Destinasi Wisata Pantai Kota Jogo: Pemda Nagekeo Berusaha Menata, Sejumlah Pengunjung Justru ‘Merusakkannya’

redaksi - Jumat, 21 Juli 2023 13:46
Destinasi Wisata Pantai Kota Jogo: Pemda Nagekeo Berusaha Menata, Sejumlah Pengunjung Justru ‘Merusakkannya’Panorama Pantai Kota Jogo, Desa Anakoli, Kabupaten Nagekeo (sumber: Ricky)

KAMIS, 29 Juni 2023 lalu, saya bersama Ricky menyambangi Kantor Desa Anakoli, di Kecamatan Wolowae. 

Dari penginapan S@ntalum yang terletak di jantung ibu kota Kabupaten Nagekeo, jaraknya 22,8 km, dan dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dalam tempo 37 menit.

Tujuan utama kami adalah menemui dan mewancarai para wanita penenun Yobha Mite, kain tenun asli Kunu Toto.

Setelah menyelesaikan agenda utama tersebut, kami meluangkan waktu mengunjungi Destinasi Wisata Sejarah dan Alam, Pantai Kota Jogo. 

Dari pusat Kampung Anakoli, jaraknya terpaut hanya, 1,8 km, dan dapat ditempuh dalam tempo lima menit.

Waktu sekitar pukul 15.00 Wita. Terik mentari mulai surut. Suhu udara sangat cocok untuk jalan-jalan di kawasan pantai.

Ketika kami memasuki area wisata, pos jaga sedang tidak dijaga. Maksud hati ingin membeli tiket masuk pun batal seketika. 

Kami pun segera melenggang bebas masuk ke lokasi yang menurut Sareng Orin Bao (1969:158), pernah dijejaki seorang Kapten Portugis bernama Jogo Warilla (Diogo Warilla atau Diogo Pareira). 

Ilustrasi: Kapal Portugis abad ke-17. Diperkirakan dengan kapal jenis ini Jogo Warilla berlabuh di Pantai Kota Jogo pada tahun 1640 M. (Sumber: www.pinterest.com).

Kota Jogo dan Jogo Warila

Disebutkan, setelah bertolak dari Malaka dan menyinggahi Nusa Jawa, Jogo Warilla dan rombongannya  tidak disambut dengan ramah.

Oleh karena itu ia melanjutkan pengembaraan ke arah timur Nusantara, dan  ke Djoempandang (sekarang:Makasar),  di Sulawesi dekat kota Makasar sekarang. 

Dari Sulawesi ia kemudian bertolak ke Nusa Nipa (Flores). Pada 1640, ia  berlabuh dan mendirikan sebuah pemukiman di pantai yang sekarang disebut Kota Jogo. 

Pemukiman Kota Jogo, jelas Sareng Orin bao, dibangun sebagai kubu pertahanan untuk melindungi penduduk puak (klan) Kowe Jawa (Sikka) dari ancaman dan serangan Muslim Gowa, Makasar yang datang dari utara, dan Bajo dan Bima yang datang dari arah barat.  

Pada pertengahan abad ke-17 M, Kowe Jawa adalah sebuah puak yang disegani, termasuk oleh puak (klan) Soge Lio. 

Kowe Jawa memiliki wilayah yang luas, meliputi  hampir  separuh wilayah Nusa Nipa. 

Luas wilayah Nusa Nipa digambarkan dengan ungkapan yang berbunyi sebagai berikut:  Nusa Nipa, Nusa Nipa’ - Ulu leja geju, eko leja mele; Nusa Nipa, Nusa Nipa - Ulu Kowe Djawa, eko Loka Lambo Bajo Bima.” Nusa Nipa, Nusa Nipa, Kepala di tempat matahari terbit di ufuk timur; dan Ekor di tempat matahari terbenam di barat, di Loka Lambo, Bajo Bima’.

Namun, dalam konteks misi Katolik, Jogo Warila dan Pantai Kota Jogo memiliki makna sangat penting. 

Sebab, Jogo Warila diketahui adalah tokoh awam Portugis yang gigih mendukung karya misi para imam Dominikan di wilayah Flores Tengah. 

Dikatakan, setelah bermukim beberapa lama di Kota Jogo, ia  bertolak ke Sape dan mendirikan komunitas Katolik di sana. 

Dari Sape, Jogo Warilla bertolak ke Nusa Eru Mbinge atau Nusa Ende (Pulau Ende) dan mendirikan Kota Jogo di pulau tersebut yang menurut tradisi lisan sudah ‘tenggelam’ alias tak dapat diketahui di mana persis letaknya. 

