CERPEN: Pulang

redaksi - Minggu, 21 November 2021 16:11
CERPEN: PulangSteven Usman, Tinggal di Ritapiret (sumber: Dokrpi)

“Anjelina! Bisakah kita berbicara sebentar?”

“Apa yang ingin kau perbincangkan lagi Evan? Apa masih dalam topik yang sama? Tentang iman lagi? Sudah kukatakan jangan kau bahas hal itu lagi. 

Apa yang kau harapkan dari doa, toh itu tidak sama sekali membantumu menjadi sukses sepertiku saat ini. Mending kau pergi dari kehidupanku karena kau muak mendengar setiap bualan dan omong kosongmu itu.”

***

Memang berat rasanya mengakui semua hal yang pada dasarnya tidak pernah kupelajari. Kecuali hal- hal sederhana yang pernah kuperoleh semasa kecil lewat Sekolah Minggu. 

Anjela namaku. Sebuah nama yang kurasa sakral dan setelah melewati ziarah hidup yang cukup panjang aku pun kemudian menyadari bahwa nama itu melukiskan keseluruhan diriku yang punya banyak kisah. Sejak kecil aku merupakan pribadi yang cukup dikenal. 

Aku rajin mengikuti sekolah minggu dan merasa sangat dekat dengan Tuhan melalui doa- doaku. Aku dididik untuk mengenal Tuhan sejak usia dini oleh orang tuaku dan mereka adalah sosok yang saleh dan selalu menginspirasiku dalam kehidupan beragama. 

Hal utama adalah membaca Kitab Suci dan kata mereka Kitab Suci adalah sumber iman akan Allah. Aku yang sama sekali tidak mengerti soal iman hanya melaksanakan apa yang dikatakan oleh mereka. 

Dan hingga saat aku jauh dari Tuhan aku masih tetap mempertanyakan apa itu iman. Namun aku bersyukur bahwa sebagian isi Kitab Suci sudah kubaca meski hanya sebatas membaca, tidak ada kata yang mampu kucerna apalagi untuk ditafsirkan. 

Meski demikian kutemukan kalimat yang berkesan dalam Yesaya 43:4 yang kemudian mengantar aku pada pertobatan.

“Engkau berharga di mataku dan aku sangat mengasihimu.”

Anjela. Entah mengapa nama ini yang diberikan orangtua kepadaku yang pasti ada sedikit cerita di balik nama ini. Anjela kecil berbeda dengan Anjela yang saat ini punya segalanya. 

Semenjak berkedudukan sebagai CEO di sebuah perusahaan, kehidupanku berubah. Aku hidup dalam kemewahan, punya segalanya, uang, mobil, rumah meski tak kutempati karena aku lebih suka berada di apertemen lux, bahkan dengan modal yang kupunya aku juga ikut menanam saham di beberapa perusahan besar di penjuru negeri. 

Beberapa perusahaan berutang jasa padaku setelah aku menyelamatkan mereka dari kebangkrutan. Berkat kerja kerasku perusahaan tempatku bekerja resmi go internasional

Hari- hari disibukan untuk kepentingan perusahaan dan bisnis yang entah sampai kapan terus mencari laba, sedang di satu sisi tak mau rugi. Padahal kerugian adalah risiko yang harus dihadapi dan banyak perusahan tak siap menghadapi situasi ini. 

Aku sibuk melayani para wartawan yang hampir tiap hari menanyakan info terbaru tapi dalam pertanyaan yang sama tiap harinya dan berkesan terlalu mendatar. Semakin ke puncak kejayaan aku semakin lupa diri dan lupa Tuhan. 

Dia yang dulu selalu menjadi andalan kini menjadi salah satu yang kuasingi. Dan kini cintaku pada- Nya tak melebihi cintaku pada harta. Namun entah mengapa selalu ada yang kurasa kurang dan setiap keluar apertemen untuk bekerja aku selalu dihantui kecemasan juga pergolakan batin yang hebat. 

Hingga saat hari itu tiba. Perusahan yang telah susah payah kubangun dalam waktu sekejab mengalami kebangkrutan. Manajer keuangan menggelapkan banyak uang perusahaan sehingga perusahan tak mampu membayar pajak dan utang pada bank. 

