CERPEN: Ketika Panggilan Hati Bersua dengan Panggilan Ilahi
redaksi - Selasa, 07 Oktober 2025 15:20
Oleh: Boy Waro
Sinar matahari pagi di Desa Rimba terasa hangat, memantul di jendela gereja paroki tua. Fr. Lukas sedang asik dan sibuk menyiapkan materi katekese sekolah Minggu.
Ia adalah mahasiswa teologi tingkat akhir yang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) selama dua tahun diparoki pedesaan ini.
Lukas datang dengan hati dan pikiran yang penuh dengan idealisme. Ia siap mengabdikan diri sepenuhnya pada imamat, panggilan yang telah ia yakini sejak remaja. Namun, idealisme itu mulai teruji sejak ia bertemu dengan Ibu Maya.
Maya adalah guru SD Harapan Baru, sekaligus salah satu pengurus aktif di Paroki. Ia cantik, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam caranya berinteraksi dengan orang lain-sabar, bersemangat, dan selalu melontarkan tawa renyah yang entah mengapa selalu memecah kesunyian batin Lukas.
Pertemuan mereka sering terjadi, terutama karena mereka sama-sama terlibat dalam persiapan perayaan Paskah. Lukas terkesan pada cara Maya mengatur anak-anak koor dengan lembut namun tegas. Ia mengagumi bagaimana Maya bisa menjelaskan konsep dosa dan pengampunan dengan bahasa yang sederhana dan menyentuh hati.
Awalnya, Lukas mengangap kekagumannya ini murni profesional, kekaguman seorang pelayan umat kepada rekan pelayan umat. Ia sering berkata pada diri sendiri, “ini agape, cinta kasih universal.”
Tetapi suatu sore, saat mereka duduk bersebelahan di teras pastoran setelah rapat, percakapan mereka melenceng dari urusan gereja. Maya bercerita tentang impannya memiliki taman bacaan kecil di desa. Lukas bercerita tentang masa kecilnya, tentang betapa ia merindukan masakan ibunya dan canda bersama dengan ketiga saudaranya. Mereka tertawa, dalam tertawa itu Lukas merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekedar agape. Itu adalah eros, benih romantis yang dilarang bagi seorang calon imam.
Debar jantung Lukas kini menjadi liturgi rahasia yang ia jalani sendiri. Setiap kali ia memimpin ibadat di hadapan umat, ia merasa cemas dan bersalah. Ia takut wajah Maya akan muncul di antara wajah-wajah kudus. Ia takut ia tidak jujur kepada Tuhan, kepada umat, dan kepada dirinya sendiri.
Pergulatan batin ini mencapai puncaknya menjelang akhir masa TOP. Lukas harus menulis refleksi akhir dan membuat keputusan pasti: Kembali ke seminari untuk dithabiskan diakon, atau mengajukan penundaan dan mempertimbangkan kembali panggilannya.
Pastor Paroki, Romo Eman, yang bijaksana, memanggil Lukas.
“Lukas,” kata Romo Eman sambil menatap salib di dinding, “Saya perhatikan semangatmu, tapi saya juga melihat pergolakan di matamu. Ini bukan hal baru, nak. Panggilan Tuhan tidak pernah menghilangakan fitra kita sebagai manusia. Dan kebebasan untuk memilih ada di tanganmu, kebahagianmu ada padamu, jangan mengambil keputusan dalam keadaan bimbang dan gembira, tetapi putuskan pilihanmu di saat kamu mempertimbangakan semuanya itu.”
Lukas menuduk, mengakui kesalahanya. “Saya… saya rasa saya jatuh cinta pada Maya Romo. Dan saya merasa seperti telah mengkianati janji saya.”
Romo Eman tersenyum tipis. “Cinta tidak pernah merupakan pengkhianatan, Lukas. Ia adalah penerang. Sekarang, tugasmu adalah bertanya: Cahaya dari cinta ini, apakah ia mengarahkanmu mendekatkan pada Tuhan, atau justru menjauhkannya dari altar?”
Romo Eman melanjutkan, “Imamat adalah sebuah persembahan, kamu mempersembahakan dirimu secara utuh, termasuk hasrat dan kesempatan untuk berkeluarga. Jika kamu memilih imamat, kamu harus melepaskan Maya dengan hati yang damai, karena kamu memilih Kristus sebagai mempelaimu. Tapi jika hatimu berseru lantang untuk mencintai seorang wanita dan membangun keluarga, maka kamu harus berani meninggalkan jubah ini demi sakramen perkawinan.”
Lukas kembali ke kamarnya. Ia merenung semalaman. Ia memegang alkitab, lalu memejamkan mata, membeiarkan wajah Maya dan suara Imamat saling beradu di benaknya. Keeskoan paginya, ia mencari Maya. Mereka bertemu di taman gereja yang sepi.
“Maya,” ucap Lukas, suaranya manta, meski ada sedikit rasa sakit di sana. “Masa praktik saya akan segera berakhir.”
Maya menatapnya dengan senyum lembut. “Saya tahu, Frater Lukas. Kami akan merindukanmu.”
“Saya juga akan merindukan desa ini…dan kamu,” kata Lukas jujur. Ia mengambil napas dalam-dalam. “Maya, saya datang bukan untuk menyatakan perasaan. Saya datang untuk menyatakan keputusan.”
Ia menatap mata Maya. “Saya menemukan di sini, di desa ini, bahwa saya harus membuat pilihan yang paling jujur. Saya harus memilih jalan yang akan saya jalani seumur hidup. Dan saya sudah memilih.”
Lukas memejamkan mata sejenak menguatkan hati. “Saya akan kembali ke seminari. Saya akan melanjutkan panggilan Imamat saya.”
Air mata Maya tidak tumpah, tetapi seyumanya memudar menjadi tatapan penuh pengertian. “Saya mengerti, Frater Lukas. Saya tahu kamu selalu mennjadi milik altar. Saya selalu mendoakanmu.”
Lukas merasa perih, namun di saat yang sama ia merasa damai. Ia telah menolak kebahagiaan duniawi yang nyata, demi sebuah janji yang lebih besar.
“Saya akan mendoakan kamu, Maya. Semoga kamu menemukan kebahagiaan dan imam yang terbaik untukmu.”
Beberapa minggu kemudian, Frater Lukas meninggalkan Desa Rimba. Ia pergi dengan koper yang lebih ringan, namun dengan hati yang lebih berat dan matang. Ia tahu, rasa cinta pada Maya tidak hilang, tetapi telah menjadi cinta pengorbanan, pelajaran penting yang ia dapatkan selama prkatik pastoralnya. Ia kini menjadi calon imam yang lebih utuh, karena ia pernah mencintai dan memilih untuk mempersembahkan cintanya di kaki salib.
Ia teringat kembali akan kata-kata Romo Eman di meja makan di pastoral mengatakan “Tuhan tidak memanggil orang yang kuat tetapi Tuhan menguatkan orang yang di panggil-Nya.”
Dan kini terbukti Tuhan telah menguatkan dia waktu memilih dan memutuskan pilihan hidupnya.***