Ekosistem Sekolah yang Kolaboratif Jadi Prasyarat Dasar Implementasi MBKM dan PSP

redaksi - Senin, 16 Mei 2022 10:54
Ekosistem Sekolah yang Kolaboratif Jadi  Prasyarat Dasar Implementasi MBKM dan PSPDr. Mantovanny Tapung (sumber: Jivansi)

RUTENG (Floresku.com) - Ekosistem sekolah yang kolaboratif menjadi prasyarat dasar (optio fundamentalis) implementasi Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka (MBKM) dan Program Sekolah Penggerak (PSP). Tanpa ada ekosistem yang kolaboratif, inspiratif dan sinergis, maka program pemerintah yang baik ini akan mengalami kendala yang tidak sedikit.

Demikian disampaikan oleh, Dr Mantovanny Tapung selaku Dosen Unika St. Paulus Ruteng pada sesi seminar yang diselenggarakan Prodi PGSD, pada Sabtu, 14 Mei 2022 dengan tajuk: “Membangun Pembelajaran yang Kontekstual dan Inspiratif Pasca Pandemi Covid-19”.

Seminar yang diadakan dalam rangka merayakan hari Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional ini, dihadiri oleh 250 peserta, dari kalangan mahasiswa, dosen, para guru dan pensiunan guru di Manggarai Raya. 

Hadir juga pemateri lain dalam seminar ini, yakni Drs. Eliterius Senen, M.Pd.

Dalam makalah berjudul: “Meladeni Tantangan Pasca Pandemi dan Revolusi 4.0 dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Merdeka Belajar Kurikulum Merdeka”, Mantovanny menegaskan MKBM dan PSP merupakan program ideal dan menjadi langkah strategis dari pemerintah pusat.

Program ini mesti ditanggapi serius oleh pemerintah daerah sampai pada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Satuan Pendidikan, terkait dengan upaya memitigasi beberapa fakta yang terjadi, seperti:

Pertama, mengatasi masalah ‘kehilangan pengetahuan akademik’ (Learning loss) dan ‘kesenjangan pembelajaran’ (learning gap) sebagai dampak pandemi Covid-19. Rata-rata terjadi 0,44 sampai dengan 0,47 peren terjadi learning loss dan learning gap atau kehilangan 5 sampai 6 bulan pembelajaran per tahun akibat pembelajaran jarak jaruh (daring atau blended learning). 

Pada siswa miskin, 0,8 sampai dengan 1,3 persen atau setara dengan kehilangan masa pembelajaran 8 sampai dengan 12 bulan karena tidak mampu membeli perangkat digital dan pulsa, atau berada di tempat yang jauh dari jangkauan sinyal internet. Ketiadaan pengetahuan dan situasi kemiskinan, justru bisa memicu muncul pikiran fundamentalistik dan sikap serta tindakan radikalistik.

Kedua, kedua program ini menjadi ruang bagi sekolah untuk mempersiapkan siswa demi menghadapi lompatan cepat perkembangan peradaban teknologi informasi, teknologi digital, tuntutan revolusi 4.0 dengan berbagai varian disrupsinya, pembelajaran abad 21 yang menuntut keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif dan komunikatif, dan proyeksi masyarakat 5.0.

Ketiga, dua program ini bisa menjadi ajang mempersiapkan siswa untuk memenuhi tuntutan dunia usaha dan industry, di mana mereka bisa memiliki penghidupan yang layak dan berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Keempat, mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi krisis global dalam bidang ekonomi, lingkungan, moralitas, dan membangun komitmen untuk menjaga dan merawat keberlanjutan kehidupan di dunia ini, dll.

Kelima, mempersiapkan siswa untuk mengatasi krisis identitas personal dan entitas social budaya yang disebabkan oleh masifnya penyebaran paham liberalisme, konsumerisme, pragmatisme, hedonisme, dll).

Keenam, mencegah paham yang berusaha mengerogoti nasionalisme bangsa, seperti munculnya ideologi trans-nasionalisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sparatisme.

Nah bagaimana agar dua program idela dengan tujuan yang mulia ini tercapai? 

Doktor tamatan Universitas Pendidikan Indonesia dan Penerima Penghargaan LEPRID (Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia) tahun 2022 di bidang Literasi itu menyampaikan, sekolah harus siap menerima program-program ini, salah satunya adalah dengan mengupayakan ekosistem Sekolah yang kolaboratif. Ekosistem Sekolah yang kolaboratif dapat mulai dibangun dengan beberapa, yakni:

Pertama, membangun sistem pembelajaran dalam kurikulum, di mana pembelajarannya senantiasa dikaitkan dengan situasi dan kondisi kebutuhan masyarakat dan ciri khas wilayah sekitar.

Kedua, membudayakan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa dan memahami karateristik peserta didik.

Ketiga, membangun iklim belajar yang inspiratif dan kreatif dengan membentuk komunitas belajar guru-guru dan kepala sekolah yang inklusif serta memberi inpirasi bagi teman sejawat dengan membagi berbagai praktik baik.

Keempat, membentuk kolaborasi dan jejaring dengan narasumber pengaya projek: masyarakat, komunitas belajar (KKG, MGMP, KKKS, MKKS), perguruan tinggi, praktisi, komite pembelajaran, dan media massa.

Kelima, membuat dokumen hidup pembelajaran dari mulai sistem dari perencanaan, proses hingga penilaian yang berorientasi pada pengembangan potensi/kemampuan siswa yang berkelanjutan.

Keenam, menjadikan kegiatan intrakurikuler, ektra kurikuler dan ko-kurikuler (projek penguatan profil pelajar Pancasila) dengan sepenuh melibatkan siswa dari dimensi kognitif, afektif, psikomotor dan karakter. 

Ketujuh, sistem pendokumentasian pendidikan berjejaring dan berbasis web demii membantu proses akreditasi dan akuntabilitas proses pendidikan di setiap satuan pendidikan. (Jivansi).***

RELATED NEWS