Hans Küng, Teolog Yang Pernah Bertanya 'Apakah Tuhan Ada?' Itu, Telah Berpulang, RIP
redaksi - Rabu, 07 April 2021 18:27Oleh: DR. Felix Baghi, SVD
Senin, 6 April 2021, dalam usia ke-93, dunia teologi Katholik dikejutkan dengan kepergian sang teolog besar dan kontroversial asal Swiss, Hans Küng. Ia meninggal di Tübingen tempat ia mengakhir masa hidupnya.
Mengapa kontroversi?
Pada awalnya, Küng adalah penasihat teologi Konsili Vatikan II. Namun tak lama berselang ia cekcok dengan Roma, khususnya dengan CDF (Congregation for the Doctrine of the Faith) di Vatikan hingga tahun 1979.
Teologi Küng dipandang terlampau jauh dari kebenaran ajaran iman Katholik; dan sebagai akibat, ia dikeluarkan dari jajaran teolog Katholik. Kuasa mengajarnya dicabut oleh Vatikan.
Hal esensial adalah pandangannya tentang doktrin infalibilitas lewat karyanya: “Infallible? An Inquiry,” yang terbit tahun 1971. CDF banyak membuktikan tuduhannya terhadap teolog ini dengan bertolak dari karya ini sebagai alasan untuk menendang beliau dari Vatikan.
Namun setelah tahun 1990, Küng akhirnya berkembang dengan pemikirannya tentang “global ethic,” suatu refleksi filosofis yang sangat universal tentang nilai-nilai etika dalam dunia agama pada umumnya.
Mengenang kepergiannya, Uskup Georg Bätzing, ketua konferensi para Uskup Jerman berkata: “With the death of Prof. Dr. Hans Küng, theological scholarship loses a renowned and controversial researcher.”
Dewasa ini, boleh jadi para penelitian teologi yang kontroversial dalam gereja Katholik perlu kembali kepada ajaran Hans Küng karena beliau adalah pemikir yang berani berbicara tentang kebenaran teologis di luar dari kungkungan doktrin teologi Katholik yang terlampau komprehensif itu.
Sebagai imam dan profesor, Hans Küng hanyalah seorang yang ingin mewartakan Sabda Allah dengan caranya sendiri. Ia hanya ingin membantu banyak orang beriman untuk lebih memahami kehendak Allah dengan baik.
Komitmen pada Ekumene dan Dialog Antar Agama
Di samping sebagai peletak dasar etika global, Hans Küng adalah penggerak ekumene, dialog interkultural dan dialog antar agama yang terkenal. Ia menyatukan pandangannya tentang etika global melalui perhatiannya pada perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.
Hans Küng memiliki keyakinan yang teguh dan tidak pernah goyah dengan pandangannya. Meskipun ada konflik, perbedaan pandangan, dan tensi yang tinggi dalam berteologi, ia tetap berdiri tegak sebagai teolog yang memilki komitmen untuk mewartakan Sabda Allah.
Baginya, dialog antar agama dengan niat memperjuangkan nilai-nilai etika secara global adalah cita-cita utama dalam hidupnya.
Tetap Setia Sebagai Imam Katholik
Küng lahir pada 19 Maret 1928 di Sursee, Lucerne - Swiss. Belajar teologi dan filsafat di Alma materku Univeristas Pontifical Gregoriana Roma dan ditahbiskan imam 1954.
Meskipun diasingkan dari kelompok para teolog Katholik yang berhaluan Vatikan, Küng tetap setia sebagai imam Katholik sampai akhir hidupnya. Ini kehebatannya.
Dalam karyanya “The Catholic Church: A Short History,” ia menulis “I affirm the papacy for the Catholic Church, but at the same time indefatigably call for a radical reform of it in accordance with the criterion of the Gospel.”
Suatu kesempatan di bulan September 2005, Paus Benediktus ke-16 mengundang beliau untuk berdialog secara khusus di Univeristas Tübingen. Keduanya adalah sahabat lama di tahun 1960an, namun haluan teologi yang berbeda membuat keduanya harus mengambil arah yang berlainan.
Tak lama setelah pertemuan itu, Küng merasa bahagia. Ia memiliki kesan bahwa pertemuan itu menyenangkan banyak pihak, penuh keakraban, dan sangat konstruktif dalam setiap percakapan. Namun, sebagai seorang pemikir dan teolog yang kritis, ia tetap mengkritik pandangan teologi Benediktus. Ia berkata bahwa teologi Benediktus masih bercokol dengan “a medieval ideal papacy,” yaitu semacam teologi lama yang usang.
Apakah Tuhan Ada?
Terlepas dari semua kontroversi teolognya, saya hanya menyorot aspek kecil dari seluruh pandangannya dari perspektif filsafat. Pada tahun 1978 penerbit R Piper dan Co. Verlag di Munchen menerbitkan karya filosofis Küng, yang hemat saya karya ini sangat penting untuk telaah filsafat ketuhanan dewasa ini. Karya itu berjudul “Existiert Gott?” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh William Collins dalam judul “Does God Exist? An answer for today.” Karya ini sejatinya direfleksikan bersamaan dengan karya penting lain “On Being a Christian” mengingat aliran argumen dan arah nalar filosofis dan teologisnya yang searah.
