HOMILI, Minggu, 19 September 2021: Kerelaan Melayani, Dasar Kebesaran Pengikut Kristus
redaksi - Minggu, 19 September 2021 00:17Oleh: P. Gregor Nule, SVD
Bacaan: Keb 2:12.17-20; Yak 3:16-4:3; Mrk 9:30-37)
Ilustrasi: Pada suatu malam Minggu Edi, seorang bapak berumur 50-an tahun, berdiri di depan sebuah rumah, karena ia mau membujuk anaknya yang sudah hampir seminggu tidak pulang ke rumah karena bermain judi bersama teman-temannya. Ketika Edi sedang menanti anaknya, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki muda berumur sekitar 30-an tahun dan bertanya: ”Bapak, menunggu siapa di sini?”
Jawabnya, “Saya menunggu Anton, anak saya, karena ingin membawa dia pulang ke rumah”. “Mengapa mesti berkorban menunggu di malam yang dingin seperti ini”? tanya orang itu.
“Saya adalah ayahnya, saya merasa bertanggungjawab atas hidup dan masa depannya. Saya mau dia kembali ke jalan hidup yang baik dan benar. Dia masih terlalu muda. Dan malam ini adalah malam Minggu”.
Mendengar itu meneteslah air mata laki-laki muda itu lalu berkata, “Bapak Edi adalah seorang ayah yang baik, saya berharap memiliki ayah seperti bapak”. Lalu ia masuk ke dalam rumah, dan tiba-tiba suasana rumah itu menjadi sunyi, tidak terdengar suara apa pun, kecuali bunyi daun-daun pintu yang sedang ditutup.
Kemudian pemuda itu keluar bersama Anton dan beberapa orang lainnya. Pemuda itu berkata, “Anton, karena ayahmu, saya tutup tempat judi ini. Kamu harus bersyukur memiliki ayah seperti ini. Kamu harus pulang ke rumah dan ikuti nasehat ayahmu, dan jangan coba bermain judi lagi! Ayahmu sudah berkorban menunggumu di malam yang dingin ini”.
Refleksi: Para murid yang telah lama mengikuti Yesus ternyata belum sungguh memiliki motivasi murni. Mereka adalah manusia biasa yang tidak bebas dari kecenderungan bahkan ambisi untuk mencari kepentingan diri, pangkat, kedudukan dan keuntungan ekonomis. Secara bertahap Yesus menyampaikan kepada para murid syarat-syarat mengkituNya. Syarat Pertama adalah menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus, sebab barangsiapa yang mau menyelamatkan nyawanya ia akan kehilangan nyawanya (Bdk Mrk 8:34-35).
Setelah turun dari Gunung Tabor, Yesus mulai berbicara tentang kepergianNya ke Yerusalem untuk mengalami kemuliaanNya. Para murid menyangka bahwa Yesus akan diangkat menjadi Mesias Raja, menurut pemahaman politis dunia. Maka dalam perjalanan itu mereka mulai bertengkar tentang siapa yang akan menjadi orang yang pertama dan terbesar dalam kepemimpinan Yesus. Mereka berpikir tentang kerajaan dunia yang akan didirikan Yesus. Yesus mengetahui gejolak isi hati dan ambisi para murid.
Yesus memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan kepada mereka tentang syarat lain menjadi muridNya. Yesus bertanya, “Apa yang tadi kamu perbincangkan di jalan”? (bdk Mrk 9:33). Mereka kaget dengan pertanyaan itu, dan mungkin takut berbicara. Akibatnya, mereka diam saja. Maka Yesus berkata, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan menjadi pelayan dari semuanya”, (Mrk 9:35). Di sini Yesus menampilkan prinsip dan pola hidup yang benar menjadi muridNya, yakni kerelaan untuk melayani, atau dahulu - mendahului dalam melayani.
Memang Yesus adalah Mesias, Raja. Tetapi Dia juga adalah Abdi Allah yang rela menderita dan mau berkorban. Dia adalah Anak Manusia yang datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi semua orang. Kehadiran Yesus menghadirkan Kerajaan Allah dan sekaligus pemerintahan Allah di atas bumi. Tetapi pola pemerintahan Allah itu khas, yakni melayani, dan bukan menguasai; menjadi yang terakhir dari semua dan bukan yang pertama. Sebab bagi Yesus, kebesaran seorang murid hanya bisa diperoleh melalui pelayanan yang ikhlas terhadap sesama, terlebih pelayanan terhadap orang kecil, miskin, sederhana dan yang tidak mampu menolong diri sendiri.
Setiap orang kristiani adalah murid dan pengikut Yesus Kristus. Kita semua adalah orang kristen. Kita telah mengimani Kristus dan mengikutiNya. Maka kita diajak untuk mengambil dan mempraktekkan pola hidup dan pola tindak Yesus sendiri. Kita harus menyangkal diri dan mampu melupakan kepentingan dan kesenangan sendiri.
Kita juga mesti rela menanggung penderitaan sebagai akibat karya pelayanan kita. Inilah salib yang mesti kita pikul setiap hari. Satu contoh hidup yang baik telah ditunjukkan oleh Pak Edy, dalam ilustrasi di atas. Dia rela berkorban untuk mencari dan menunggu anaknya di malam yang gelap dan dingin. Ia tidak mau membiarkan anaknya tenggelam dalam kegelapan dunia dan mempraktekkan cara hidup yang salah dan menyesatkan. Pengorbanan pak Edy juga telah mengubah hati dan mentobatkan si pemilik rumah judi itu sehingga ia menghentikan kebiasaan bermain judi. “Anton, karena ayahmu, saya tutup tempat judi ini”, demikian keputusan si pemilik rumah judi. Pak Edy adalah seorang ayah dan bapak, tetapi ia merendahkan diri dan rela berkorban untuk kebaikan anaknya.
Kita dipanggil untuk menata hidup sebagai orang kristen sejati. Maka santo Yakobus menashati kita agar selalu ingat akan kebaikan dan kepentingan orang lain. Sebab iri hati dan ingat diri menjadi akar kekacauan dan segala macam perbuatan jahat (bdk. Yak 3:16). Selain itu, kitab Kebijaksanaan juga ingatkan bahwa kita hidup di tengah pergeseran antara kebaikan dan kejahatan. Sering tanpa sadar kita menjadi fasik, berbuat jahat, merendahkan orang lain, dan menganggap diri lebih hebat. Kita iri hati dan cemburu karena orang lain lebih berhasil atau hidup mereka lebih baik.
Semoga kuasa Sabda Allah yang kita renungkan hari ini menghancurkan semua kefasikan dan kebodohan kita, serta memberi kita hati yang bijaksana, ramah, terbuka dan penuh damai. Amen.
Pastor Paroki, Kewapante, 19 September 2021.