CERPEN: Guru Plastik dan Botol Kaleng

redaksi - Sabtu, 15 Maret 2025 20:55
CERPEN: Guru Plastik dan Botol KalengIlustrasi: Guru sekaligus pemulung (sumber: Istimewa)


Oleh Heri Haliling

PRIA berumur 56 tahun itu bernama Pak Darkani. Pulang mengajar dari SMAN 3 Sin Cos Tan beliau akan sering mampir di beberapa lokasi favoritnya. Jika sudah begitu jangan ditanyakan lagi kemana seragam dinasnya. 

Sudah puluhan menit lalu Pak Darkani memasukkan baju kebanggannya itu ke tas. Yang terlihat sekarang, beliau akan mengenakan baju partai calon bupati tahun lalu. 

Sebuah dum truck yang baru saja berangkat menandakan lokasi sampingan itu telah dekat. Tanpa secuil keraguan, Pak Darkani yang siap dengan sepatu botnya segera berjalan lalu berkumpul dengan lalat dan sampah. 

Benar sekali, sampingan Pak Darkani adalah pengumpul botol plastik dan kaleng di tempat pembuangan sampah yang sejalur dengan rumahnya.

Tahun 2025 tapi ada guru pemulung? Oh jangan heran. Negeri cantik Sin Qua Non punya sejuta kisah memesona tentang pendidikan. 

Di media sosial sedang gencar tentang siswa hantam guru, guru cabuli siswa, siswa gemulai joget, Pak Guru menggeliat ulat bulu, siswa gagal masuk tes perguruan tinggi, dana PIP yang diselewengkan, dan beragam lagi. 

Memulung hanya bagian dari sekerat kisah. Faktanya tes ASN dibuka besar-besaran lantas mengapa Pak Darkani masih menghonor di usianya yang cukup senja itu?

Pak Darkani mengambil kaleng pertamanya. Ia masukkan ke dalam kantongan plastik besar yang ia sembunyikan dalam jok motor bututnya. 

Sebagai seorang guru mapel PKN di mana setiap hari selalu mengajarkan apa itu pancasila dan kewajiban warga negara, sudut bibirnya terasa kecut jika mengaitkan itu semua dengan kegiatannya sekarang.

Guru sebagai warga negara dituntut profesionalisme bukan pengabdian. Ah nomor berapa itu pengabdian, Pak Darkani terkekeh sendiri. Dirinya teringat guru selegram di sekolahnya, misal saja Bu Salindry yang berusia muda itu. 

Masa kerjanya baru masuk 2 tahun. Sudah bisa dabodik.  Berpindah dari honor sekolah ke honor provinsi, tak lama diangkat menjadi ASN Kontrak. Selanjutnya melejit karena Negeri Sine Qua Non membuka tangan untuk guru-gurunya mendapatkan serdik yang otomatis 3 bulan selanjutnya ialah musim panen. 

Beberapa botol plastik telah masuk ke kantongan. Pak Darkani memuaikan bau keringat yang tiada nilainya. Beberapa kalimat dari para petugas berbaju safari pernah bilang di televisi.

"Semua guru honor khususnya yang mempunyai umur di atas 35 tahun sebenarnya telah mendapat afirmasi atau tambahan skor. Tinggal fokus pada dua tes bidang. Banyak faktor memang yang mengakibatkan beliau-beliau itu belum berubah statusnya. Hal yang paling umum ialah prinsip. Ada guru yang sebelumnya nyaman bernaung di perusahaan lantas baru memutuskan bergabung di pendidikan pada umur tertentu. Yang lain karena sudah enjoy di swasta tanpa mau membuka diri untuk pindah ke negeri. Baru setelah kabar tentang prospek karier muncul dari negeri, beliau memutuskan niatnya untuk pindah. Jadi jangan selalu menilai negatif yang punya kebijakan."

Pak Darkani menekan botol plastik agar sesak dan muat banyak. Sesekali ia seka keringat itu. Pernyataan awal boleh jadi sebuah peluang bagus andai air bah serdik tidak membanjiri dunia pendidikan. Nyatanya banyak kampus membuka itu dari tahun-tahun dulu. 

Memasukkan bahkan ke dalam sistem SKS perkuliahan. Lalu muncullah serdik prajabatan dan dalam jabatan. Apa guna usia jika skor tambahan peserta yang mengantongi serdik melambung ke nilai maksimal?  

Seingat Pak Darkani profesi mengajar telah memasuki 30 tahun di dalam pendidikan sekolah negeri. Pernah beberapa momentum baik menghiburnya tentang program penyamarataan dari lembaga. 

