Hati-Hati: Bahaya Baperan Spiritual Tetap Mengintai, Bro! (Sekadar Hambur-hambur Kata Saja)
redaksi - Selasa, 09 Januari 2024 14:34“Kehidupan Spiritual tidak memisahkan kita dari dunia, tetapi membawa kita lebih dalam ke dalamnya” (Henri Nouwen, 1932 – 1996)
P. Kons Beo, SVD
Baper! Itu kependekan dari “Bawa Perasaan.” Itu bukan hal term baru. Ia jelaskan tentang seseorang yang ‘terumpan atau termakan rasa sejadinya.’
Kaum muda atau generasi milenial sudah lama akrabi dan tenarkan istilah itu. Jelasnya, Baper itu bicara tentang ‘seseorang yang memiliki sifat sensitif dan sering menggunakan emosinya untuk menanggapi peristiwa apapun dan juga obyek lain.’
Di bumi yang berputar ini, litania kejadian dan peristiwa terus bertambah. Ada kisah-kisah yang datang mendera dan melumat rasa pada pribadi tertentu.
Di situ, ada takaran rasa yang dapat dimengerti. Sebab, kata orang ‘jangan hanya andalkan daya dan kekuatan berpikir (otak). Tetapi tanggapilah pula dengan daya dan isi merasa.’
Di kalangan kaum remaja dan kawula muda, ternyata ‘Baper’ tak hanya terkurung seputar debut asmara atau puisi cinta.
Tetapi, itu tadi, ‘Baper’ juga berkisah tentang gejolak rasa terhadap satu kisah atau obyek tertentu. Dianggap ‘mati rasa’ atau ‘tanpa perasaan’ telah dirasa sebagai aib manusiawi yang patut dicemaskan.
Bagaimana pun, bicara tentang daya rasa (baper) sebenarnya bicara tentang aura rasa yang subyektif yang ada pada individu (tertentu). ‘Baper’ yang inflatif atau overdosis, katanya, bisa berujung pada suasana hati teramat galau atau bahkan dapat lahirkan tindakan reaktif yang negatif.
Kisah-kisah bahwa telah jadi korban atau sekedar ‘playing victim,’ misalnya, bisa tebalkan ‘baper’, dan ujung-ujungnya bisa masuk dalam aksi simpati negatif.
Maka, di sinilah terjadi apa yang diyakini sebagai tindak pencatutan (“Baper sebagai Akar Tindakan Pencatutan” - Mbah Nyutz – mojok.co).
Baper dalam arus catut-mencatut ini sungguh lahirkan ‘daya rusak yang tinggi’ semisal melempemnya daya kritis yang sepatut dan seharusnya dalam menilai, menarik kesimpulan, nyatakan sikap dan dalam menetapkan pilihan. Dan hal ini pun berpengaruh pada suramnya kualitas mental-spiritual.
Baper dalam rana yang praktis mesti disusuri dalam kenyataannya. Katakan dengan beberapa contoh konkit. Ada yang teramat baperan dengan dirinya sendiri.
Serasa seluruh dunia ini hanya berpusat pada dirinya. Sebab itulah: Apa yang dipikirkan, apa yang dikehendaki, apa yang dirasakan, apa yang disikapi, apa yang dikatakan, iya semua-muanya itu ‘mesti dirasa pas dan haruslah benar.’
Standarnisasi diri ‘serba rasa OK pada diri sendiri’ berakibat pada rasa murung tak bergairah sekiranya tak didukung atau bila ada yang nyatakan hal lain yang berseberangan.
Atau juga bahwa akan ada reaksi infantil atau pun tanggapan kasar dan keras bila ada kritikan yang dirasa menyudutkan! Wah, ini repotnya bila teramat baperan dengan diri sendiri.
Katanya pula, bahwa ada lagi Baperan Romantis. Lukisannya begini: Dunia ini adalah medan luas ‘panah-panah asmara dilesatkan.
Ada syair-syair cinta yang membius. Itulah hasil racikan dari pilihan diksi-diksi semanis-madu dan berbunga-bunga.
Di alam pelangi romantis ini orang bisa terbawa arus penuh gentaran cinta. Dan pada titiknya bermuara pada rawa-rawa gelora penuh fantasia yang bikin baperan ‘siang teringat-ingat, malam terbayang-bayang.’
Hitung sajalah sudah berapa lagu pop dan puisi-puisi asmara yang telah bikin rasa hati meleleh penuh baperan?
‘Orang hanya tersenyum biasa, kirim kata-kata biasa lewat WA, berikan kado biasa saja pula pada HUTmu... Sayangnya Anda telah terlanjur tafsir untuk ‘tahbiskan diri sendiri’ bahwa Anda telah ditawan di penjara di hatinya.
Anda nampak kelebihan berat baperan asmara. Dan akhirnya Anda mesti merasa tertikam di jantung ala lirik hati yang luka. Sebab ia memang ‘tak diciptakan untukmu dan ia memang pergi bersama yang lain.’ Kacian delu! Terlalu baperan na...
Bagaimanapun, ada yang bersaksi lain. Bernada positif lah. Bahwa rasa terpanah asmara, bisa tertangkap sebagai getar motivasi dalam berusaha, dalam bekerja, dalam belajar.
Dalam baper asmara itu seseorang dipacu untuk kreatif, produktif dan berprestasi. Demi membuktikan bahwa dirinya ‘ada apa-apanya.’ Itulah ‘rasa cinta’ yang berujung pada pembuktian atau pada kenyataan yang seharusnya.