Setelah itu, Jogo Warilla juga mendirikan Kota Kemo. 

Kemudian ia menyisir daerah pesisir Flores bagian selatan ke arah Kowe Jawa (Sikka) hingga ke Nusa Timu (Pulau Timor).

Penulis dan Ricky di depan Papan Nama ‘Pantai Kota Jogo. Suasana sekitarnnya memperlihatkan bahwa kawasan ini sedang ditata. (Foto Selfie:  Ricky).

Kota Jogo ditata

Ketika kami memasuki Pantai Kota Jogo, tampak sangat kentara bahwa kawasan yang dinobatkan sebagai salah satu destinasi wisata itu sedang giat ditata.

Jalan masuk  memang belum diaspal, tetapi sudah mulai lapisi batu cadas yang diratakan menggunakan alat berat

 Di sisi kiri dan kalan jalan masuk, tampak berjejer pohon Koli (Lontar) berukuran besar yang tampak layu, karena sengaja dicabut entah dari mana lalu ditanam di situ.  

Di sana sini, tampak gundukan tanah  yang belum tuntas ditebarkan. 

Tentu saja itu adalah pekerjaan besar yang butuh banyak biaya. Sebab, area itu adalah rawa-rawa. Perlu banyak tanah dan batu agar bisa menjadi padat dan tidak tergenang air payau. 

Ketika kami bergerak lebih ke dalam, kami bertemu sebuah papan nama berukuran besar, kira 5 x 7 m, bertuliskan: ‘Wisata Pantai Kota Jogo’. 

Disamping tulisan itu, terpatri Logo Bank BRI.

Salah satu sumber menerangkan, logo bank besar itu sengaja dipajang sebagai ‘benefit’ karena Ban BRI telah mengucur dana CSR (Corporate Social Responsility) senilai Rp 500 juta untuk mendukung Pemda Nagekeo menata pantai bersejarah dan panoramik itu.

Sementara itu, sebagaimana dilansir dari Youtube Tribun.com,  anggota DPRD Nagekeo, Servasius Podhi mengatakan bahwa Destinasi Wisata Kota Jogo telah dibangun Pemerintah Daerah 9pemda) Kabupaten Nagekeo dengan dana APBD, belum dari APBN. 

Namun, Servas tidak merinci berapa APBD Pemda Nagekeo yang telah digelontorkan untuk penataan Destasinasi Wisata Pantai Kota Jogo.

Pada sisi lain Servas berharap pemerintah dan masyarakat, juga Partai Perindo dapat ikut mengembangkan potensi wisata di pesisir pantai utara Nagekeo itu.

 

 Dermata atau Jembatan Pelangi Pantai Kota Jogo

Kemudian, kami pun meniti  Dermata atau Jembatan Pelangi yang membelah hutan bakau dan menjorok sekitar 100 meter ke dalam laut. 

Eksotis sekali pemandangan dari jembatan warna-warni itu.

Setelah menikmati keindahan pemandangan laut dari atas jembatan pelangi, kami begerak ke arah barat, menyusuri tepi sebuah lapangan luas yang di sisi utaranya berdiri dua rumah bambu tempat untuk menjajakan makanan dan minuman dan berbagai sovenir. 

Di sebuah rumah bambu yang lebih besar, tampak seorang wanita menjajakan makanan dan minuman ringan. Rumah bambu yang satunya lagi tampak tak dijaga sore itu.

Meski demikian keadaannya, setidaknya Pantai Kota Joga sudah ada sentuhan penataan.

Lebih ke arah barat, ada rumah untuk berganti perkaian, lengkap dengan toilet.  Sayangnya,  di belakang rumah itu tampak sampah-sampah plastik teronggok begitu saja di sana. Rupanya, penanganan sampah belum menjadi perhatian utama.

Bergerak lagi ke barat, kami menemukan lima pondok dari bambu beratapkan ilalang, tempat para wisatawan bisa duduk kongkow sembari menikmati semilir angin pantai. 

Sore itu, tampak ada tiga ibu pedagang kecil menjanjkan makanan dan minuman ringan. Mereka tampaknya berharap bahwa puluhan pengunjung yang datang berkunjung sore hari itu bisa membeli dagangan mereka.

Tetapi, sejauh pantauan saya, selama berada di sana sekitar dua jam, tak ada pengunjung yang menghapiri lapak mereka. Sebab para pengunjung  membawa bekal makanan dan minuman sendiri. Saya dan Ricky pun begitu.

Sebagian besar pengujung sore itu memilih duduk berselonjor di bawah naungan pohon untuk menikmati bekal mereka.

