Garuda Bangkitkan Nostalgia Study Tour ke Markas Boeing di Renton, ‘If Not Boeing, I’m Not Going’

redaksi - Rabu, 23 Juli 2025 19:40
Garuda Bangkitkan Nostalgia Study Tour ke Markas Boeing di Renton,  ‘If Not Boeing, I’m Not Going’Kenangan saat study tour do Boeing Campus, Agustus 2011 lalu. (sumber: Map)

KABAR tentang aksi korporasi PT Garuda Indonesia yang baru saja mengumumkan pembelian 50 pesawat Boeing—serangkaian model terbaru yang akan memperkuat armada nasional—tak hanya menggembirakan dari sisi bisnis dan kebanggaan bangsa, tetapi juga membangkitkan nostalgia mendalam bagi seorang dosen Akademi Sekretari dan Manajemen Saint Mary Jakarta, Maxi Ali Perajaka.

Bagi Maxi Ali, aksi korporasi Garuda Indonesia besar-besaran itu bukan sekadar berita di media, melainkan sebuah pintu  yang terbuka lebar menuju nostagia di tahun 2011, saat dirinya bersama 17 dosen Indonesia lainnya mengikuti program Community College Faculty and Administrator Program (CCFAP) dari Juni hingga Desember 2011. 

“Program ini  diselenggarakan oleh American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) dan Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) Republik Indonesia, dan disponsori oleh  Fulbright, dan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, bertujuan memperkuat kepemimpinan akademik dan pemahaman lintas budaya melalui pelatihan dan pengalaman langsung di kampus komunitas AS,” ungkap Maxi kepada Floresku, Rabu (23/7).

Menurut Maxi,   dalam program itu, ia dan ke-17 rekan dosen ditempatkan di dua kampus komunitas unggulan di Amerika Serikat yaitu  Highline Community College di Des Moines, Seattle, Washington, dan Kapiolani Community College di Honolulu, Hawaii.

Jejak Perjalanan Intelektual dan Budaya

Program ini bukan sekadar pelatihan biasa. Para dosen—yang berasal dari sembilan lembaga pendidikan tinggi vokasi dan universitas ternama di Indonesia, yaitu Akademi Sekretari dan Manajemen Saint Mary Jakarta, Bina Insani Bekasi, Politeknik Negeri Medan, Politeknik Negeri Bandung, IPB University Bogor, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Negeri Malang, Politeknik Negeri Bali, dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto—mendapat kesempatan langka untuk merasakan sistem pendidikan Amerika, memperluas wawasan lintas budaya, dan menyelami inovasi teknologi dari pusat-pusat korporasi global.

  • https://floresku.com/read/pembelian-50-pesawat-boeing-oleh-garuda-dinilai-tepat-secara-teknis-dan-bisnis

Pada akhir Agustus 2011, masih dalam kerangka CCFAP, rombongan yang juga disertai oleh sejumlah mahasiswa internasional dari Uni Emirat Arab, Mesir, Afrika Selatan, India, dan negara lainnya, mengikuti study tour ke tiga perusahaan raksasa dunia yang bermarkas di Negara Bagian Washington: Boeing di Renton, Microsoft di Redmond, dan Starbucks di pusat kota Seattle.

Bagi Maxi Ali, kunjungan ke Boeing Renton Plant adalah puncak dari seluruh rangkaian pembelajaran lintas budaya dan teknologi yang ia alami. 

Boeing Campus: Pabrik pesawat Boeing di Renton, WA (Sumber: Boeing). 

Di sanalah, dalam hamparan kompleks industri seluas lebih dari 400 hektare, para dosen melihat langsung bagaimana pesawat-pesawat tercanggih di dunia dirancang, diproduksi, dan disempurnakan oleh ribuan teknisi dari seluruh penjuru dunia.

Dreamliner dan Talenta Indonesia di Jantung Inovasi Dunia

Tahun 2011 adalah masa di mana Boeing sedang intensif memproduksi seri Boeing 787 Dreamliner, pesawat generasi baru yang dikenal dengan efisiensi bahan bakar tinggi, kenyamanan kabin maksimal, dan penggunaan material komposit mutakhir. 

Dalam kunjungan itu, para dosen tidak hanya melihat jalur produksi dan sistem robotik yang presisi, tetapi juga berinteraksi dengan para pekerja dan engineer dari berbagai negara. 

Sebuah fakta yang membuat bangga: setidaknya 30 orang tenaga ahli dari Indonesia bekerja di Boeing saat itu—sebuah representasi bahwa anak bangsa mampu bersaing dan berkontribusi di panggung global.

