Hari Anak Perempuan Internasional, Berlalu Biasa-Biasa Saja

redaksi - Senin, 11 Oktober 2021 20:16
Hari Anak Perempuan Internasional, Berlalu Biasa-Biasa SajaAnak-anak perempuan NTT membawakan tarian tradisional (sumber: Istimewa)

JAKARTA (Floresku.com) - Sejak tahun 2012, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan  11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Internasional (HAPI).  atau Internasional Day Of The Girl Child (IDG).  Maksdunya adalah untuk mendukung dan membuka  lebih banyak kesempatan bagi anak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan ketidaksetaraan gender yang dihadapi oleh anak perempuan di seluruh dunia berdasarkan jenis kelamin mereka

Namun sangat disayangkan kalau Hari Anak Perempuan Internasional ini,  berlalu biasa-biasa saja karena belum banyak diketahui dan mendapat perhatian dari sebagian besar warga bangsa Indonesia. 

Padahal masalah ketimpangan jender semakin menghantui  anak-anak perempuan di Indonesia.  Dari waku ke waktu anak-anak perempuan berhadapan dengan masalah keterbatasan akses pendidikan,  perkawinan usia anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan  kini ada satu lagi isu yang menyeruak, yaitu kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Sejak pemerintah memberlakukan pembatasan aktivitas di luar rumah karena pandemi pada Maret 2020, anak-anak jadi lebih banyak mengakses dunia maya. Telah 575 hari sejak sekolah daring diberlakukan, anak-anak berselancar di dunia yang bisa menjadi sumber pencerahan, namun sekaligus membahayakan, terutama untuk anak-anak perempuan. Hal ini terjadi di mana pun, termasuk daerah tertinggal.

Tema yang diangkat HAPI tahun ini adalah Digital Generation, Our Generation yang mendalami kesenjangan akses dunia digital antara anak perempuan dan anak laki-laki. Kesenjangan itu semakin terasa di wilayah tertinggal. Wahana Visi Indonesia (WVI) menemukan, ketika akses digital terbuka, terutama bagi anak perempuan, maka kita juga harus membekali mereka dengan pengetahuan cara melindungi diri baik dari kemungkinan menjadi korban KBGO, maupun pelaku.

Di kelas literasi digital Aku Netizen Unggul yang diselenggarakan WVI, para peserta yang berusia 10-16 tahun berbagi pengalaman berkaitan cyberbully (perundungan siber). Miris mendengar anak-anak telah belajar menormalisasi kejadian kekerasan siber.

“Saya pikir itu biasa, saya diamkan saja. Toh dia teman saya,” kata seorang peserta. Peserta lain pernah melapor pada orangtuanya ketika dirundung, tetapi ia dilarang meneruskan ke sekolah dan menganggap pelaku hanya kurang kerjaan. Sementara itu, sebagian lain menjawab “biasa saja” ketika ditanya perasaannya saat menjadi korban perundungan siber.

Pengalaman kekerasan anak perempuan dan anak laki-laki di dunia maya berbeda. Umumnya anak laki-laki mengalami perundungan siber ketika bermain gim (game), sementara anak-anak perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan berupa body shaming dan bentuk kekerasan seksual.

Seorang anak dari Kupang bercerita pernah diteror panggilan video dari nomor tidak dikenal, ketika diangkat, seseorang langsung menunjukkan alat kelaminnya. Meskipun telah diblokir, nomor-nomor asing terus menyerbunya dan melakukan hal sama, lalu berakhir dengan membujuk si anak melakukan hal serupa, dengan iming-iming upah pulsa seratus ribu rupiah.

Laporan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan angka kekerasan terhadap anak perempuan melonjak sebanyak 2.341 kasus atau sekitar 65 persen dari tahun sebelumnya, dan sejak Januari hingga Oktober 2020 kekerasan seksual secara daring mencapai 659 kasus. 

 Sementara itu KPAI menerima laporan sebanyak 651 kasus yang berkaitan dengan pornografi dan kejahatan siber sepanjang 2020, sebagian besar korbannya anak perempuan. Data ini semakin menunjukkan bahwa baik di dunia nyata maupun digital, anak-anak perempuan sama-sama menghadapi ancaman kekerasan.

Berkekenaan dengan peringatan HAPI seorang guru di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) buka suara.

“Sinergitas orangtua dan guru dalam hal ini, pihak sekolah itu sangat penting. Orangtua harus memberi penjelasan pada anak perempuannya ketika si anak hendak berangkat ke sekolah atau keluar rumah untuk berhati- hati jangan tertipu bujuk rayu dari orang yang tak dikenalnya,”  ujar Marince Lulu Kepala SDN Oesapa Kecil 2, Kecamatan Kelapa Lima Kelurahan Oesapa Barat Kota Kupang, seperti ditulis warperempuanindonesia.net akhir pekan lalu.

Kepsek Marince Lulu pun menjelaskan bahwa penting sekali adanya sinergitas dengan lingkungan sekitar sekolah seperti pihak Kelurahan, RT dan RW karena bisa saja  anak perempuan mengalami pelecehan ketika berada di sekolah, untuk itu kami pihak sekolah slalu memperhatikan tingkah laku anak, dan saat anak- anak pulang sekolah memastikan dengan benar apakah pihak keluarga datang menjemput.

Maurince mengajak agar semua pihak  sama- sama hentikan segala bentuk kejahatan seksual pada anak khususnya anak perempuan di NTT.  (MLA) ***

Editor: MAR

RELATED NEWS