IN MEMORIAM: Saudara dan Rekan Imamku, Antonius Mite

redaksi - Sabtu, 17 Juli 2021 15:40
IN MEMORIAM:  Saudara dan Rekan Imamku, Antonius MiteRD Antonius Mite (tengah) (sumber: RD Stef Wolo Itu)

Oleh Stefanus Wolo Itu

TADI pagi mulai jam 01.00 waktu Austria HP saya berdering beberapa kali. Saya sudah feeling pasti berita duka dari tanah air. Pikiran dan perasaan saya langsung tertuju pada sepupuku dan rekan imamku Antonius Mite. Karena sejak kemarin beliau berada dalam kondisi kritis. Ternyata benar, Antonius telah meninggal dalam damai.

Keluarga dan sahabat kenalan menulis berita duka di pelbagai halaman media sosial. Ada banyak doa dan ucapan simpatik untuk beliau. Ada banyak kesan dan cerita indah tentang saudaraku ini.

Antonius Mite adalah saudara sepupuku. Nenek kami bersaudara kandung. Beliau adalah cucu dari Due Itu. Saya adalah cucu dari Kaki Itu. Beliau adalah putera dari Pius Sabu Due. Saya adalah putera dari Albertus Sabu Dhoni. Sabu Due dan Sabu Dhoni sebenarnya merujuk pada satu nama nenek moyang: SABU BATA. Kami bernaung di bawah satu rumah adat: RAJO RINGA, Wolorowa-Sarasedu. Rumah adat yang turun dari kampung Sara.

Sebagai orang Rajo Ringa jumlah kami cukup besar. Kami turunan dari BATE GEGO & ITU DHIU. Bate Gego dan Itu Dhiu melahirkan Baghi Itu, Due Itu, Kaki Itu, Bingo Itu dan Bongo Itu. Cucu cece Bate Gego saat ini menyebar di seluruh Nusantara, bahkan beberapa sudut dunia.

Dari rahim Rajo Ringa lahir tiga imam Tuhan. Anton Mite dari turunan Du'e Itu. Richard Muga dari turunan Baghi Itu. Saya sendiri dari turunan Kaki Itu. Karena itu dia minta kami bertiga menari bersama dengan kasula imamat saat lagu madah syukur pesta perak beliau tahun 2015 di Wolorowa. Beliau juga yang membawakan kotbah misa pertama Richard dan saya di lapangan Kurubuli 7 September 1997.

Sejak kecil Anton terkenal sebagai anak pintar. Dia siswa angkatan pertama SDK Wolorowa yang tahun ini berusia intan. Dari begitu banyak teman, hanya dia dan salah satu temannya yangg lulus ujian akhir SD.

Setamat SD Anton melanjutkan pendidikan ke Seminari Mataloko. Dari Mataloko Anton memilih masuk SVD. Dia menjadi anggota SVD hingga tahun-tahun terakir menjelang kaul kekal.

Sejak kecil Anton terkenal sangat rajin. Tapi juga anak bandel. Mama kami Veronika Wea Deru selalu menyebutnya "Ulu Watu atau Kepala Batu". Anton berbadan atletis dan berisi. Masih SD dikenal suka berkelahi. Teman-teman SDnya takut. "Anton melo meze, kami mizo", kata mereka. Artinya karena badan besar, Anton remehkan kami. Kami takut.

Anton memiliki banyak bakat. Dia dikenal sebagai pemain bola kaki handal. Dia bisa menjelajahi seluruh lapangan. Orang Wolorowa dan teman-teman kelasnya di Mataloko hingga Ledalero menggelar beliau dengan istilah KABA LUKU.

‘Kaba Luku’ artinya kerbau yang selalu tangguh menarik bajak di ladang atau sawah. Di lapangan bola, Anton bandel dan tangguh seperti kaba luku itu. Tendangannya keras. Tandukannya juga deras. Di hadapan Anton hanya ada dua pilihan. Bola lewat manusia di tempat atau manusia lewat tapi bola di tempat. Anton juga pemain Badminton dan pingpong yang bagus. Dia akan bermain dengan penuh ceria. Sambil lompat dan berteriak.

Anton juga bisa menyanyi dan bermain musik. Tidak profesional, tapi sangat mendukung tugas imamatnya. Anton pasti menyanyi sangat merdu dalam doa dan perayaan ekaristi. Kotbahnya selalu menarik. Saya kagum dan belajar banyak darinya.

Perjalanan Anton menuju imamat cukup berliku. Hingga TOP di Seminari Mataloko jalan imamat Anton aman. Menjelang kaul kekal dia keluar dari SVD. "Saya terlalu kepala batu", katanya pada satu kesempatan. Anton memilih mencari pengalaman di luar. Tahun 1983 sampai dennga 1987 Anton menjalani "Praktek Pastoral Mandiri" di luar.

Dia mulai menjadi guru SMA Klemens Boawae. Di sana beliau mengajar musik, fisika dan bahasa Jerman. Dia menjadi pemain bola terkenal di kawasan Boawae. Selanjutnya Anton pindah ke SMA Baleriwu Danga. Dia mengajar mata pelajaran yang sama. Dia terus setia dengan bakat-bakat olah raganya.

Di Boawae dan Mbay, Anton memiliki banyak fans. Mulai dari para siswi, ibu-ibu guru dan teman OMK. Satu kesempatan di awal tahun 2000-an saya guyon. "Kakak saya sejak dulu HOGA BILA atau anak ganteng. Pasti punya mantan". Anton jawab dengan gaya tertawa yang terbahak-bahak: "Haye, kakmu hoga bila, banyak orang jatuh hati, tapi saya tetap berdiri teguh".

Anton tetap kuat dan ingin menjadi imam. Ada tiga hal yang membuat dia tetap mau jadi imam. Ini pengakuannya pada saya. Pertama, dia tetap setia dengan doa brevirnya. Kedua, dia masih tetap menyimpan jubah pertama yang dia terima saat novisiat. Ketiga, dia tetap setia membantu tugas-tugas liturgi di gereja paroki.

Tahun 1987 saat Mgr. Hilarius Moa Nurak terpilih menjadi Uskup Pangkalpinang, Anton ikut ke sana. Saya terharu ketika menghantar Anton naik pesawat di Padhamaleda bersama Uskup Hila. Ketika itu Uskup Hila rayakan syukuran tahbisan Uskup di Seminari Mataloko.

Selanjutnya Anton menuju Pematang Siantar. Setelah hampir tiga tahun masa persiapan, Anton menerima tahbisan diakon. Dia menerima tahbisan imam di lapangan Ampera Mataloko tahun 1990 bersama muridnya Pater Rosarius Geli SVD. 

Anton ditahbiskan pada usia 37 tahun. Dia guyon Pater Rius. "Tuhan panggil Rius saat masih pagi. Tuhan panggil saya sudah menjelang siang. Tidak jadi masalah. Masih ada waktu setengah hari untuk melayani Tuhan. Yang penting kita siap menjawab dan tetap setia dengan jawaban kita".

Anton menjadi imam projo Keuskupan Pangkalpinang. Tampilannya terkadang tetap seperti Kaba Luku yang bandel. Dia sering ngebut dengan motor dan mobil. Dia imam yang setia sampai mati. Dia pendoa yang saleh. Anton sangat komit mendoakan orang sakit. Setiap kali cuti pasti Anton mengunjungi dan dikunjungi banyak orang sakit. Dia juga pembawa sukacita dan tempat curhat yg meneguhkan. Saya bangga dengan Anton. Dia kakak saya yang hebat!

 Sebagai imam dari rahim Rajo Ringa, kami selalu berusaha menjadi tali simpul persaudaraan dalam keluarga. Tidak mudah, tapi kami tetap berusaha mengikat dan mengokohkan persaudaraan di rumah besar kami. Kami berdua sering menyimpan bersama rahasia kekecewaan kami. Tapi kami tetap bangga dengan keluarga kami.

Anton juga rekan imam saya. Saya tahbisan 7 tahun kemudian. Kami tugas berjauhan. Saya di Ende dan Anton di Pangkalpinang. Selanjutnya saya ke Swiss. Kami bertemu saat libur. Juga selalu kontak jarak jauh.

Sebagai saudara dan rekan imam kami berdua adalah teman curhat tentang pelbagai situasi hidup. Mulai dari kehidupan kami orang Rajo Ringa, orang Wolorowa, orang Sarasedu. Kami curhat tentang ziarah hidup sebagai imam. Ada banyak pengalaman jatuh bangun dalam imamat. Ada banyak misteri hidup dan panggilan. Kami terkadang menderita batin bersama. Tapi kami sering tertawa bersama. Selama jadi imam, kami saling menyapa "HOGA BILA atau ANAK GANTENG". Hoga bila dari Rajo Ringa, jadi imam di Pangkal Pinang.

Selamat Jalan Doa Jao Hoga Bila. Selamat Jalan Hoga Woe Tua Imam. Engkau telah meninggalkan jejak-jejak kasih. Jejak-jejak itu tetap terpatri pada setiap hati. Hati yang engkau taburi dengan iman, harapan dan kasih. Kami "saudara saudari sedarah" tidak bisa menghantar kepergianmu. Tapi "saudara dan saudarimu seiman" yang akan menghantar engkau ke tempat peristirahatan terakhir. 

Itulah imam. Berakar dalam keluarga, terpatri di hati umat.

*Oleh Stefanus Wolo Itu, Imam Projo KAE, Misionaris Fidei Donum di Keuskupan Basel Swiss

Editor: Redaksi

RELATED NEWS