Dari 'Bubur Puasa' hingga 'Kue Icing': Sejarah Panjang Kue Natal yang Jarang Diketahui
redaksi - Selasa, 23 Desember 2025 17:06
Bubur (kiri) dan Kue-kue Natal (sumber: Istimewa)JAKARTA (Floresku.com) – Saat lonceng Natal berdentang dan keluarga berkumpul, satu hidangan hampir selalu hadir di tengah meja: kue Natal.
Teksturnya padat, rasanya manis dan kaya buah, dengan lapisan gula putih yang menambah kesan sakral sekaligus meriah. Namun di balik tampilannya yang elegan, kue Natal menyimpan kisah panjang yang berkelok bersama sejarah iman dan budaya Eropa.
Jauh sebelum dikenal sebagai kue, hidangan Natal ini justru berwujud bubur. Pada Abad Pertengahan, masyarakat Eropa menyantap plum porridge, bubur kental yang dihidangkan usai puasa Malam Natal.
Isinya bukan sekadar buah kering, melainkan juga daging sapi rebus, rempah-rempah hangat, serta roti atau gandum sebagai pengental. Santapan ini berfungsi sebagai pemulih tenaga setelah rangkaian ibadat panjang, bukan sebagai pencuci mulut.
Perlahan, perubahan zaman membawa perubahan rasa. Memasuki abad ke-16, bahan-bahan mulai bergeser. Gandum dan roti digantikan mentega, telur, dan tepung. Daging pun ditinggalkan.
Dari sinilah bubur Natal berevolusi menjadi adonan padat yang dipanggang—cikal bakal kue Natal modern. Teksturnya lebih kokoh, aromanya lebih harum, dan rasanya semakin kaya.
Baca juga:
- Pengarusutamaan Gender di Kemenpar Diakui Nasional, Masuk Dua Besar PIMTI Award 2025
- NTT Mart Dibuka di Labuan Bajo: Pariwisata Triliunan Rupiah, Saatnya Produk Rakyat Jadi Tuan Rumah
- Viral: Roti’O Tolak Uang Seorang Nenek, Picu Polemik UU Mata Uang
Pada masa itu, kue buah menjadi pusat perayaan Twelfth Night setiap 5 Januari. Kue tidak hanya dimakan, tetapi juga dimainkan. Di dalamnya diselipkan kacang dan kacang polong.
Siapa pun yang menemukannya akan dinobatkan sebagai Raja atau Ratu Malam Keduabelas. Tradisi ini menghadirkan kegembiraan, terutama bagi kaum pelayan, yang untuk sehari dapat merasakan peran simbolis sebagai bangsawan.
Namun euforia itu tak bertahan lama. Di era Ratu Victoria, perayaan Twelfth Night dinilai berlebihan dan kurang sejalan dengan nilai kesalehan Kristen.
Tradisi tersebut pun dihentikan. Meski begitu, kue buah tak pernah kehilangan tempat di hati masyarakat. Ia hanya berganti panggung—dari pesta Malam Keduabelas ke perayaan Natal itu sendiri.
Pada masa Victoria pula, kue Natal menemukan identitas barunya. Ia menjadi suguhan teh sore yang anggun, hadir dalam suasana rumah tangga yang rapi dan penuh tata krama. Tradisi menyembunyikan benda keberuntungan dialihkan ke Christmas pudding, sementara kue Natal tampil lebih bersih dan elegan.
Keluarga-keluarga berada mulai memperindah kue dengan lapisan almond, pasta gula, hingga royal icing—hiasan gula putih yang awalnya identik dengan keluarga kerajaan dan kue pernikahan bangsawan.
Dari sini, kue Natal juga menjadi simbol status. Semakin rumit hiasannya, semakin tinggi gengsi sang tuan rumah.
Kini, kue Natal hadir dalam beragam bentuk dan rasa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Namun kisah di baliknya tetap sama: sebuah perjalanan panjang dari hidangan sederhana pasca-puasa menuju simbol sukacita dan kebersamaan.
Dari bubur hangat di Abad Pertengahan hingga kue berlapis icing di meja Natal masa kini, kue Natal bukan sekadar penganan. Ia adalah saksi perubahan zaman—sepotong sejarah manis yang terus diwariskan, mengikat iman, tradisi, dan keluarga dalam perayaan kelahiran Sang Juru Selamat. (Sumber: Katolikku.com)***