Digaungkan dalam berbagai media dan namanya tersemat di salah satu daftarnya. Tapi seiring minggu yang menggumpal menjadi bulan, berita akan berganti dan hanya jadi cerita. Itulah yang terjadi. Lantas pernyataan seperti apa lagi yang mampu meyakinkan petugas safari itu jika dirinya memang serius dalam pengabdian?
**
Malam pukul 20.00 Pak Darkani sampai ke rumahnya. Beban kantongan sampah besar yang menjulang di depan dan belakang sepeda motornya telah ia setor ke pengepul langganannya. Pak Darkani menyibak bajunya agar aroma bau sedikit berkurang. Berjalan pelan menuju pintu depan.

Tok!! Tok!! Tok!!

"Assalamualaikum, Abah pulang Neng?"

Tak lama pintu kayu itu berderit. Dari dalam sosok gadis belia menyambutnya dengan roman wajah kusut.

"Selalu begitu kalau Abah pulang. Ini makanlah dulu, Abah belikan bakso kesukaanmu" tukas Pak Darkani kepada putri perempuannya. 

Gadis itu bernama Arini. Hidungnya bangir dengan bentuk wajah oval. Dia putri kedua Pak Darkani yang juga bersekolah kelas X 3 di tempat ayahnya mengajar. Adapun putri pertama telah menikah sekitar 5 tahun yang lalu.

Arini dulu pribadi periang. Beda dengan sekarang yang sering menyimpan mendung dalam wajah terutama matanya. Tanpa menanyakan keadaan ayahnya, Arini yang biasa disapa Neng itu hanya mengambil bakso dan membalikkan badannya.

Pak Darkani mencoba memaklumi cobaan berat putri bungsunya itu. Kurang lebih sepuluh tahunan ini kedua putrinya tak merasakan lagi lembut pelukan ibu. Bukan karena sang ibu kabur atau meninggal. 

Isteri Pak Darkani masih hidup dan sah. Hanya boleh dikatakan jiwanya mengalami masalah. Banyak yang mengatakan karena faktor turunan, adapula karena keadaan, yang percaya mistis meyakini kena guna-guna. 

Entahlah, memikirkan itu hanya menghilangkan fokus Pak Darkani untuk mengurus kedua putrinya. Sampai saat itu akhirnya tiba. Karena mulai lepas kontrol, dengan terpaksa sang ibu harus di rawat di rumah sakit jiwa sampai sekarang.

Sang kakak sebenarnya kerap memberikan motivasi dan kasih sayang saat itu. Namun usai menikah, tentu tempat tinggal dan  kewajibannya sudah untuk suaminya. 

Pak Darkani menuju kamar mandi. Ia masih mengamati putrinya yang mengurung diri dalam kamar. Tapi satu hal yang menenangkan hatinya, plastik bakso itu tampak menyembul di bak sampah. Paling tidak, nafsu makan putrinya itu tetap terjaga.
**
Pagi di sepanjang jalan menuju SMA 3 Sin Cos Tan, hati Pak Darkani kacau sejadi-jadinya. Bahkan karena tak kuasa menahan, ia pinggirkan motor bututnya. 

Pak Darkani menyeka matanya yang sembab lalu berlari ke belakang sebuah pohon di tepian jalan. Rasa pecundang menggumul dan menyesak dalam dada. Tapi tak ingin baginya untuk siswa tahu keporakporandaan kalbu itu. 

Pak Darkani ingat kejadian setengah jam lalu manakala Arini memutuskan tak mau lagi bersekolah. 

"Sudah semestinya sekarang abah ini PNS atau P3K seperti guru yang lain, Bah! Arini setiap hari dirundung buli!" tegas putrinya yang masih mengenakan piyama padahal jam sekolah sudah meninggi.

"Neng. Abah pun ingin. Tapi gusti masih belum buka jalan. Sekarang yang ada dalam pikiran Abah hanya kesuksesanmu. Lekas mandi dan berangkat, Neng?"

"Abah belum pernah diposisi, Neng. Keluarga kita ini ancur, Bah. Eneng yang harus nanggung setiap hari ejekan itu. Ibu dikatakan gila dan abahnya mulung! Eneng gak mau lagi sekolah!"

Terasa panas dan menguar di udara. Hidung mulai sesak oleh air. Pak Darkani mengucek wajahnya. Memang bukan kali itu putrinya memberontak keadaan. Tapi pagi ini yang paling menyakitkan. Putrinya memang tak salah. 

Sebagian besar yang dikatakan Arini benar adanya. Sebagai guru honor yang cukup tua, ekspresi siswa kadang bukan suatu kebohongan. Entah darimana klasifikasi guru itu muncul. Terhadap guru ASN wajah sebagian siswa akan bersemu hangat. Untuk guru honorer biasanya akan berkebalikan. 