Tetapi, mari kita masuk pada baperan spiritual. Umum berpendapat bahwa aspek spiritual atau religius pada individu ‘berdampak positif pada kepuasaan hidup dan cenderung lebih bahagia.’
Hal ini nampak dalam cara dan isi berpikir yang positif, pun dalam cara bersikap terhadap sesama yang sejuk dan bersinar binar.
Namun, citra religius bisa jadi aus atau keropos saat merasa bahwa ‘tak ada pertukaran yang wajar antara iman pada Tuhan dan kenyataan pahit kehidupan yang mesti dialami.’
“Kita boleh rajin berdoa, berpuasa, tak lalai untuk ke gereja, namun kenapa kah nasib hidup tak baik-baik saja? Penyakit yang diderita pun tak kunjung sembuh-sembuh pula. Usaha ini pun usaha itu tetap saja gagal. Kita jadinya baperan penuh berontak terhadap Tuhan yang dirasa tak adil.”
Tapi ada pula ekspresi baperan spiritual yang ‘sempit dan eksklusif.’ Ini terjadi ketika “nama dan kuasa Tuhan dikerangkeng dalam pikiran dan rasa hati sendiri. Tuhan hanya punya kami sendiri”.
Akibatnya? Individu atau kelompok individu ‘baperan spiritual garis keras’ ingin merasa: murni sendiri, saleh sendiri, benar sendiri, halal sendiri, layak sendiri, asli sendiri, hingga moral-susila sendiri. Dan selanjutnya?
Pada tatanan relasional dengan yang lain, iya dengan ‘yang bukan kita,’ kerangka penilaian yang beraroma degradatif-peyoratif, di bawah alam bawah sadar, jadi tak terhindarkan.
Maksudnya, ‘Yang bukan kita’ itu selalu diborgol dengan rantai: ternoda, kafir, sesat, haram, palsu serta amoral-ausila. Dalam segala penilaian tak pantas!
Katanya pula, ‘baperan spiritual-religius’ bisa terbaca dalam terlampau mengkultuskan atau ‘’mengibadahkan banyak hal: pakaian, bahasa, sampai hal-hal ritual atas penafsirannya sendiri .
Dan yang jadi repot besar ketika si baperan merasa sudah tahu persis dan hafal penuh pasti mengenai ‘semua hal yang dikehendaki Tuhan.’ Kasihan ya, nama dan kebesaran Tuhan dicatut-catut.
Baperan religius-spiritual pun terendus ketika individu ingin diakui telak bahwa ia terhubung dengan institusi-institusi keagamaan dan dianggap ternama, berkelas dan bahwa ia berpengaruh di sana. Dan si baperan religius pun ingin dikait-kaitkan, atau sedikitnya ‘bersenggolan’ dengan tokoh-tokoh besar dari institusi keagamaan.
Teringat lagi kisah di tahun kemarin. Saat dirawat di hari-hari terakhir di sebuah Rumah Perawatan. Telp per WA dari seorang teman di tanah air terdengar. “Salam eja (sapaan keakraban gaya Ende-NTT), kau masih di rumah sakit ka? Ini ada berita di TV, Bapak Paus tu juga masuk rumah sakit....”
Dengan enteng saya langsung jawab, “Iya betul, ini kamar rawat Bapak Paus dan kamar rawat saya ini berhadapan…”
Ini pasti segera‘makes news’ penuh heboh nantinya di antara teman-teman. Nama Bapak Paus sudah dicatut e... Ini yang namanya mau bikin tenar diri dengan memakai nama Paus segala. Selanjutnya?
Tiba-tiba terdengar suara seorang teman lain yang segera menyambar, “Eja, kau na wora tumbee ko…” Arti bebasnya, “Teman, kau ini omong besar dan tinggi na….”
Yang pasti ini bukan percakapan dengan aroma kental baperan religius-spiritual-institusional. ini sekedar ramai-ramai percakapan antara para sahabat.
Terkadang pula yang namanya baper spiritual itu nyata dalam berfantasi liar bahwa pernah studi agama dan Kitab Suci di Vatikan atau Haiva-Israel sana, misalnya, atau jadi tamatan universitas ini itu yang punya nama besar dengan ilmu-ilmu keagamaannya.
Si baperan religius ini pasti tak risih untuk disebut sebagai ahli ilmu keagamaan, dan bahwa segala rahasia Tuhan sudah dikuasai pasti.
Baperan spiritual penuh prank seperti ini jelas telah sunggguh menyesatkan dan memproduksi daya rusak publik dalam aura keberimanan.
Dan semuanya ini sebenarnya hanya demi ‘ambil untung demi kepentingan bisnis-ekonomik atau demi pencitraan diri sendiri yang nyata-nyata menggelikan.’
Sebagusnya, andaikan saja baperan spiritual yang penuh trik manipulatif ini segera dicedok dan secepatnya diganti dengan sensus missionis, katakan begitu, yang beraura compassionate.
Artinya? Beralih rasalah untuk berbelaskasih dengan saudara-saudari yang tak beruntung nasibnya! Berbela rasalah dengan yang lapar, haus, telanjang, dengan yang tak beralamat, dengan yang sakit dan dengan yang hidup dalam serba kekurangan dan tanpa harapan pasti.
Sepantasnya kita tinggalkan baperan spiritual-religius yang berdampak buruk. Dan ada bagusnya dan seharusnyalah “Mari kita ikatkan benang kasih sayang dalam persaudaraan kemanusiaan semesta dengan siapapun.
Sambil tetap memandang Allah, Tuhan, sebagai Bapa kita bersama. Dan bahwa semua kita adalah putra-putrinya dalam kesederhanaan dan kerendahan hati. Berziarah bersama menuju ke abadian.”
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***