“Di setiap sudut ruang kerja, tampak disiplin, kerja tim, dan ketepatan waktu menjadi budaya kerja yang tak bisa ditawar,” ujar Maxi mengenang. 

“Kami dijelaskan bagaimana manajemen mutu, keselamatan, dan inovasi dikombinasikan dalam setiap proses. Kami seperti melihat masa depan dari jarak dekat.”

Yang paling membekas dari kunjungan itu adalah slogan yang dikumandangkan oleh pemandu tur, seorang wanita paruh baya yang dengan bangga berkata: “If not Boeing, I’m not going.” 

Kalimat itu bukan sekadar permainan kata, tapi cerminan dari reputasi dan kepercayaan dunia terhadap Boeing, serta semangat kompetitif untuk selalu menjadi yang terdepan dalam industri penerbangan.

Dari Renton ke Redmond dan Starbucks: Belajar Kepemimpinan Lintas Budaya

Studi tur itu tidak berhenti di Renton. Rombongan dosen dan mahasiswa internasional juga mengunjungi Markas Besar Microsoft di Redmond, pusat pengembangan perangkat lunak terbesar di dunia. 

Di sana, mereka diajak menelusuri sejarah dan budaya perusahaan yang mendunia, serta menyaksikan bagaimana inovasi teknologi informasi dijalankan dengan semangat kolaboratif.

Sementara di markas Starbucks di jantung kota Seattle, para peserta belajar tentang filosofi pelayanan pelanggan, penciptaan suasana kerja yang hangat, serta model bisnis yang menggabungkan komersialisme dengan keberlanjutan sosial. 

Starbucks membuktikan bahwa bahkan dari secangkir kopi, bisa lahir jejaring global yang mengubah cara orang berinteraksi dan menghargai kualitas hidup.

Menanam Kembali Nilai-Nilai Global di Tanah Air

Sekembalinya dari program CCFAP dan studi tur tersebut, Maxi dan rekan-rekannya membawa pulang bukan hanya pengetahuan, tapi juga cara pandang baru. 

Ia, misalnya, kemudian menjadi penggerak sejumlah program pengembangan profesionalisme dosen di Akademi Sekretari dan Manajemen Saint Mary, serta terlibat dalam pelatihan kepemimpinan berbasis nilai dan etika kerja global.

“Yang kami pelajari dari Boeing bukan hanya teknologi, tapi etos: menghormati waktu, bekerja untuk kemajuan bersama, dan terus memperbaiki diri,” ujar Maxi. 

“Kami juga sadar, Indonesia butuh sistem pendidikan vokasi yang berpijak pada integritas, bukan sekadar teori atau ijazah.”

Garuda dan Masa Depan Kedirgantaraan Indonesia

Kini, lebih dari satu dekade sejak kunjungan ke Renton, kabar pembelian 50 pesawat Boeing oleh Garuda Indonesia seolah menjadi penanda bahwa misi jangka panjang bangsa ini untuk menjadi pemain utama dalam industri penerbangan belum pupus.

 Pembelian tersebut tidak hanya akan memperkuat daya saing maskapai nasional, tetapi juga membuka peluang bagi generasi muda untuk belajar dan bekerja di sektor aviasi kelas dunia.

“Bagi saya, ini bukan sekadar aksi korporasi,” kata Maxi. “Ini adalah pengingat bahwa mimpi-mimpi besar bisa dicapai jika ada komitmen, kerja sama global, dan semangat belajar tiada henti. Saya pernah melihat sendiri bagaimana Boeing menggabungkan teknologi, manajemen, dan nilai kerja menjadi satu kekuatan besar. Indonesia bisa menuju ke sana—asal tidak cepat puas dan tetap menjaga etika kerja.”

Dari Kenangan ke Inspirasi

Nostalgia yang dihidupkan oleh kabar pembelian armada Garuda bukanlah romantisme belaka. Ia adalah pengingat bahwa pendidikan dan kolaborasi internasional adalah kunci kemajuan bangsa. 

Dari lorong-lorong pabrik Boeing yang teratur, ruang kreatif Microsoft yang inovatif, hingga aroma kopi Starbucks yang mendunia, para dosen Indonesia belajar bahwa dunia tidak mengenal batas jika kita punya visi, nilai, dan keberanian.

Kini, saat Garuda Indonesia memperkuat armadanya dengan pesawat-pesawat Boeing terbaru, semoga kita tidak hanya merayakan pencapaian ekonomi, tetapi juga membuka ruang lebih luas bagi anak-anak bangsa untuk terbang—bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam kualitas diri, ilmu, dan kontribusi bagi peradaban dunia.  (San)***

RELATED NEWS