Pak Darkani bolak-balik menghujati dirinya. Andai..Andai Andai...itu yang muncul sebagai duri yang menambahi luka. Kondisi Arini pagi ini begitu terguncang. Jika sudah begini, mau tak mau sebagai guru, Pak Darkani akan berkoordinasi dengan BK dan wali kelas.
**
Ada sebuah fenomena unik pagi ini. Banyak guru ASN tengah wira-wiri dengan menenteng laptop masing-masing. Bagi guru yang baru masuk pemberkasaan agar sah ditempatkan di induk sekolah, semua tampak hiruk pikuk dengan map warna-warninya. Pak Darkani sadar ini awal bulan dan biasanya banyak kesibukan adminitrasi yang dilengkapi guru ASN.

"Saya memerlukan dukungan Bu Salindry untuk memotivasi Arini. Saya rasa pagi ini putri saya itu benar-benar rapuh."

Bu Salindry yang diberikan amanah sebagai wali kelas Arini tampak sibuk di depan laptopnya. Satu kamera berada di sudut ruang. Pastinya kesibukan itu sekalian dijadikan konten. Mendengar uraian Pak Darkani, Bu Salindry berjanji akan segera berkunjung ke rumah bersama guru BK siang ini. 

Namun beliau memohon untuk diberikan privasi kosentrasi mengingat banyak hal yang harus dilengkapi dalam aplikasi pendidikan. Pak Darkani mahfum dengan hal tersebut. Dirinya pun undur diri.

Tak berapa lama setelah keluar ruangan, Pak Aswin guru PJOK yang berusia muda menyapa:
"Pak Darkani?? Mengapa tampak murung?"

Mereka berdua kemudian menuju perpustakaan untuk saling tukar pendapat.

"Oh begitu. Memang segera harus diperhatikan" tukas Pak Aswin. "Tapi, saya mohon maaf sebelumnya, Pak. Apakah Bapak masih bekerja sampingan dan pulang malam?"

Pak Darkani membenarkan prasangka guru muda itu. Pada kesempatan tersebut, Pak Aswin dengan sopan memberikan masukan untuk mencoba mencari sampingan lain. Dengan begitu kesempatan berkumpul bersama keluarga lebih banyak.

"Di era digital begini, Pak mencari penghasilan tambahan cukup mudah. Bapak bisa lihat konten mainan yang mayoritas penontonnya anak kecil. Jumlah tanyangnya bahkan mencapai ribuan. Kalau Bapak tak tertarik dengan hal itu bisa coba seperti Bu Salindry. Beliau itu termasuk kreatif dan merespon zaman. Segala aktivitas pembelajaran dijadikan konten. Followernya juga banyak dan berhasil fyp. Alhasil penghasilannya lumayan lho, Pak. Nah kontennya kadang juga unik kaya gini" imbuh Pak Aswin sambil memperlihatkan sebuah video.

Pak Darkani mengamati video Bu Salindry yang kebanyakan masih memakai seragam dinas. Kadang bersama siswa, kadang sendirian. Beberapa lirik lagu atau percakapan diiringi musik beliau tirukan. Sedikit goyangan muncul di sana.

 Pak Darkani bahkan sering dibuat senyum karena merasa kurang cocok jika harus seperti itu.

"Awalnya memang canggung, Pak. Tapi kalau sudah menerima komisi, dijamin deh bakal ketagihan."

Pak Aswin menuturkan bahwa harus sering buat konten. Sehari bisa 4x. Hal ini bertujuan agar video kita tetap tayang pada urutan atas dan memperoleh jumlah tayang sesuai standar.

Cukup menghibur musyawarah pagi itu. Pak Darkani sejenak mampu mengesampingkan kesedihannya dan kembali fokus untuk mengajar.
**
Bilamana sebuah perjalanan didasarkan pada perasaan wajib dan tak peduli bagaimana caranya yang penting rezeki itu sah dan halal, kadang waktu berlalu seperti peluru.

Malam sunyi tanpa peraduan bintang pada pukul 21.30 usai memperoleh 4  kantongan besar botol plastik dan kaleng, Pak Darkani membawa lembaran hasil yang lumayan. Seperti biasa satu bungkus bakso panas ia bawa untuk putrinya.

Berjalan dengan peluh menguap dalam pakaiannya, pelan tapi pasti Pak Darkani menuju pintu rumah. Tidak seperti biasanya, kondisi dalam rumah gelap. Pak Darkani yang hendak mengetuk pun dibuat heran karena derit pintu tanda tak terkunci. Dihujani rasa curiga, dirinya segera masuk ke ruangan.

