Geliat ‘Petani Madu Hutan’ Leworok, Nyawa Jadi Taruhannya
redaksi - Rabu, 06 Oktober 2021 12:20
LARANTUKA (Floresku.com) -Madu, tentu saja manis di lidah saat dikecapi. Madu juga disebut sebagai salah satu jenis makanan paling bergizi.
Namun, bukan hanya itu, madu ternyata bisa membuat dompet seseorang jadi tebal, karena dipenuhi uang. Soalnya, madu juga punya nilai ekonomis tinggi. Bahkan, seiring dengan bergulirnya waktu, harga madu kian meroket baik di pasar tradisional maupun di pusat-pusat perbelanjaan seluruh pelosok negeri.
Dahulu, hutan di sekitar Kampung Leworok, Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur (Flotim), itu kaya dengan madu hutan. Oleh karena itu banyak warga di sana yang bermata pencaharian sebagai petani madu hutan.
Berdasarkan data penduduk yang diperoleh media floresku.com dari Kantor Desa Leraboleng, jumlah keseluruhan penduduk disana sebanyak1548 jiwa dengan klasifikasi penduduk laki-laki sebanyak 754 jiwa.
Jumlah penduduk laki-laki penyandang predikat usia produktif pada umumnya adalah petani madu hutan selain menggarap tanaman komoditi di kebun.
"Disini hampir semua laki-laki usia dewasa sampai lansia bekerja sebagai petani madu. Pokoknya yang bisa panjat pohon besar dan punya niat kerja", ujar Sekretaris Desa Leraboleng, Anis Kelen.

Menjajal hutan dari Flores hingga Alor
Sejujurnya jumlah sarang lebah di hutan Desa Leraboleng terus menyusut dari masa ke masa. Makanya, belakangan ini, para petani madu Leworok kerap menjajal sampai ke sudut-sudut hutan daerah lainnya, mulai dari ujung barat Pulau Flores hingga ke Pulau Alor.
Hal ini terpaksa dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen yang semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Yang menarik, petani madu Kampung Leworok, Desa Leraboleng itu tidak serakah. Mereka sangat kompak dan menjalin kerja sama yang baik.
Pohon-pohon dengan sarang lebah di suatu kawasan hutan diidentifikasi lalu dibagi kepada para petani, sehingga produksi madu dapat dinikmati secara merata.
Madu yang dihasilkan kemudian dipasarkan sesuai dengan permintaan pelanggan. Pendapatan finansial dari jerih lelah usaha madu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, biaya sekolah anak, dan keperluan tak terduga lainnya.
"Tiga bulan kami ke Alor atau ke Manggarai. Dalam satu tahun kami belum tahu berapa banyak madu yang kami hasilkan. Kadang dapat satu ton, kadang kurang. Tergantung berapa banyak madu yang siap panen", ujar Bruno Kelen, salah satu petani madu hutan di Kampung Leworok, Desa Leraboleng.
Pernah bermitra dengan Yayasan Sahabat Cinta
Beberapa tahun lalu petani-petani madu di sana sempat bermitra bersama Yayasan Sahabat Cipta, sebuah yayasan yang menjembatani produksi madu dari Leraboleng menuju salah satu perusahaan Kosmetik di Surabaya. Ketika diterpa pandemi Covid 19, hubungan ‘cinta segitiga’ antara mereka berakhir, putus.
Lantaran terjebak dalam badai Covid 19, mereka harus memutar otak agar keluar dari zona keterpurukan. Madu yang didistribusikan kala itu hanya mencakup beberapa wilayah di Kabupaten Flores Timur dalam kemasan botol kecil, botol sedang, juga jerigen dari berbagai ukuran tergantung pesanan pelanggan.
Kendati demikian, pelanggan setia dari beberapa daerah sekitar sering menjamah dan memesan madu asli dari petani Leraboleng mengingat imun tubuh saat pendemi perlu dijaga, salah satunya adalah mengkonsumsi madu asli.
Tantangan besar
Kini, petani madu hutan Kampung Leworok, Desa Leraboleng berahadapan dengan tantangan yang cukup besar. Tantangan pertama adalah jumlah sarang lebah di Kawasan hutan yang kian menyusut.
Tantangan berikutnya adalah soal pemasaran hasil produksi madu hutan. Pandemi Covid-19 yang bermuara pada putusnya jalinan mitra antara petani madu Leraboleng dan Yayasan Sahabat Cipta musnahkan akses pemasaran strategis yaitu salah satu perusahan kosmetik yang ada di Surabaya.
Namun, tantangan-tantangan tersebut tak menyurutkan tekad dan semangat mereka untuk terus berkiprah seraya merajut usaha madu asli yang sudah berlangsung turun-temurun, selama puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.
"Usaha madu bisa bantu memenuhi kebutuhan ekonomi di rumah. Di daerah lain juga tetap pesan madu dari sini jadi bisa teratasi", ujar Bruno Kelen.