Secara logis, pertanyaan tentang eksistensi Tuhan mengimplikasikan persoalan mendasar: siapa itu Tuhan? Hans Küng menyadari hal ini secara sangat baik. Karena itu karya “Does God Exist?” memberikan jawaban atas persoalan tersebut sambil mengajukan pendasaran-pendasaran filosofis dan teologis yang meyakinkan.
Bagi yang beriman (believers), afirmasi bahwa “Tuhan ada” memiliki konsekuensi yang besar dalam hidupnya di dunia ini. Bagi yang tak beriman (unbelievers), negasi bahwa “Tuhan tidak ada” juga memiliki alasan yang mendasar untuk kehidupannya.
Persoalan mengafirmasi atau menegasi (ya atau tidak) dapat menimbulkan problem baru yaitu bahwa banyak orang berada dalam ambiguitas ya atau tidak. Orang menjadi Skeptik dan mendua. Ada yang meragukan kepercayaan atau iman tentang eksistensi Tuhan dan bahkan ada yang meragukan keraguan itu sendiri. Mereka bangga dengna keraguan itu.
Secara filosofos, ada kerinduan teologis akan kepastian tentang eksistensi Tuhan baik dari pihak Katholik, Protestan, Ortodox, Kekristenan, Yahudi. Demikian juga ada pembuktian akan ketidakpastian tentang eksistensi Tuhan dari kaum ateist.
Debat filosofis ini masih tetap hangat di era postmodern ini. Debat ini mengajak kita untuk kembali ke problem mendasar yaitu bukan hanya tentang persoalan Tuhan ada atau tidak tetapi pada persoalan fundamental: apakah agama-agama memiliki masa depan? Apakah orang memiliki moralitas tanpa melalui agama? Bukanlah ilmu pengetahuan itu valid? Bukankah agama itu bertumbuh dari hal-hal yang mitis-magis? Apakah Tuhan itu, seperti kritik Feuerbach, adalah proyeksi manusia?
Seperti kritik Marx, apakah agama adalah Candu masyarakat? Seperti sindiran Nietzsche, apakah Tuhan itu adalah kebencian dari orang-orang yang gagal? Seperti ocehan Freud, apakah Tuhan itu hanya ilusi bagi orang yang ingin hidup seperti anak kecil? Apakah ateisme memiliki bukti semuanya? Apakah nihilisme tidak dapat ditolak? Apakah para teolog kehabisan akal untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Apakah kita tetap beriman tanpa pembuktian rasional? Apakah cukup dengan percaya saja?
Semua persoalan ini tidak cukup dijawab hanya dengan argumen yang singkat. Meskipun jika Tuhan ada, sebagai orang beriman, kita tidak cukup hanya dengan percaya bahwa Tuhan itu sungguh hadir seperti pribadi tertentu atau Tuhan itu impersonal karena Ia transenden. Secara gegabah berkata bahwa Tuhan sungguh hadir sebagai persona, kita mungkin akan jatuh ke dalam sikap yang naif.
Demikianpun berkata bahwa Tuhan itu impersonal dan transenden, kita juga akan terperangkap ke dalam suatu abstraksi saja. Atau, apakah sebaiknya kita mengadopsi kebijaksanaan Buddhisme dari timur yaitu mengambil sikap diam di depan yang transenden?
Mengapa diskursus tentang Tuhan dari para filsuf tidak pernah berujung? Mengapa tidak lebih baik kita beriman pada Tuhan seperti yang diwartakan Kitab Suci ? Mengapa kita masih mau beriman? Mengapa semuanya harus di dalam Tuhan dan bukanya cukup dengan hidup segalanya dari dunia ini? Mengapa sebagai orang beriman kita harus mempertegas keyakinan kita tentang politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan menambah unsur kepercayaan iman di dalam semuanya? Apa artinya beriman di era post sekular seperti sekarang ?
Kita sebaiknya realistis dengan keadaan sekarang. Ateisme semakin gencar menyerang kita. Nihilisme bertumbuh subur. Agnostisisme menyebar di mana-mana. Kita dituntut untuk membela diri atau kita harus mengambil sikap berdiam diri?
Boleh jadi, secara historis pemantik awal revolusi Prancis membuka banyak kemungkinan yang lebih leluasa untuk mempertanyakan segalanya misalnya dengan munculnya teori tentang relativisme, kebangkitan ilmu alam, politik, epistemologi, psikoanalisa, sejarah dan kritisisme agama. Bagaimana semuanya dijawab dalam satu mata rantai pemikiran?
Rasio atau Iman?
