Geliat Hariyadi, PKL 'Rujak dan Es Campur' di Kawasan Monumen Tsunami Kota Maumere

redaksi - Sabtu, 20 November 2021 12:31
Geliat Hariyadi,   PKL  'Rujak dan Es Campur' di  Kawasan Monumen Tsunami Kota MaumereHariyadi, perantau asal Madura, Jawa Timur, PKL Rujak dan Es Campur di kawasan Monumen Tsunname Kota Maumere. (sumber: Paul)

MAUMERE (Floresku.com) - Hariyadi. Kami pernah bertemu pada medio Agustus 2021 lalu. Cerita perjuangan hidup pria asal Madura itu pernah saya tulis untuk media ini pada 12 Agustus 2021 lalu. 

Setelah lebih dari tiga bulan secara kebetulan saya menjumpainya lagi. Kondisinya tak banyak berubah. Ia masih  ‘mangkal’ di trotoar jalan sisi utara,  Monument Tsunami, Maumere. 

Perangkat ‘bisnis’nya masih serupa, sebuah sepeda motor matic beat warna putih yang dimodifikasi sehinnga menjadi etalase dagangan, dan payung Parasol  sebagai pelindung dari sengatan mahatari. 

Kesibukannya juga masih sama, menjajakan dagangan rujak dan es campur demi menopang kebutuhan hidup  istri dan dua orang anaknya.

"Saya memang bertahan di tempat ini karena cukup ramai pembeli. Sehari bisa 6 jam tongkrong di sini untuk jualan", ujar Hariyadi sambil meracik rujak pesanan pembeli, Sabtu, 20 November 2021, siang.

Hariyadi mengaku bahwa ia dan istrinya sudah sepakat merantau untuk mengadu nasib di Kota Maumere  karena ada sanak keluarga yang sudah lama menetap di kkota ini. 

"Kami merasa betah tinggal di sini (Kota Maumere, red). Bahkan,  kedua anak kami pun lahirnya disini", kisahnya.

Dalam pertemuan pertama kami pada Agustus lalu, Hariyadi berkisah bahwa ini merupakan kali kedua dia merantau di Kota Maumere.

"Sebelumnya pada tahun 2004 ketika berusia 15 tahun, saya pernah bekerja  di sini sebagai penjual poster. Waktu itu saya diajak oleh kerabat", tuturnya.

Sebelum merantau di Pulau Flores untuk yang kedua kali, ia sempat berkiprah merajut nasib merantau di Pulau Dewata, Bali dengan membawa serta istri dan dua orang anaknya. Di sana ia kembali menjual poster yang ia peroleh dari kerabatnya melalui metode kerja secara tim.

"Di Bali saya bekerja sebagai penjual poster bersama kerabat sekitar 4 bulan. Awal tahun 2021, saya memutuskan kembali lagi ke Flores berserta istri dan dua orang anak. Sampai di sini saya coba merintis usaha rujak," jelasnya.

Hariyadi mengaku sebelum menjadi pedagang kaki lima (PKL), Hariyadi mengawali usahanya sebagai penjual aksesoris handphone di pasar tingkat. Lantaran terkendala modal seadanya, usahanya itu pun mandek. 

Dari situlah Ia berbalik arah dan memutuskan untuk menjadi pedagang rujak dan es campur pada trotoar jalan yang bertahan hingga saat ini.

Sebagai seorang PKL, Hariyadi mengaku tetap semangat dan pantang menyerah demi menjaga agar api di dapur tetap menyala kendati nafkah yang diperoleh terbilang seadanya. Dalam sehari, omset pendapatan yang berhasil masuk kantong berkisar Rp.200.000. 

Menurutnya, perolehan ini jauh lebih baik ketimbang saat diberlakukan kebijakan PPKM secara ketat oleh Pemerintah Kabupaten Sikka akibat pandemi Covid-19 yang kian mewabah.

"Yah, cukup buat kebutuhan hidup sehari-hari dan bayar sewa kontrakan. Mau gimana pak, namanya juga usaha mencari duit", katanya seraya tersenyum energik.

Hariyadi mengaku ‘beruntung’ karena kehadiran para PKL yang memanfaatkan trotoar jalan di Kota Maumere sebagai tempat berdagang tak dicekal Satpol Pp. Dengan begitu ia dan para pelaku PKL lainnya bisa berdagang dengan leluasa.

"Selama saya berdagang tidak pernah diusir. Malah sesekali mereka juga beli dagangan saya", sahutnya cekikikan. (Paul Kebelen).

Editor: redaksi

RELATED NEWS