Nilai ekonomis
Sejak awal, kualitas keaslian madu hutan yang diproduksi di Kampung Leworok, Desa Leraboleng tetap terjaga. Madu diambil dari pohonnya secara langsung kemudian ditiriskan atau diperah dengan cara tradisional, tanpa dicampur bahan lainnya.
Harga madu yang dipasarkan bervariasi sesuai ukuran. Botol aqua kecil dibanderol dengan harga Rp. 65.000, ukuran sedang harganya Rp.100.000.
Selain dalam botol kemasan, tersedia juga dalam kemasan jeriken tetapi harganya dihitung per kilo gram. Sesuai dengan takaran, satu kilo madu asli sama dengan satu botol bir bintang yang dibanderol seharga Rp.100.000.
Sepatutnya, masyarakat petani madu di Kampung Leworok Desa Leraboleng merasa bersyukur lantaran usaha madu hutan mampu menunjang ekonomi rumah tangganya.
Urusan biaya anak sekolah dan biaya lainnya mampu ditopang dari unit usaha madu yang telah berjalan lama.
"Syukur juga karena dari madu kebutuhan sekolah anak bisa dipenuhi. Kalau pendapatan perbulan saya belum tahu pasti tetapi intinya bisa terbantu", tandas Bruno Kelen.

Perhatian Pemdes Leraboleng
Memasuki tahun 2020, Pemerintah Desa Leraboleng mulai menaruh perhatian serius setelah para petani madu hutan terhimpun dalam Unit Pengelola Usaha (UPH) yang diberi nama Kelompok 'Romerik'.
Nama Kelompok 'Romerik' identik dengan simbol budaya Leworok. Romerik juga digunakan untuk brand madu hutan yang diproduksi para petani Kampung Leworok, Desa Leraboleng. Namun hingga kini proses perijinan untuk mendapatkan sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum rampung.
Selain upaya menghidupkan semangat digdaya masyarakat petani melalui kelompok Romerik, Pemdes juga telah mengajukan proposal ke Dinas Kehutanan. Hasilnya, pengadaan bantuan berupa alat pengukur suhu, pengukur kadar air dan penyaring, berhasil mendarat di ruangan UPH.
"Sudah direspon pihak Dinas Kehutanan setelah kami ajukan proposal. Saat ini memang masih terkendala modal juga. Pemdes belum bisa mengucurkan dana untuk modal mengingat sebagian besar dana desa masuk dalam BLT", papar Sekdes Leraboleng.
Pertaruhkan nyawa
Petani madu Desa Leraboleng terkenal lincah dan cakap memanjat pohon berukuran besar dengan ketinggian sekitar 60 Meter. Namun, dibalik kecakapan memanjat, bermata pencaharian seperti ini sangat beresiko kehilangan nyawa.
Alat bantu yang dipakai adalah potongan-potongan bambu sehingga memudahkan mereka saat berpindah dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Lebih-lebih dahan pohon berukuran raksasa, bambu bisa dijadikan solusi jitu.
Tak ada baju pengaman dan alat bantu lainnya untuk menanggulangi resiko kecelakaan. Mereka hanya membalut tubuhnya dengan kaos oblong kumal lengan panjang dan celana karet biasa.
Dengan perlengkapan seadanya seperti itu, nyawa memang jadi tahruhan. Sebab ketika berada di atas pohon tinggi, petani madu harus mampu bertahan dari sengatan dari puluhan ekor lebah yang geram karena ‘rumahnya’ diobrak-obrik orang tak dikenal.
"Kalau disengat oleh leba itu sudah pasti, dan kami sudah siap menghadapi itu. Kalau sudah di atas pohon kami biarkan saja tubuh kami tersengat lebah. Kalau bereaksi berlebihan, risikonya bisa terjatuh,"ujar Bruno.
Kecelakaan terjatuh dari pohon akibat serangan lebah memang sering terjadi.
Belum lama ini, warga Desa Leraboleng mengalami peristiwa duka. Insiden maut yang merenggut nyawa dua orang petani madu. Kedua petani itu mengalami nahas ketika keduanya hendak memetik madu hutan di atas pohon tinggi di seputaran Kecamatan Titehena. Oleh karena serangan lebah, apalagi saat itu sedang msim hujan, keduanya terjatuh dari atas pohon tinggi hingga maut merenggut nyawa.
Tanda salib jadi kekuatan utama
Kendati demikian, ikhtiar petani madu Leworok Desa Leraboleng tetap berteguh pada sang pencipta. Bagi mereka, hidup dan mati adalah sesuatu yang pasti diterima semua manusia.
Lebih dari itu, rahmat perlindungan dari Tuhan dan leluhur menyertai geliat para petani madu ditengah hutan, dan di atas pohon besar yang menjulang tinggi.
"Namanya, mencari hidup (baca:nafkah) kami harus siap terima resiko. Saat panjat pohon kami biasa awali dengan menandai diri dengan tanda salib. Itulah yang menjadi kekuatan utama bagi", katanya dengan mimik meyakinkan. (Paul Kebelen) ***