"Neng? Nengi?? Assalamualaikum?" panggil sang ayah.

Tak memperoleh respon. Pak Darkani dengan merayap menuju ruang kamar. Ada cahaya di dalam kamar putrinya.

"Neng??! Kok lampunya gak dinyalakan. Apa kamu ketiduran?" tanyanya sambil mengetuki pintu kamar. Terus Pak Darkani bertanya namun tak mendapatkan respon. Dirasakan ada sesuatu yang tak beres, dengan perasaan campur aduk Pak Darkani mendobrak pintu kamar putrinya itu.
Brak!!! Brak!! Brak!!!

Suara tabrakan tubuh dan dinding pintu menghiasi malam. Pada momen saat pintu kamar itu terdorong dan jatuh membentur lantai, suara ribut akhirnya memancing kedatangan tetangga. Suara itu bercampur dengan riuh lagu dari sebuah hp yang memancarkan sinar biru dalam kegelapan.

Pak Darkani sedikit terdorong ke depan tanpa keseimbangan. Hampir jatuh, Pak Darkani mencoba menyeimbangkan diri dengan berpegangan pada sesuatu yang berat menggantung.

Sekelebat bayang tubuh terempas dorongan Pak Darkani. Sinar hp memberikan sketsa tubuh dingin seorang gadis yang telah kaku tergantung dengan seutas tali yang diikat di kuda-kuda rumah.

Bersama kesadarannya yang muncul, tak ayal apa yang ada di hadapan pak Darkani langsung membuatnya ambruk dan teriak.
"Arini!!!!!!!!!" pekiknya tak percaya.

Bersama guncangan jiwa dan luluh lantaknya pikiran, Pak Darkani menangis dan bangkit untuk menggoyang-goyangkan jasad putri bungsunya itu. Tetangga yang telah berada di muka pintu segera menghambur ke dalam.

 Suasana pecah. Malam dingin terasa masuk pada titik terendah merebangkan lara pada setiap hati yang penuh duga dan rasa tak percaya.

Semua lampu dinyalakan. Jasad Arini kemudian diturunkan dan segera dibaringkan di atas kasur. Wajahnya tampak kuyu dan sungguh menyedihkan. Pak Darkani yang lunglai terus memeluk tubuh dingin putrinya itu. 

Pria berusia hampir senja tersebut meraung dengan mereguk dalam-dalam makna sebuah kepecundangan seorang pelindung. Semua yang ada di sana sangat prihatin melihat itu. Salah seorang tetangga yang mengetahui layar hp Arini masih menyala di atas meja lalu meraihnya.

Usai menyaksikan tayangan video itu mimik wajah tetangga tersebut tampak sangat terkejut.
"Bukankah ini konten dari akun Bu Salindry? Wali kelas Arini" tanya tetangga yang kenal mengingat putranya juga sekolah di SMAN 3 Sin Cos Tan.

Pak Darkani terkesiap penasaran. Dia mengucek wajahnya yang pasi lalu mendekatkan diri menuju kerumunan tetangga yang melihat video. Dalam video itu tampak Bu Salindry dan semua siswa kelas X3 memberikan motivasi dan permohonan maaf kepada Arini karena belum sempat ke rumahnya.  

Video berdurasi satu menit itu diiringi lagu pembangkit semangat. Ragam komentar juga ramai dalam video itu. Nyatanya Arini pun merespon dengan menulis balasan maaf dan merelakan kunjungan yang gagal tersebut. Segala doa tercurah di sana bersama emoticon lucu dan menenangkan. Arini juga mengaminkan dengan emoticon beraura bahagia.

Pak Darkani memalingkan wajah menuju tubuh kaku Arini. Pria itu menutup mulutnya agar sesegukan tangis tak mengisi ruangan. Benaknya yang diselimuti kehancuran menyisipkan puluhan pertanyaan. 

Salah satu yang menggelayuti jiwanya hingga terperosok nanar ialah jika kemajuan digital itu api, lantas dirinya guru apa? ***

*Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. 

Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. 

Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat di koran serta majalah cetak atau online seperti Majalah Apajake, Balipolitika, Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, Radar Utara, Radar NTT, Kaltim Post, Negeri Kertas.com, Ngewiyak.com, Nolesa.com, Cakra Dunia.com, Tebu Ireng Online, Kompasiana.com, dan Retizen Republika. 

Untuk berdiskusi dengan Heri Haliling pembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, email [email protected] atau nomor WA 083104239389.*
 

Editor: redaksi

RELATED NEWS