HOMILI, Minggu, 03 Oktober 2021: Kita Dipanggil untuk Membangun Keluarga Atas Dasar Cinta dan Kesetiaan
redaksi - Minggu, 03 Oktober 2021 12:31
Oleh P Gregor Nule, SVD*
Bacaan: (Kej 2:18 – 24; Ibr 2 : 9 -11; Mrk 10: 2 – 12.)
SABDA Allah pada hari minggu ini mengajak kita untuk melihat kembali hakekat dan komitmen kehidupan keluarga dan rumahtangga, khususnya relasi suami dan isteri, dan relasi orangtua dengan anak-anak. Allah mengingatkan kita bahwa keluarga dan perkawinan bukanlah suatu urusan manusiawi belaka, melainkan terutama sebuah peristiwa iman karena sejalan dengan karya dan rencana Allah.
Sebab Allah sendiri sejak awal penciptaan manusia menghendaki agar seorang laki-laki dan seorang perempuan hidup bersama sebagai suami - isteri atas dasar kasih, kesetiaan dan penyerahan diri yang utuh. Yesus bersabda, “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan; karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”, (Mrk 10: 6-7).
Tetapi, dalam menjalankan tugasNya di dunia, Yesus menghadapi kenyataan buram hidup perkawinan di tengah masyarakat Yahudi. Ada banyak pasangan nikah yang gagal dan bahkan Musa telah mengizinkan seorang laki-laki menceraikan isterinya dengan memberikan surat cerai.
Hal ini justeru bertentangan dengan kehendak Allah. Maka sambil menekankan hakekat perkawinan yang tak terceraikan Yesus menegaskan bahwa alasan utama Musa memberikan izin cerai adalah ketegaran hati nenek moyang bangsa Israel. Dengan kata lain, ketegaran hati atau keras kepala justeru menjadi pemicu masalah perkawinan dan keluarga yang memungkinkan Musa mengizinkan perceraian.
Paus Fransiskus, ketika mengadakan tatap muka di Roma dengan ratusan pasangan suami-isteri yang datang dari pelbagai kota dan negara di Eropa, mengungkapkan satu pernyataan yang cukup mengejutkan dan bisa menyayat hati banyak pasangan nikah. Paus berkata, “Ingatlah, banyak pasangan nikah katolik telah melakukan kebohongan besar ketika mengucapkan janji nikah seorang kepada yang lain.”
Mengapa paus sampai mengungkapkan kritikan tersebut tanpa beban? Alasannya, kata paus, “karena banyak pasangan nikah sering dengan suara lantang, tegas dan berani mengucapkan janji nikah, tetapi mereka sendiri mungkin tidak mengerti maknanya. Kenyataannya ada sejumlah besar pasangan yang mudah sekali pisah ranjang, bahkan membatalkan pernikahan atau bercerai oleh karena alasan-alasan kecil, sepele dan sangat sederhana.
Mereka mudah sekali melupakan keindahan cinta yang telah mempersatukan dan menata kehidupan mereka selama bertahun-tahun, lalu berusaha membangun keluarga baru dengan orang lain, wanita atau laki-laki lain, yang tentu menjadi asing bagi anak-anak mereka. Kenyataan buram ini membuat orang bertanya tentang hakekat perkawinan katolik yang monogam dan tak terceraikan itu.
Persoalan yang dialami oleh pasangan nikah dan keluarga-keluarga di Eropa dan Amerika juga akhir-akhir ini kita alami di lingkungan kita. Kita lihat banyak pasangan nikah yang pisah ranjang, dan bahkan sudah mendapakan anulasi atau pembatalan pernikahan, atau ada yang sedang mengurus proses anulasi pernikahan. Akibatnya ada banyak keluarga dan rumah tangga yang kacau-balau dan berantakan. Lalu umumnya anak-anak menjadi korban. Mereka diabaikdan dan diterlantarkan.
Akar masalahnya sangat bervariasi. Antara lain, tekanan ekonomi, kurang adanya komunikasi yang baik, dan munculnya masalah-masalah pasangan dan keluarga yang mustahil terselesaikan. Ada yang katakan bahwa hidup bersama mereka sulit diteruskan karena sudah tidak ada lagi cinta, atau karena sudah ada pria atau wanita idaman lain di tengah keluarga dan rumah tangga mereka.
Ketika kita sungguh yakin bahwa keluarga dan rumah tangga merupakan rencana dan kehendak Allah maka Allah hendaknya mendapat tempat istimewa serta menjadi pusat keluarga dan rumah tangga. Ini berarti, keluarga menjadi sebuah Gereja mini di mana anggota-anggotanya belajar mengenal dan mencintai Allah, serta punya kebiasaan untuk berdoa dan membaca Kitab Suci bersama.
Doa, ibadah, perayaan ekaristi dan bacaan Kitab Suci hendaknya menjadi bagian yang penting dalam kehidupan suami-isteri dan keluarga. Karena bersama Allah anggota-anggota keluarga akan selalu berusaha berbagi hidup, pengalaman dan karya secara tulus dan didasarkan pada kasih, termasuk pengalaman-pengalaman yang sulit dan menyakitkan.
Dan, satu hal penting yang perlu kita ingat juga bahwa dalam keluarga dan rumah tangga sering terjadi banyak benturan, kejatuhan, percekcokan, perkelahian, saling cubit dan masalah-masalah lain yang sulit diselesaikan. Karena itu, pasangan suami-isteri dan keluarga juga hendaknya belajar untuk bekerja sama, saling menghormati, saling mendengarkan, belajar untuk saling melayani, saling mengampuni dan menerima kembali jika terjadi salah paham, serta belajar toleran dan terbuka terhadap yang berbeda, yang punya sifat dan watak lain.
Jika semuanya berhasil maka impian perkawinan dan keluarga kristiani yakni mencapai kebahagian dan kesejahteraan bersama dapat menjadi nyata. Keluarga-keluarga dapat hidup bahagia, sejahtera, aman dan damai. Semoga Tuhan memberkati keluarga-keluarga kita. Amen.
Kewapante, 03 Oktober 2021.
*P. Gregorius Nule, SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari, dosen STFK Ledalero, Maumere. ***