CERBUNG: Wanita Penagih Janji (Part 7)

redaksi - Rabu, 01 Desember 2021 19:32
CERBUNG: Wanita Penagih Janji (Part 7)Isidora Anggraini Thelma Da Gomez (sumber: Dokpri)

SATU minggu berlalu. Kejadian malam itu telah pelan-pelan mulai kulupakan walaupun susah rasanya. Kesibukan pekerjaan cukup berhasil membantu meskipun tak sepenuhnya.

Siang ini, bersama salah seorang rekan kerjaku, kami menikmati makan siang di salah satu warung nasi padang. Namanya, Tiara wanita seusiaku yang sedang sibuk mengurus pernikahannya dua minggu lalu.

Di kantor, aku memang lebih dekat dengan Tiara. Orangnya supel dan humoris. Wanita berperawakan tinggi itu pun sangat mudah bergaul sama seperti Dian. Jujur, diri ini pun merasa nyaman ketika dekat dan menjalin hubungan pertemanan dengan Tiara.

"Aku kira kamu asli kota ini, padahal pendatang. Pantas saja ciri khas wajah kamu sangat berbeda dengan penduduk Merpau," ujar Tiara membuka percakapan.

Aku tersenyum tipis. Di kantor, banyak sekali yang bertanya mengenai asal-usul diriku ini. Aku pun menjawabnya dengan jujur, tanpa berbohong. Kecuali mengenai alasan aku datang ke tempat ini. Karena menurutku itu masalah pribadi yang kapan selesainya, aku pun tak tahu.

"Kapan-kapan aku bisa dong main ke indekost milikmu."

"Boleh," jawabku singkat.

Tiara tersenyum senang. Tak lama setelahnya, dua pesanan nasi khas Padang tiba di meja kami. Perutku meronta minta segera diisi. Rasa lapar yang ditahan sejak tadi akhirnya diganjal dengan makanan enak ini.

"Bagaimana urusan pernikahan kamu?"

Aku bertanya kepadanya. Entah kenapa aku ingin tahu bagaimana seorang wanita mempersiapkan sebuah pernikahan. Acara sakral yang selalu diinginkan setiap kaum hawa dengan impiannya masing-masing.

"Sudah hampir rampung, Tita. Masalah undangan, catering, hingga keperluan lainnya sudah mencapai sembilan puluh persen," jawabnya antusias.

Melihat raut wajah Tiara yang begitu antusias, aku ikut tersenyum. Jadi, begini ekspresi seorang wanita jika akan menikah. Rasanya aku ingin berada di posisi seperti Tiara, tetapi hingga detik ini aku masih harus di ambang ketidakpastian oleh sikap dan perbuatannya Ari. Hubungan kami masih terombang-ambing tak jelas seperti perahu yang ditiup angin. Namun, aku tidak mungkin menyerah begitu saja setelah semua yang terjadi.

"Melamun lagi," celetuk Tiara mengejutkanku.

"Em ... apa aku boleh bertanya?"

Tiara mengangguk. Wanita itu meneguk es jeruknya sambil terus menikmati makanannya.

"Kamu dan em ... calon suamimu itu sudah berpacaran sejak lama?" Sungguh, aku begitu penasaran dengan kisah percintaan Tiara. Pasti sangat berbeda dengan kisahku yang menyedihkan kini. Miris memang.

"Kami berpacaran sejak SMA. Hampir sepuluh tahun lebih menjali hubungan, walaupun sering putus nyambung. Namun, itu hal wajar dalam sebuah hubungan," jawab Tiara sambil tertawa kecil.

"Oh ya?"

"Iya, Tita. Kami putus bisa puluhan kali, tetapi berhasil nyambung lagi. Lalu sempat  LDR beberapa bulan, tetapi berhasil juga."

Aku terdiam. Tiara begitu bahagia menceritakan hubungannya. Ternyata calon suami Tiara seorang ASN di salah satu kantor pemerintahan.

"Lalu bagaimana denganmu? Aku rasa kamu pasti sudah memiliki kekasih."

Mendengar pertanyaan Tiara, aku berdeham. Es teh milikku tandas dalam hitungan detik. Ingin sekali aku menutup mulut untuk masalah Ari, tetapi aku rasa tidak salah jika sekadar untuk bercerita. Walaupun Tiara baru kukenal, tetapi mungkin saja perasaan sesak yang kurasa bisa kubagi dengannyaa. Meskipun hanya sebagai pendengar saja.

"Tita? Kamu hobi melamun, ya?"

Gelengan cepat aku berikan. "Aku punya pacar."

"Siapa orangnya? Pasti bukan penduduk asal Merpau 'kan?" Dengan tatapan selidik, Tiara bertanya.

