Dan, Kematian Makin Akrab (Sebuah Nyanyian Kabung)
redaksi - Kamis, 14 April 2022 22:37Oleh: Epind Retu, Anggota Kelompok Minat Teater Tanya, Ritapiret
Di muka pintu masih/Bergantung tanda kabung //Seakan ia tak akan kembali //Memang ia tak kembali //Tapi ada yang mereka tak //Mengerti – mengapa ia tinggal diam //Waktu berpisah. Bahkan tak //Ada kesan kesedihan //Pada muka //Dan mata itu, yang terus //Memandang, seakan mau bilang //Dengan bangga : - Matiku muda – //Ada baiknya //mati muda dan mengikut //mereka yang gugur sebelum waktunya //Di ujung musim yang mati dulu //bukan yang dirongrong penyakit //tua, melainkan dia //yang berdiri menentang angin //di atas bukit atau dekat pantai //di mana badai mengancam nyawa. //Sebelum umur pahlawan ditanam //di gigir gunung atau di taman-taman //di kota //tempat anak-anak main //layang-layang. Di jam larut //daun ketapang makin lebat berguguran //di luar rencana //Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar //yang mengajak //tertawa – itu bahasa //semesta yang dimengerti - //Berhadapan muka //seperti lewat kaca //bening //Masih dikenal raut muka, //bahkan kelihatan bekas luka //dekat kening //Ia menggapai tangan //di jari melekat cincin //- Lihat, tak ada batas //antara kita. Aku masih /terikat kepada dunia //karena janji karena kenangan //Kematian hanya selaput //gagasan yang gampang diseberangi //Tak ada yang hilang dalam //perpisahan, semua // pulih// juga angan-angan dan selera//keisengan - //Di ujung musim //dinding batas bertumbangan //dan //kematian makin akrab. //Sekali waktu bocah //cilik tak lagi //sedih karena layang-layangnya //robek atau hilang //- Lihat, bu, aku tak menangis //sebab aku bisa terbang sendiri //dengan sayap /ke langit – //
Puisi yang ditulis Subagio Sastrowardoyo di atas menggambarkan bagaimana kematian merupakan sesuatu yang tak terelakkan bagi manusia.
Kematian bisa begitu dekat dan gampang menghampiri kita. Puisi yang dimuat dalam sebuah antologi dengan judul serupa ini seperti menyadarkan kita bahwa tidak ada manusia yang dapat berkuasa melawan kematian.
Sebagai mahkluk jasmani, raga dapat dimakan usia dan kematian bahkan membunuh berbagai harapan. Sehingga dalam pengantar antologi puisinya, Subagio memberi arti kepada kematian itu : kematian atau maut adalah tabir terakhir yang menghalangi kemungkinan kembali melibatkan diri dengan dunia yang kita cintai. Yang tinggal hanya pengandaian dan harapan semoga cinta kepada pengalaman hidup yang beragam-ragam terus berlangsung tanpa ada ubahnya, seperti yang telah berlalu di sini.
Atau kita berserah saja kepada keheningan yang kita tak tahu kapan bermula dan berakhir. Namun pada saat itu, sajak tak diperlukan lagi.
Refleksi tentang ketakterelakan kematian, juga mendapat perhatian bagi sejumlah filsuf sebut saja Heidegger. Refleksinya tentang kematian akhirnya membawanya pada pengertian manusia sebagai Sein zum Tode atau mahkluk yang terarah pada kematian.
Atau bahkan secara lebih ekstrem karena kematian, Sartre mengemukakan bahwa manusia sebenarnya adalah sebuah kerinduan yang sia-sia. Apalah arti kerinduan dan harapan jika manusia akhirnya tak terelakkan dari kematian.
Chairil Anwar bahkan menolak secara langsung kematian tersebut: ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi'. Refleksi-refleksi ini membawa kesimpulan bahwa kematian menghadirkan unsur fatalistis bagi hidup manusia.
Kematian bahkan menghilangkan segala kemungkinan untuk menghargai kehidupan. Namun apakah kematian selalu menghadirkan kematian?
Terkadang tak luput kita mengalami kematian serupa. Karena sebuah kejatuhan atau kegagalan, kita memandang hidup sebagai sesuatu yang tak berarti lagi.
Kegagalan seolah semakin mempertebal unsur kelemahan kita hingga kita lupa bahwa kita juga punya beragam keutamaan dan kelebihan yang semestinya lebih kita perhatikan. Sekali lagi kita dapat bertanya ‘apakah kematian selalu menghadirkan kematian?’.
Kematian Kristus adalah jawaban atas pertanyaan kita tersebut. Kematian Kristus di kayu salib karena dosa-dosa kita membawa makna yang sangat dalam yakni untuk sebuah kehidupan.
Bagi kita orang kristen kematian Yesus Kristus memiliki makna yang mendalam. Pertama, kematian Kristus membebaskan kita dari dosa. Kematian Kristus membebaskan kita dari kedosaan kita yang menyebabkan kita dikuasai maut.
Kristus membebaskan kita dari dosa-dosa yang kita perbuat dan terlebih kita terbebas dari dosa asal kita. Karena bebasnya kita dari dosa, hubungan kita dengan Allah pun dipulihkan kembali.
Hubungan dengan Allah yang sering renggang karena dosa dipulihkan Kristus dengan kematian-Nya. Lebih jauh dari itu, kematian Kristus membebaskan kita dari kematian kekal dan kita memperoleh kehidupan kekal.
Dalam Yesus Kristus kematian tidak dipandang sebagai sebuah akhir melainkan awal dari suatu kehidupan yang kekal. Dalam Yesus Kristus ada kebangkitan yang digambarkan secara indah oleh St. Thomas Aquinas : ‘Kebangkitan Kristus menyatakan keadilan Allah dan menyelesaikan karya keselamatan-Nya serta kebangkitan Kristus memperkuat iman dan harapan, agar kita hidup dalam kasih'.
Iman akan kematian dan kebangkitan Kristus kemudian menghadirkan refleksi yang baru tentang kematian sebagai yang tak terelakkan bagi manusia. Berangkat dari keyakinan Subagio, kita dapat melihat kematian sebagai sahabat manusia.
/Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar /yang mengajak /tertawa – itu bahasa /semesta yang dimengerti -/ Kematian tidak membawa suatu ketakutan karena dalam Kristus kita menemukan kehidupan kekal.
Unsur yang tak terpisahkan lainnya ialah bahwa kematian akhirnya membawa manusia pada refleksi yang baru atas makna hidup sebagai tempat manusia mengusahakan kebaikan dalam dirinya.
Kegagalan yang sering kita alami menghadirkan refleksi baru bahwa kita mesti mengusahakan segala kebaikan agar kegagalan tidak lagi menjadi seperti akhir yang mengungkung manusia melainkan sebuah loncatan pada Pengembangan diri yang baru.
Pada akhirnya kita mampu mengangkat kematian kepada sebuah nilai yang lebih tinggi yakni kehidupan. /Dan /kematian makin akrab. /Sekali waktu bocah /cilik tak lagi /sedih karena layang-layangnya /robek atau hilang /- Lihat, bu, aku tak menangis /sebab aku bisa terbang sendiri /dengan sayap /ke langit – / . ***