mulai beranjak malam. Restoran serta kafe dipadati pengunjung, yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga. Sepanjang jalan, pedagang kaki lima dikerubungi pelanggan, termasuk beberapa pedagang jagung bakar.
"Makan jagung bakar mau?" tawarku kepada Dian.
Gadis itu mengangguk semangat, lalu langkah kami berderap menuju salah satu pedagang yang tendanya paling ujung. Kebetulan, hanya ada beberapa pelanggan di sana yang didominasi pasangan kekasih.
Kami duduk di atas terpal, sambil menunggu pesanan. Aku sungguh menikmati malam minggu kali ini. Di bawah naungan malam bersama jutaan rasi bintang, rasa rindu itu hadir dengan sendirinya. Ini bukan kali pertama, aku menikmati hal seperti sekarang. Hanya saja ada yang berbeda, dan aku tahu apa penyebabnya. Kali ini lagi dan lagi dia yang menjadi alasannya.
Biasanya, aku dan teman-teman semasa kuliah atau Adel akan menghabiskan waktu malam minggu di kafe atau menginap di vila. Jarang ke pasar malam, karena tujuan kami untuk menghibur diri adalah datang ke pusat perbelanjaan atau liburan yang membutuhkan budget lumayan besar.
Akan tetapi, pasar malam mengingatkan aku dengan dia. Kami berdua pernah datang ke tempat seperti ini di kotaku. Saat itu, dia memaksaku untuk ikut bersamanya, setelah kami berkeliling mengunjungi sebuah perkebunan teh hanya untuk mencari objek foto alam yang indah.
Awalnya, aku menolak, tetapi dia kekeuh memaksa. Katanya, sesekali aku harus menikmati hal sederhana seperti ini. Tidak mengeluarkan uang banyak, hanya untuk memesan makanan dengan harga mahal, tetapi porsinya sedikit.
Saat itu aku hanya tertawa mendengarnya. Dia dengan segala nasehatnya, selalu membuat kami berdebat, tetapi pada ujungnya aku yang mengalah. Ucapannya selalu mengarah untuk kebaikanku, dan aku tahu dia melakukan hal itu karena rasa sayangnya kepadaku. Sama seperti yang sering diucapkannya.
"Melamun lagi, Kak," tegur Dian.
Aku tertawa pelan, terlalu berkelana jauh sampai lupa jika jagung pesanan kami sudah diantar.
"Maaf, ya. Lagi dan lagi aku melamun di setiap kesempatan."
"Tidak masalah, Kak. Mungkin Kak Tita sedang ada masalah."
"Begitulah," sahutku singkat.
Dian tidak bertanya lagi. Sepertinya, dia paham aku masih belum mau terbuka sepenuhnya. Kami menikmati jagung dengan menikmatinya live music dari salah satu kafe bertema outdoor yang berhadapan langsung dengan tempat makan kami.
"Mereka pasangan serasi," celetuk Dian tiba-tiba.
Aku menatapnya bingung sedangkan Dian membuang wajahnya ke arah pintu masuk pasar malam.
"Siapa?" tanyaku ikut penasaran.
"Itu pasangan yang baru masuk dan berdiri di dekat pintu."
Mengikuti arah telunjuk Dian, mataku mengarah pada objek yang dimaksud. Jantungku bertalu begitu cepat, dengan mata yang mulai memanas karena ingin menangis. Kembali aku melihatnya, tetapi dia tak sendiri melainkan bersama wanita lain.
"Oh, Tuhan apa lagi ini?" gumamku tak percaya.
BIODATA PENULIS
- Nama Lengkap : Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
- Nama pena : Anggraini Da Gomez
- Usia : 21 Tahun
- Domisili : Maumere, Flores NTT.
Baca Juga:
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-3
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-2
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-1