"Dia penduduk asli kota ini, Tiara."

"Hah? Jadi, pacar kamu orang asli Merpau?"

Aku mengangguk kecil. Memainkan Senduk tanpa berniat menyentuh kembali makananku.

"Namanya siapa? Siapa tahu saja aku kenal."

"Em ... aku belum bisa menceritakan tentang dirinya. Hanya saja saat ini aku 
...."

Ucapanku terhenti saat dering ponsel Tiara berbunyi. Wanita itu meminta izin untuk keluar sebentar agar bisa mengangkat telepon. Aku menghela napas kasar. Kulempar pandangan ke arah kaca, memandang jalanan besar yang padat di siang terik ini. Kebetulan tempat makan pilihan kami di pinggir jalan. Jadi, suara bising dan klakson kendaraan cukup mengusik.

Akan tetapi, sebuah pemandangan dari pintu masuk menarik penuh atensiku. Bahkan, beberapa kali kuusap mata ini untuk sekadar memastikan sesuatu. Wanita yang bersama Ari malam itu melangkah masuk ke warung ini. Mungkin dia juga ingin makan siang.

Mataku terus memperhatikan gerak-gerik wanita dengan blouse putih serta celana bahan hitam itu. Setelah memesan, dia mengambil tempat di dekat jendela, dengan posisi duduk membelakangiku.

"Sepertinya dia sendiri," gumamku pelan saat tak menemukan Ari bersama wanita itu.

"Maaf, ya, tadi mamaku telepon." Tiara datang dengan wajah sedikit merah.

"Santai saja. Apa ada masalah?" tanyaku penasaran.

"Ada beberapa kerabat yang lupa diundang. Padahal semua undangan sudah dicetak dengan total tiga ratus lembar. Namun, ternyata masih ada yang belum diundang. Terpaksa harus minta dicetak lagi," ungkap Tiara.

"Berarti pesta pernikahan kamu bakalan full tamu, dong."

"Em ... tidak juga. Nanti bakalan dibagi untuk acara setelah ibadah di gereja dan resepsinya. Lagi pula undangan lebih banyak dari rekan kerja kami berdua. Kamu pasti datang 'kan?"

"Aku boleh ngajak temanku enggak? Soalnya aku juga baru di sini, masih belum terlalu hafal sama jalanan di sini." Aku memang sudah yakin untuk menghadiri pesta pernikahan Tiara dengan mengajak Dian. Sesekali, aku ingin terbuka dan mulai bergaul dengan siapa saja saat ini. Terlebih aku berada di kota orang, dan pastinya membutuhkan orang lain. Aku harus bisa menyadari jika manusia sebagai makhluk sosial itu memang benar-benar ada, dan aku termasuk di dalamnya.

"Boleh, dong. Kalau perlu kamu ikutan ibadah juga nantinya," ajak Tiara.

Aku hendak mengangguk, tetapi mataku malah mencuri pandang ke arah meja wanita itu. Sosok Ari baru saja datang sambil melepas helm dan meletakkan di meja. Keduanya duduk berhadapan sambil berbincang dan tertawa lepas begitu saja.

Dengan menahan air mata dan sesak di dada, segera kupalingkan wajah. Ingin sekali aku menghilang dari tempat ini, untuk menghindari pemandangan yang selalu saja melukai hatiku.

"Tita, pulang, yuk!"

Aku mengangguk cepat. Kubiarkan Tiara yang melangkah ke kasir untuk membayar makanan kami. Aku segera beranjak, mengambil tas untuk keluar. Namun, langkahku harus terhenti saat Ari melihatku. Kami sempat bertatapan beberapa detik, sebelum aku menunduk dan melewati meja mereka begitu saja disusul Tiara.

Di luar, kuusap air mata yang sempat jatuh. Tidak ada niat untuk sekadar berbalik dan melihat Ari lagi. Degan cepat, aku segera naik ke motor Tiara. Hati ini benar-benar sakit melihat Ari bisa berbahagia bersama wanita lain sedangkan diri ini dikuasai kerinduan dan luka yang kapan saja mampu membunuhku secara perlahan. Benar kata Adel jika mencintai itu tidak selamanya bahagia. Ada kesedihan di dalamnya yang mampu membuat kita terluka hingga tak ingin kembali merasakan apa itu jatuh cinta. Sungguh, aku pun merasakannya saat ini.

"Tuhan," batinku lirih.

BIODATA PENULIS

  • Nama Lengkap : Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
  • Nama pena : Anggraini Da Gomez
  • Usia : 21 Tahun
  • Domisili : Maumere, Flores NTT.

Baca juga: 

https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-6

 

RELATED NEWS