Kami memilih rumah bambu paling ujung, dekat dinding batu putih yang menjadi salah satu ‘maskot’ Destinasi Wisata Pantai Kota Jogo.

Walau rumah bambu tampak mulai lapuk, kami cukup nyaman duduk mengobrol di situ. 

Sambil menikmati bekal nasi bungkus yang kami bawa dari Danga, kami bisa memandang jauh ke arah timur, di mana laut, bukit, tanjung dan teluk berhutan bakau menyatu seperti sebuah lukisan pemandangan pantai yang menakjubkan.

Hemat saya, ini adalah titik terbaik untuk menikmati panorama Pantai Kota Jogo.

‘Dinding Batu Putih Nan Indah’

Dari Pondok Bambu tempat kami duduk bersantai, kami bergerak lagi ke arah barat. 

Kata Ricky, “di sana kita dapat melihat dinding batu putih yang sangat indah, Bang. Itulah seperti ‘maskot’ dari tempat wisata ini.”

Saya pun menuruti ajakan Ricky, karena saya sendiri pernah melihat foto-foto perihal dinding batu nan indah itu pada beberapa unggahan media sosial.

Dinding batu putih Patai Kota Jogo (Foto: Ricky).

Setelah tiba di sana, kami memang menyaksikan dinding batu putih setinggi kurang lebih 20-an meter, dan memanjang sekitar 250 meter panjang. 

Sungguh sebuah sajian alam yang mempesona. 

Ketika kami mengarahkan pandangan ke laut, tampak dua gundukan ‘pulau kecil’ batu.

Konon, ‘pulau batu’ itu adalah ‘jelmaan’ dua dua bersaudara, Lelu dan Ngole yang mandi dan tenggelam di Tiwu/Poma Toto, sebuah telaga dekat Kampung Toto yang terletak ± 1000 meter dpl.

Kampung Toto adalah kampung induk, berada persis di tengah-tengah pulau Flores, baik diukur dari arah timur-barat, maupun dari arah utara-selatan. Berdiri di kampung itu seseorang  dapat melihat baik laut Flores maupun laut Sawu di Selatan bisa dilihat dengan terang dari atas puncak itu. 

Oleh warga setempat, Poma Toto adalah ‘ubun-ubun’ laut. Itu sebabnya, Lelu dan Ngole yang tenggelam di sana, kemudian jasad mereka muncul berupa ‘patung batu’ di Laut Flores, tepatnya di dekat pantai Kota Jogo, tak jauh dari dinding batu putih, Kota Jogo.

Menurut Leganda Kunu Toto, dua gundukan batu yang saya lihat itu adalah atau ‘patung batu’ jelmaan jasad dari Lelu dan Ngole yang tenggelam di Poma Toto.

Perihal ini, Sekdes Anakoli Frids Lakong, menurut cerita, posisi ‘patung Lelu dan Ngole’ itu sering berubah-ubah, kadang seperti sedang dalam posisi berdiri, kadang pula dalam posisi ‘tidur’.

Tentu saja legenda itu, menjadi narasi pemanis yang dapat membuat Pantai Kota Jogo semakin banyak diminati para pengunjung.

Vandalisme pada Dinding Batu Putih

Sangat disayangkan, ‘pesona unik’ Pantai Kota Jogo tidak dirawat oleh sebagian pengunjung. Betapa tidak, di sepajang dinding batu putih itu pula, kini terdapat coretan-coretan tangan usil. 

Coretan-coretan tersebut umumnya berupa nama pribadi dan nama kelompok. Ada pula yang mencantumkan asal atau nama ‘kelompok’ dari mana penulis itu berasal.

Tak usah di sebutkan di sini, nama-nama orang dan nama tempat yang tercantum di dinding batu itu.

Coretan pada dinding batu Kota Jogo, ulah para pengungjung yang tak bertanggung jawab (Foto: Ricky).

Namun, dari tulisan-tulisan itu dapat disimpulkan bahwa pelaku vandalisme, tak lain para pengunjung atau wisatawan lokal.

Rupanya, mereka ingin mengumumkan kepada para pengujung  berikutnya, bahwa ‘saya pernah hadir di tempat ini’. 

Sebuah kebanggaan semu, ekspresi keterbelakangan literasi yang memalukan.

Demikianlah, kondisi terkini Destinasi Wisata Kota Jogo. 

Di satu sisi Pemda Nagekeo dengan segala keterbatasan anggarannya karena APBD yang hanya sekitar 30-an milyar rupiah per tahun, berjuang untuk menatanya, tetapi di sisi lain para pengujung justru ramai-ramai merusakkannya. Menyedihkan sekali! ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS