'Homeless Media' – Ketika Konten Tak Lagi Butuh 'Rumah'

redaksi - Rabu, 10 Desember 2025 22:18
'Homeless Media' – Ketika Konten Tak Lagi Butuh 'Rumah'Para mantan jurnalis Bisnis Indonesia kongkow-kongkow dan shareing tentang perkembangan media saat ini, termasuk membahas fenemena 'homeless media', Rabu (10/12). (sumber: WA-Abr)

JAKARTA (Floresku.com) -  Di tengah arus revolusi digital yang terus bergulir,  ternyata ada satu fenomena ‘tak biasa’ yang menyusup ke dalam dunia media. 

Fenomena yang diksebut sebagai ‘homeless media’  ini hari-hari mulai mencuri perhatian dunia media Indonesia. Padahal, di belahan dunia lain, seperti Amerika Serikat, fenomena ini sudah mulai mengobrik-abrik dunia media sejak satu dekade lalu. 

Istilah ini tak merujuk pada media yang tersesat, melainkan media yang sengaja tidak memiliki rumah –  tidak punya homepage, tidak membangun aplikasi, dan tidak menunggu pembaca mengunjungi situs mereka. 

Sebaliknya, konten mereka hidup, beredar, dan menghasilkan pendapatan sepenuhnya di platform pihak ketiga seperti Facebook, Instagram, TikTok, Snapchat, atau Google AMP.

Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara media bekerja, berkembang, dan bertahan. 

Bila dulu seluruh energi difokuskan untuk mengarahkan trafik ke situs web, kini justru situs itulah yang dianggap usang. Yang penting bukan di mana konten dipublikasikan, melainkan siapa yang melihatnya dan bagaimana ia diproduksi untuk ekosistem platform.

Dari Mendirikan Rumah ke Menyebar ke Mana Saja

Sejak internet memasuki panggung publik, perusahaan media berlomba memaksimalkan kehadiran mereka di web.

Strateginya jelas: buat konten, tarik pengunjung, pasang iklan, dan dapatkan pendapatan. 

Huffington Post memenangkan pertarungan Google dengan SEO, sementara BuzzFeed, Vice, Vox, dan media viral lainnya menjadi ahli memanfaatkan Facebook dan Twitter.

Namun dinamika itu berubah cepat. Platform tidak hanya menjadi gerbang distribusi, tetapi kini adalah rumah baru bagi konsumsi konten. 

Facebook meluncurkan Instant Articles, Snapchat menggandeng media lewat Discover, sementara Google mempercepat segalanya dengan AMP. Ketika konten bisa dimonetisasi langsung di sana, situs web tidak lagi menjadi pusat ekosistem.

Media seperti NowThis bahkan mendeklarasikan diri sebagai perusahaan tanpa homepage. Masuk ke situsnya, Anda hanya menemukan kalimat provokatif: “Homepage. Even the word sounds old.” Bagi mereka, konten harus berada di mana audiens berada — bukan sebaliknya.

Merambah ke Indonesia

Dari diksuksi para mannta jurnalis Bisnis Indonesia , Rabu (10/12), ‘homeless media’ di Indonesia adalah fenomena media yang muncul dan berkembang di platform media sosial (Instagram, TikTok, YouTube, dll.), tanpa memiliki platform mandiri (situs web/server sendiri), mengandalkan distribusi organik dan komunitas, serta sering dikelola oleh individu atau grup kecil, dengan contohnya seperti Good News From Indonesia, USS Feed, dan akun-akun edukatif lainnya. 

Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang baru dalam lanskap media digital yang menawarkan konten lebih relevan dengan audiens muda namun rawan misinformasi karena minimnya gatekeeper dan verifikasi. 

Disebutkan,  homeles media memiliki beberapa ciri antara lain:

  • Platform tidak tetap: Bergantung sepenuhnya pada platform pihak ketiga seperti media sosial. 
  • Tanpa rumah/kantor formal: Tidak punya kantor redaksi atau infrastruktur media konvensional. 
  • Konten beragam: Mengangkat isu lokal, sosial, atau topik niche yang sering luput dari media arus utama. 
  • Fokus pada audiens: Menyajikan konten yang emosional, visual, dan ringkas, menarik bagi Gen Z dan milenial.
  • Ketergantungan tinggi: Risiko hilang jika platform ditutup (misalnya akun Instagram diblokir).

