HOMILI, Pater Gregor Nule SVD, Minggu, 23 Oktober 2022
redaksi - Sabtu, 22 Oktober 2022 21:58TUHAN MENDENGARKAN SERUAN ORANG YANG RENDAH HATI
(Minggu Biasa XXX C: Sir 35:12-014.16-18; 2Tim 4:6-8.16-18; Luk 18:9-14)
Ilustrasi:
Seekor monyet sedang bertengger di pucuk daun sebatang pohon kelapa yang tinggi. Tak disangka ia sedang diintip oleh tiga angin besar, yaitu: angin topan, angin tornado dan angin bahorok.
Ketiga jenis angin itu sedang berdiskusi tentang siapa yang paling hebat dan akan cepat menjatuhkan si monyet dari atas pohon kelapa itu. Angin topan berkata, “saya cuma membutuhkan waktu 45 detik untuk menjatuhkan monyet itu”.
Angin tornado tidak mau kalah dan berkata bahwa ia hanya butuhkan cuma 30 detik. Sedangkan, angin bahorok sambil tersenyum, gelengkan kepala dan berkata bahwa ia Cuma butuhkan 15 menit.
Tibalah giliran ketiga angin menguji kekuatannya. Angin topan mulai meniup sekencang-kencangnya. Merasa ada tiupan angin kencang, si monyet langsung pegang kuat-kuat dahan kelapa. Selang beberapa waktu berlalu si monyet tidak jatuh maka angin topan pun menyerah.
Giliran angin tornado, dia bertiup sekencang-kencangnya tetapi tidak berhasil menjatuhkan monyet. Akhirnya ia menyerah juga.
Terakhir angin bahorok yang bertiup lebih kencang lagi, meski demikian tidak berhasil karena si monyet semakin mengeratkan pegangannya.
Ketiga angin besar itu akhirnya mengakui kehebatan si monyet. Beberapa saat kemudian datanglah angin sepoi-sepoi yang ingin ikut dalam uji coba itu.
Tetapi, angin sepoi-sepoi justeru ditertawakan oleh ketiga angin sebelumnya. Meski demikian dia tidak menyerah dan mulai laksanakan uji-cobanya. Ia mulai meinup lembut ubun-ubun si monyet.
Tiupan angin sepoi-sepoi itu membuat si monyet hanyut dalam kenyamanan di siang bolong, ia mulai mengantuk dan tanpa sadar pegangannya terlepas dan ia jatuh dari atas pohon kelapa.
Refleksi
Kita pun sering berlagak sombong seperti ketiga jenis angin di atas. Dalam hidup dan pergaulan sehari-hari banyak kali kita membanggakan diri, kehebatan, jasa-jasa dan karya-karya kita.
Tidak jarang kita meremehkan, bahkan menghina dan memfitna orang lain di sekitar kita. Mugkin dalam pembicaraan tidak jarang kita menonjolkan diri sendiri dalam segala hal.
“Saya yang buat ini”, atau “saya yang memulai semua itu”, atau “tanpa saya tidak mungkin semua ini terjadi”. Atau “tanpa saya paroki atau gereja tidak mungkin seperti ini”, dan lain-lain. Pokoknya semua yang luar biasa dan hebat hanya terjadi karena “saya”.
Injil hari ini menampilkan tipe orang yang meninggikan dirinya dan merendahkan yang lain. Maka Yesus memberi contoh tentang orang Farisi dan pemungut cukai yang berdoa di Kenisah.
Orang Farisi tampilkan diri benar-benar sebagai orang suci. Ia datang ke Bait Allah, berdiri di depan altar dan berdoa dengan menengadah ke langit. Dalam doanya, dengan bangga dia laporkan semua kegiatan rohaninya kepada Tuhan.. Ia sebut semuanya secara terperinci.
Berdoa dengan setia lima kali sehari. Beri sedekah kepada orang miskin dan berbuat amal. Ia juga berpuasa dua kali seminggu.
Semua kegiatan ini menjadi bukti ketaatannya terhadap hukum Taurat. Dengan ini ia mau katakan bahwa ia adalah orang baik, benar dan berkenan kepada Allah. Dan, sebanarnya semuanya ini tidak salah.
Tetapi, yang dipersoalkan dan dikecam Yesus adalah kesombongannya. Orang Farisi tidak hanya membandingkan dirinya dengan para pendosa, perampok dan pezina, tetapi juga menghina dan memfitna mereka. Ini adalah suatu bentuk kesombongan rohani yang berusaha mencari pembenaran dari Tuhan dan pengakuan sesama.
Sedangkan, pemungut cukai sadar bahwa ia adalah seorang yang berdosa. Karena ia memungut pajak untuk pemerintah Roma. Itu berarti ia bekerja sama dengan penjajah dan sebaliknya, mengkhianati bangsanya sendiri.
Biasanya para pemungut cukai meminta uang lebih banyak daripada yang dituntut untuk kepentingan mereka dan karena mereka tidak terima gaji dari pemerintah Roma.
Sadar akan dosa yang membuatnya tidak layak datang ke hadirat Allah, maka pemungut cukai berdiri jauh-jauh, menundukkan kepala sambil menepuk dadanya dan berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini”, (Luk 18:13). Sikap hati dan doa demikianlah yang berkenan kepada Allah.
Apa yang menjadi pesan Firman Allah untuk kita hari ini?
Pertama, Kita belajar untuk berdoa secara baik dan benar. Berdoa berarti menyerahkan diri kepada Allah dan bukan membeberkan semua perbuatan baik kita.
Sebab Allah sudah mengetahui segalanya. Doa juga bukanlah kesempatan memuji diri dan sebaliknya melaporkan kesalahan orang lain kepada Allah, seperti yang dilakukan orang Farisi dalam Injil hari ini.
Doa yang benar hendaknya mendekatkan kita dengan Allah dan sesama, dan bukannya menjauhkan kita dari Allah dan dari orang lain.
Kedua, kita belajar untuk senantiasa sadar dan dengan rendah hati mengakui kerapuhan dan kesalahan kita di hadapan Allah dan sesama. Pemungut cukai tidak membela diri atau mempersalahkan pemerintah Roma yang tidak membayar gaji akibatnya membuka peluang sehingga ia berbuat dosa.
Kita juga hendaknya terus belajar memohon belaskasihan dan pengampunan dari Allah. Hanya orang yang memohon belaskasihan dan pengampunan akan mendapatkannya.
Yesus membenarkan pemungut cukai karena ia sungguh menyesal atas dosa dan kesalahannya serta dengan rendah hati memohon ampun.
Ketiga, Yesus bin Sirakh dalam bacaan pertama mengingatkan kita akan sikap doa yang benar, yakni berdoa dengan rendah hati. Sebab doa dari orang yang rendah hati akan didengarkan oleh Allah.
Doanya akan menembusi awan dan mencapai surga (bdk. Sir 35:16). Allah mengabulkan doa orang yang rendah hati karena kurban yang berkenan kepada Allah adalah hati yang remuk redam dan penuh tobat. Semoga Allah melindungi dan memberkati kita. Amen.
Kewapante, Minggu, 23 Oktober 2022. ***