Semua persoalan di atas membutuhkan pisau analisa yang tajam dan diskursus rasional yang brilian. Karena itu, kiranya Karya Hans Küng “Does God Exist? An Answer for Today” dapat membantu kita untuk meneropong semunya dari lensa filosofis yang cukup memadai.
Hans Küng mengawalinya dengan persoalan “Reason or Faith?” untuk meneropong eksitensi Tuhan. Premis dasarnya adalah proposisi filosofis Descartes tentang “cogito”: “I think; do I therefore Exist?
Pada awalnya Ia meneliti filsafat Descartes tentang kepastian matematis sebagai keniscayaan metodis untuk sampai pada keyakinan pribadi yang teguh tentang suatu kebenaran. Keyakinan itu dijadikan sebagai basis rasional tentang kebenaran iman. Secara aposteriori, kebenaran iman digali dari kepastian tentang diri menuju kepada kepastian tentang Tuhan. Di sini, Hans Küng tampak melihat aspek “claritas” sebagai ideal teologi sambil tetap terbuka terhadap warisan teologis Aquinas dan segala konsekuensinya.
Premis lain yang dipakai Hans Küng adalah filsafat Blaise Pascal tentang kepercayaan sebagai dasar eksistensi manusia: “I believe; do I therefore Exist?” Di sini, dengan melihat relativitas kepastian matematis, Hans Küng menukik masuk ke logika hati sebagai dasar iman dan karena itu ia menulis “faith as the basis of reason.”
Yang hendak dijelaskan Hans Küng adalah “credible faith” yang dibangun secara jelas di atas prinsip “reasonable reason.” Tujuannya adalah melawan segala bentuk rasionalisme iman dengan pisau rasionalitas itu sendiri. Di sini, diskusi filosofis dan epistemologis menjadi taruhan dalam filsafat ketuhanan. Persoalan yang mendasar adalah bagaimana menjelaskan dengan baik distinksi antara yang empiris dan yang mistik.
Tentu dengan tidak masuk terlalu jauh dalam kerumitan argumentasi filsafat dan epistemologi, kita tidak bermaksud menyederhanakan pandangan Hans Küng. Yang hendak kita lihat adalah bagaimana ia berusaha mengambangkan traktat filsafat ketuhanan untuk memperluas “The new understanding of God.”
Untuk hal ini Ia membedah pandangan panteisme Hegel dan tantangan antropologi ateisme feuerbach, agama sebagai candu masyarakat a la Marx, agama sebagai ilusi infantil a la Freud serta kebangkitan nihilisme Nietzsche konsekuensi ateisme, sambil melihat sejarah perkembangan ide tentang Tuhan dalam filsafat.
Dalam diskursus teologis dan filosofisnya Hans Küng akhirnya menegaskan iman atau afirmasi tentang eksistensi Tuhan sebagai alternatif ateisme dan nihilisme. Untuk hal ini, ia memberikan sejumlah pembuktian tentang eksistensi Tuhan sebagai suatu keterbukaan baru (new openess) lewat suatu hipotese menuju kepada afirmasi tentang eksistensi Tuhan (God as reality) yang diakui sebagai kebenaran.
Secara filosofis, membuktikan bahwa ‘Allah itu ada’ (Yes to God) atau bahwa ‘Allah itu tidak ada’ (No to God) adalah suatu kemungkinan. Jika Allah ada, maka keberadaan Allah adalah suatu hal yang diyakini sebagai kebenaran. Karena itu percaya kepada Allah bagi orang beriman adalah “ultimately justified fundamental trust,” yang pada gilirannya orang-orang beriman itu harus membenarkan hal ini sebagai “rationally justified,” sebab dengan demikian mereka meyakini sedalam-dalamnya bahwa “belief in God as gift.”
Allah Orang Kristen
Pada bagian akhir “Does God Exist?” Hans Küng kembali kepada iman dan kehidupannya sebagai seorang imam, teolog dan pemikir yang beriman teguh. Ia berbicara tentang kebenaran Wahyu melalui afirmasi tentang Allah Orang Kristen. Sentral perhatiannya adalah “The God of The Bible” sebagai Allah yang hidup, Pembebas, Allah yang satu dan sama, dan Allah Yesus Kristus. Dengan prinsip teologi yang benar ia membedah Allah Trinitaris yaitu Allah sebagai Bapak kaum yang berdosa, Yesus sebagai Putera Allah yang membawa kasih yang nyata, dan Allah Roh Kudus dalam kesatuan dengan Bapak dan Putera.
Sekali lagi, kita hanya bisa memahami keseluruhan teologi dan filsafat ketuhanan a la Hans Küng tersebut jika kita juga mengerti dengan baik karya awalnya “The Church” dan karya penting lain “On Being a Christian” sebagai kesatuan pemahaman yangij lebih baik. Apa yang dibicarakan di sini hanyalah sentilan kecil untuk mengingat beliau yang telah meninggalkan kita secara damai. (*)
*DR. Felix Baghi, dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero - Maumere, Flores.