Contoh homeless media di Indonesia seperti:

  • Good News From Indonesia (GNFI): Akun besar yang menyebarkan berita positif. 
  • USS Feed & jktinfo: Akun penyedia informasi umum dan lokal.
  • Newsletter independen, kanal YouTube niche, akun edukatif di IG: Fokus pada topik spesifik (misal: saham, otomotif).
  • Kreator independen: Individu yang membangun audiens dan kredibilitas sendiri (contoh: Iqbal Zakky dari Auto Jago).
Mengapa Tren Ini Mencuat?

1. Konsumsi mobile meroket tanpa henti.
comScore mencatat bahwa dua dari tiga menit konsumsi digital di Amerika berlangsung via perangkat mobile. Dari 779 miliar menit yang dihabiskan di mobile apps, sebagian besar terjadi di aplikasi media sosial. Artinya, platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok adalah “halaman depan” baru bagi jutaan orang.

2. Platform menyediakan infrastruktur distribusi sekaligus monetisasi.
Instant Articles, Discover, AMP—semuanya dirancang untuk memudahkan penerbit memproduksi konten, menjangkau audiens besar, dan mendapatkan pemasukan tanpa harus mengembangkan situs web atau aplikasi sendiri. CNN bahkan memiliki tim khusus untuk menghasilkan konten Snapchat.

Dengan kata lain, rumah bukan lagi aset utama. Distribusi-lah mata uang barunya.

Apa Implikasinya bagi Industri Media?

Fenomena “homeless media” bukan sekadar tren teknologi; ia adalah pergeseran strategis yang memaksa semua pihak untuk beradaptasi.

Bagi media tradisional, ini adalah titik balik. Mereka harus menjawab pertanyaan sulit: seberapa banyak konten harus didistribusikan ke platform pihak ketiga? Apakah pendapatan iklan di platform mampu menggantikan pemasukan dari situs sendiri? Bagaimana menjaga identitas editorial ketika konten diproduksi sesuai format platform?

Langkah-langkah strategis yang mulai dilakukan pun beragam:
– Mengembangkan konten vertikal yang didesain secara khusus untuk platform tertentu.
– Mengakuisisi media kecil dengan suara unik untuk memperluas jangkauan.
– Membangun tim khusus untuk mengelola hubungan dengan perusahaan teknologi.

Bagi wirausahawan media, ini adalah peluang emas. Tanpa beban memelihara situs atau aplikasi mahal, mereka bisa membangun bisnis “konten duluan”: lean, agile, dan fokus pada narasi yang memikat. Kreativitas format — video pendek, infografis, storytelling visual — menjadi modal utama.

Bagi platform besar, mereka berada pada posisi strategis sebagai “kabel TV baru” yang menghubungkan konten ke konsumen. Tugas mereka bukan hanya menyediakan ekosistem yang nyaman, tetapi juga jujur dalam data konsumsi, adil dalam pembagian pendapatan, dan aman bagi pengiklan.

Bagi investor, kriteria baru muncul: cari media dengan suara unik, audiens niche yang loyal, dan operasional ramping. Media “tanpa rumah” adalah startup ideal—murah dirawat, cepat berkembang.

Menuju Masa Depan di Mana Website Bukan Segalanya

Ketika konsumsi konten semakin berpindah ke platform sosial dan mobile, pertanyaan besar pun muncul: apakah website masih relevan sebagai pusat media? 

Apakah perusahaan media harus terus menghabiskan anggaran untuk mengelola homepage yang makin jarang dikunjungi?

Fenomena “homeless media” mungkin tidak akan menggantikan seluruh model media tradisional. Namun ia jelas menunjukkan arah masa depan: konten harus menemukan pembacanya di mana pun mereka berada — dan di zaman ini, mereka berada di platform.

Dan di dunia yang bergerak cepat, rumah tidak selalu harus berdinding. Kadang, rumah terbaik adalah jaringan yang luas, lincah, dan tanpa alamat tetap. (map/disadur dari artikel Fransesco Marconi: “The rise of “homeless” media' ”,  yang ditayangkan di pmarconi.medium.com). 

Editor: redaksi

RELATED NEWS