HOMILI Pater Gregor Nule SVD, Minggu Prapaskah V, 03 April 2022

redaksi - Sabtu, 02 April 2022 20:02
HOMILI Pater Gregor Nule SVD, Minggu Prapaskah V, 03 April 2022P Goris Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari, Kewapante, Maumere. (sumber: Dokpri)

ALLAH SELALU MEMBERI KESEMPATAN UNTUK BERTOBAT

(Minggu Prapaskah V:Yes 43:16-21; Fil 3:8-14; Yoh 8: 1-11).

Ilustrasi: 

Seorang ibu pernah menjumpai  pastor parokinya untuk mengungkapkan uneq-uneq hatinya. Hal utama yang dikeluhkannya adalah perilaku salah seorang anaknya yang tidak tahu diri, tidak tahu berterimakasih dan bahkan selalu membuat onar di mana-mana. Ibu itu berkata, “Mengapa Tuhan mengizinkan saya melahirkan anak sejahat ini, pastor? 

Saya dan bapaknya adalah orang-orang biasa. Kami selalu berusaha mendidik serta memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kami. Namun, sikap dan perilaku anak kami yang satu ini tidak bisa ditolerir lagi. Dari mana dia dapat semuanya itu? Apakah tidak lebih baik bila dia mati saja agar tidak menyusahkan kami dan banyak orang lain”. 

Mendengar keluhan yang bernada protes itu, sang pastor diam sejenak, menatap wajah ibu itu dan bertanya, “apakah ibu masih menganggap dia sebagai anak”? Jawab itu, “Ya, ya pastor, biarpun sikap dan perilakunya begitu menjengkelkan, dia tetap anak kami”. 

Pastor itu berkata, “terimakasih ibu, atas kebaikan hatimu. Meskipun ibu jengkel dan marah besar, tetapi ibu tidak sampai hati membuang anak sendiri. Maka saya minta ibu untuk bersabar dan terus berdoa demi kebaikan anakmu. Yakinlah sekali kelak dia pasti akan berubah dan menjadi lebih baik”.   

Renungan: 

Kisah Injil hari ini tentang seorang perempuan yang tertangkap basah sedang melakukan zinah dibawa oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat kepada Yesus untuk diadili. Lalu, di mana laki-laki yang terlibat dalam perzinahan itu? 

Ia tidak ikut dibawa, artinya ia tidak diadili karena dianggap tidak bersalah. Yang bersalah dalam kasus ini adalah perempuan. Inilah kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat patriarkal. Dalam kasus ini, orang Farisi dan ahli Taurat ingin tahu pendapat Yesus. Karena menurut hukum Musa tindakan seorang perempuam semacam ini harus dirajam. 

Sebenarnya mereka mau mencobai dan menguji kesetiaan Yesus terhadap hukum Taurat, yakni menghukum perempuan itu. Atau, apakah Yesus mengampuni perempuan itu, sesuai dengan ajaran-Nya. Rupanya mereka juga hanya mau mencari-cari alasan untuk menjerat Yesus. 

Tetapi Yesus diam saja. Dia tidak mau jadi hakim bagi orang lain, khususnya bagi perempuan itu. Dia malah menundukkan kepala dan menulis sesuatu di atas tanah dengan jariNya. 

Ketika didesak terus-menerus untuk menentukan sikap, Yesus berdiri dan  dengan tegas berkata,”Barang siapa di antara kamu tidak berdosa hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada permpuan ini”, (bdk. Yoh 8:7). 

Kata-kata Yesus ini sungguh mengejutkan, laksana suatu pukulan keras bagi semua orang yang mendengarnya. Sebab pernyataan Yesus itu  sangat menyudutkan mereka. Akibatnya tidak seorang pun berani melemparkan batu kepada perempuan itu. 

Sebaliknya satu demi satu mulai dari yang paling tua meninggalkan perempuan itu  sampai ia tinggal seorang diri bersama  Yesus. Mengapa mereka tinggalkan pertempuan itu dan tidak menghukumnya? Karena mereka sadar bahwa tidak ada seorang pun bebas dari dosa. Hanya orang yang benar-benar bersih  bisa  menilai dan menghakimi orang lain. Tetapi, tidak ada seorang pun yang merasa diri layak dan bebas dari dosa.

Puncak kisah ini kita temukan dalam dialog antara Yesus dan wanita itu saat keduanya berada sendirian. Yesus bertanya kepdanya di mana gerangan para penuduh dan hakimnya. Apakah tidak ada yang menghukumnya. 

Perempuan itu menjawab singkat. “Tidak ada, Tuhan”. Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan janganlah berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”,(bdk Yoh 8:11). Yesus tidak menghukum wanita itu, tetapi mengingatkannya agar pergi dan tidak berbuat dosa lagi. Yesus mengajak wanita itu untuk membenahi diri dan berbuat baik.

Firman Allah hari ini mengajak kita agar tidak gegabah menghakimi sesama dan mencapnya sebagai orang jahat.  Sebab dalam hidup sehari-hari tidak jarang kita bersikap seperti orang-orang Farisi, ahli Taurat dan ibu dalam ilustrasi di atas.  

Kita menilai dan  membuat pemisahan antara orang baik dan orang jahat, antara yang benar dan yang salah, antara yang saleh dan yang berdosa,  antara yang bersih dan najis, dst. Kita menjadi hakim atas orang lain dan otomatis kita  merasa diri lebih baik, lebih benar, lebih suci, serta bebas dari dosa dan hal-hal yang tidak beres. 

Padahal kalau kita jujur, maka kita pun mesti akui diri sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan dan kerapuhan. Ingatlah. Yesus yang tidak pernah berdosa bisa memahami kelemahan perempuan itu, memberi kesempatan untuk bertobat dan mengampuni dia. 

Mengapa kita tidak?  Mari kita berbenah diri dan bertobat selama masa prapaskah ini. Amen.

Kewapante, 03 April 2022. ***

 

RELATED NEWS