Aku masih punya banyak uang tapi tetap saja itu tidak menyurutkan keputusasaanku pada peristiwa yang tak kusangka terjadi dalam perusahaan tempat aku bekerja. Sia- sia kerja kerasku, lebih parahnya lagi aku yang dituding pemilik perusahaan sebagi dalang dibalik kebangkrutan. 

“Kau harus mengganti rugi semuanya.” 

Tentu aku tak mau, tapi permasalahan ini terus berlanjut dan aku mengalami depresi. Hidupku suram tak ada yang simpatik padaku bahkan orangtuaku. Sehingga suatu hari aku bertemu Evan seorang mantan Frater Projo. 

Kami bersahabat baik tapi aku mencampakannya karena ia terus membicarakan iman dan Tuhan ketika aku berada di puncak karir. Iman dan Tuhan dua topik pembicaraan yang sangat membosankan yang sama sekali tidak menarik untuk dibahas. 

Bahkan suatu hari dengan cara memaksa dia menyuruhku ke Gereja dan tentu aku tidak akan melakukannya. Tetapi ketika aku kehilangan segalanya dan membutuhkan orang lain di sisiku, justru orang yang kucampakkan ini yang berempati padaku.

“Masih ingatkah kau kisah masa kecilmu? Kau pernah bercerita padaku tentang kedekatanmu dengan Tuhan bukan?”

“Ya. Tapi itu dulu dan tolong jangan kau ungkit-ungkit hal itu lagi. Tidak adakah topik yang lebih menarik selain iman dan Tuhan? Aku tahu kau seorang mantan frater yang notabene punya banyak pengetahuan tentang dua hal itu. Tapi bisakah denganku kau tak membicarakan itu. Aku muak dengan bualan- bualanmu.”

Aku sendiri tak tahu atas dasar apa aku berbicara demikian. Mungkin aku orang paling berdosa dari sekian banyak orang berdosa di dunia. Aku mengkhianati Tuhan ku sendiri dan aku mengasaingkannya dari kehidupanku. Entah mengapa aku semudah ini melupakannya. Aku berada di posisi yang salah dengan menempatkan harta sebagai yang pertama. 

“Anjela, cukup!. Jangan pernah kau berbicara demikian tentang Tuhan dan kau tak punya hak untuk mencela-Nya. Bisakah kau sedikit membuka hati untuk-Nya ‘lagi’. Aku tahu segalanya tentangmu dan aku tahu apa yang kau rasakan selama ini. 

Kegelisahanmu setiap kali keluar dari apertemen bahkan kau sendiri tak pernah merasakan bahagia yang sesungguhnya dalam hidupmu. Tidakkah kau sadar apa yang kau alami sebelum dan saat ini adalah teguran dari-Nya. 

Kau pernah menyakiti-Nya tapi Dia tak begitu padamu. Apakah kau sadar bahwa di balik kesusksesanmu ada Dia yang selalu menolongmu, tetapi begitulah manusia ketika telah memiliki segalanya lupa akan Sang Pemberi. 

Bahkan sama sekali tak datang tuk menghaturkan syukur pada-Nya. Maafkan aku yang harus berkata demikian dan aku harus pergi. Tetapi sebelum itu aku ingin mengatakan sesuatu padamu “Engkau berharga di mata-Nya dan Dia sangat mengasihimu.”

Mendengar kalimat itu aku merasa terpukul. Air mata tumpah ruah di kedua pipiku dan aku merasa ada yang merangkulku, tapi bukan Evan, ada kehangatan di sana dan karena kalimat itu aku benar-benar bersalah karena telah melupakan Dia. 

Maafkan aku Tuhan karena telah menyakiti-Mu dengan seribu bahasa kotorku dan dengan sikapku yang terlalu mendewakan harta. Cintaku pada-Mu dibutakan harta yang fana dan aku sadar bahwa itu sama sekali tak berguna bagiku. 

Tuhan aku ingin pulang, pulang pada pangakuan-Mu. Aku ingin menyapa-Mu dalam doa-doa dan memperbaiki hidupku dalam iman akan Dikau.

Oleh: Steven Usman, Tinggal di Ritapiret

RELATED NEWS