Hariyadi Si Pedagang Rujak, Begini Kisahnya!
redaksi - Kamis, 12 Agustus 2021 22:30MAUMERE (Floresku.com) - Di atas trotoar area Monumen Tsunami, tampak seorang pria pedagang kali lima (PKL). Nama pria itu Hariyadi. Usianya 32 tahun. Ia berasal dari Madura, Jawa Timur. Sosoknya bersahaja, santun serta peramah.
Di sana, tanpa ragu ia menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang lewat di sekitarnya. Sebagai tulang punggung keluarga, ia tentu rela menunggu berjam-jam di tempat itu untuk mengais rezeki sebagai penunjang ekonomi keluarganya.
Beserta istri dan kedua orang anaknya yang masih kecil, mereka berdomisili di kos-kosan wilayah Kilo 2, Maumere.
Raut wajahnya kebingungan dan sedikit resah. Sesekali ia mengerutkan jidat sebagai isyarat betapa peliknya kehidupan.
Dari busana yang dikenakan dapat ditebak betapa bersahaja hidupnya. Fisiknya tak bugar, dan tak kekar pula. Kendati demikian, semangat beliau dalam mengais rejeki tak kunjung pudar. Dengan kaus oblong hitam kombinasi gambar merah kusam, pria itu bergulat dengan nasib berdagang rujak mulai dari pukul 09.00 WITA sampai 17.00 WITA.
Dalan diskusi singkat bersama media floresku.com perihal nasib di Kota Maumere (Flores) sebagai tujuan merantau, Hariyadi berkisah demikian : "Ini merupakan kali kedua saya merantau di Kota Maumere. Sebelumnya pada tahun 2004 ketika berusia 15 tahun, saya pernah bekerja di sini sebagai penjual poster. Waktu itu saya diajak oleh kerabat", kisah Hariyadi sambil meracik olahan rujak segar yang saya pesan.
Sebelum merantau di Pulau Flores untuk yang kedua kali, ia sempat berkiprah merajut nasib merantau di Pulau Dewata, Bali dengan membawa serta istri dan dua orang anaknya. Di sana ia kembali menjual poster yang ia peroleh dari kerabatnya melalui metode kerja secara tim.
"Di Bali saya bekerja sebagai penjual poster bersama kerabat sekitar 4 bulan. Awal tahun 2021, saya memutuskan kembali lagi ke Flores berserta istri dan dua orang anak. Sampai di sini saya coba merintis usaha rujak," jelasnya.
Di bawah rampak pepohonan Ansono serta tenda parasol pengganti atap menepis terik matahari, ia kemudian memanfaatkan jok motor matic beat miliknya sebagai media pengganti meja. Di atas jok motor tersebut terpampang indah gerai mini berbahan kayu dan kaca berisi aneka buah-buahan segar sebagai bahan meracik rujak untuk dijual.
"Di sini memang dekat dengan area pertokoan. Apa lagi orang-orang sering mampir di Monumen Tsunami. Maka dari itu, saya coba jualan rujak disini, mas", tandasnya.
Terhitung sejak awal bulan Februari hingga kini perolehan usahanya amat memprihatinkan. Pasalnya dalam sehari jumlah terbanyak rujak yang terjual mencakup 15 bungkus mika bahkan kurang dari itu.
"Sebungkus mika harganya Rp.10.000. kalau sehari laku 15 bungkus untungnya tipis sekali. Ini belum terhitung dengan modal membeli buah-buahan di pasar, kemudian ditambah dengan uang kos dan kebutuhan harian", ungkapnya lagi.
Mengingat usahanya masih belia, ia tetap optimis dan semangat menjalaninya. Hal itu semata-mata ia lakukan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarganya di rumah.
"Mungkin masih baru kemudian situasi pandemi ya, mas. Insya Allah setelah pandemi hasilnya lebih baik dari hari ini", tutup Hariyadi.
Saya pun tertegun mendengarkan ‘doa’nya. Setelah menerima rujak olahan Mas Hariyadi, saya lalu menikmatinya dengan penuh rasa syukur.
“Memang, hidup ini harus dijalani dengan kerja keras, ketabahan, dan doa,” begitulah bathinku bergunam. (Paul Kebelen).