INFOBUKU: Kemungkinan Indonesia Bubar
Redaksi - Selasa, 25 Mei 2021 14:20Oleh Abraham Runga Mali
DATA BUKU
Judul Buku : Menakar NKRI Bubar
Editor : Ahmad Khoiri
Penerbit : Pustaka Harakatuna
Cetakan : 2021
Tebal : 292 halaman
SENGKARUT politik identitas, ketimpangan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, makin tingginya jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, ketimpangan penegakan hukum, dan ancaman radikalisme dan separatisme di Indonesia benar-benar membuat hati pilu. Bagaimana bangsa besar ini sangat ringkih membawa badannya sendiri. Suatu saat, bukan tidak mungkin, bangsa ini tidak kuat lagi untuk menyatukan seluruh organ tubuhnya hingga ia dimutilasi beragam pihak lain menjadi serpihan wilayah-wilayah seperti beberapa negara dunia semisal Syuriah dan Balkan.
Hal tersebut menggerakkan Ahmad Khoiri menyusun buku ini. Menurutnya, ada dua faktor utama yang mengancam NKRI, yaitu radikalisme dan separatisme. Radikalisme di negeri ini berkaitan erat dengan umat Islam. Keterkaitan itu disebabkan umat Islam adalah warga mayoritas yang melahirkan populisme yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah mereka untuk mendirikan negara Islam hingga saat ini.
Populisme
Populisme, sebagaiman dilansir History, merupakan gaya politik yang digunakan untuk memobilsasi massa melawan kekuatan yang berkuasa (halaman 9). Populisme dalam tubuh umat Islam, menurut Ahmad Khoiri, pada dasarnya tidak riil sebab benar-benar tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Jika dipresentasekan pendukung khilafah atau negera Islam dalam platform HTI atau FPI, hakikatnya jauh dibandingkan dengan persentase umat Islam yang menolaknya.
Namun demikian, gerakan populisme Islam cukup berani mengatakan bahwa mereka perwakilan seluruh umat Islam dan nampaknya mereka, dalam beberapa dekade, cukup berhasil merealisasikannya. Hal ini dilihat dari makin naiknya jumlah para peminat dan juga cukup terganggunya kondisi negara sehingga pemerintah lantas perlu memadamkan gerakan-gerakan tersebut.
Sebagai organisasi, negara bisa mengunci mati gerakan populisme Islam seperti FPI, dan HTI. Namun, secara ideologis, konsep khilafah atau negara Islam tidak mudah dilenyapkan dari pikiran penganutnya. Ini semua tidak lepas dari persoalan cacat demokrasi yang disangsikan efektifitas dan kebenarannya oleh umat Islam, adanya kepentingan elit politik, terpuruknya ekonomi umat Islam akibat pemerintah korup, dan narasi ancaman terhadap eksistensi agama Islam misalnya oleh rezim komunis. Dengan beragam alasan ini, populisme Islam sulit atau bahkan mustahil dieliminasi dari negeri ini.
Gerakan populisme tersebut, menurut Ahmad Khoiri, mengandung kesalahan mendasar karena ia bertentangan dengan Pancasila dan berniat mengubah dasar negara. “Konsensus NKRI telah final. Indonesia bukan negara sekuler bukan negara Islam. Konsep ini menurut Nurcholish Madjid memang agak rumit, tetapi benar penerapannya,” (halaman 20). Populisme juga diarahkan untuk menjadi lawan pemerintah dan berniat mendelegitimasi bahkan kalau perlu menggulingkan pemerintah yang sah lewat jalan kudeta dan tindak kekerasan atau teror.
Ahmad Khoiri mengutip pandangan Said Hawwa bahwa umat Islam lebih terikat pada aturan agamanya daripada aturan negaranya. Dengan kata lain, aturan negara masih di bawah aturan agama. Jika misalnya aturan negara berseberangan dengan agama, umat Islam akan frontal menolak bahkan menentang negara. Populisme Islam di Indonesia juga demikian. Mereka penuh gairah hendak mengusung Syariat Islam sebab mereka menganggap dasar negara, undang-undang negara, dan seluruh aturannya tidak islami.
Sebab itu, Ahmad Khoiri sepanjang halaman 169-194 dan 250-270, menjelaskan dan menegaskan dari perspektif sejarah kenabian, dalil ajaran Islam, serta pandangan ulama bahwa dasar dan aturan negeri ini sesuai dengan ajaran Islam. Tentu saja semua penjelasan tersebut berdasarkan pada tafsir-tafsir yang menjadi antitesis tafsir kalangan populisme.
Terorisme
Teror yang dilakukan kelompok radikal, salah satunya, disebabkan gairah mereka yang tinggi terhadap Islam berbanding lurus dengan kesalahan memahami ajarannya. Buku Tafsir Dekontruksi Jihad dan Syahid menyebutkan bahwa Teks “teror” seperti qital, jihad, dan harb, memang termaktub dalam kitab suci Islam. Disertasi doktoral tersebut juga menjelaskan bahwa dalam sejarah aksi “teror” tersebut biasanya diformat dalam invasi teritorial dan dirias dengan sakralitas sejak berdirinya imperium Umayah dan Abbasiyah. Aksi “teror” tersebut tentu memesona karena didoktrin sebagai perintah agama dengan iming-iming surga yang di dalamnya dihuni para bidadari (Asma Afsaruddin, 2018: 13-16).
Ahmad Khoiri juga menjelaskan bahwa setiap tindakan teror yang dilakukan umat Islam disebabkan salah menafsiri teks kitab suci. Masalahnya akan makin runyam saat tafsir teks “teror” tersebut berafiliasi dengan gerakan populisme yang didesain tokoh berpengaruh dan diinfiltrasi agenda politik tertentu yang skopnya lokal hingga transnasional. Afiliasi demikian terbilang rumit sebab otak penggeraknya tidak mudah ditangkap. Hanya pion-pion penebar teror yang ditangkap di lapangan yang sebenarnya mereka adalah korban cuci otak saja. Sebab itu, terorisme tidak mudah dibersihkan.
Teror yang disebarkan para separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka atau separatis di Maluku Selatan juga didasarkan pada agama yang berpaut sengkarut dengan campur tangan kepentingan elit politik lokal dan transnasional. Terkadang tokoh penggerak separatis ini, misalnya Owen Jenkins, adalah buronan negara namun leluasa mengompori terorisme dari Inggris. Tangan hukum negeri ini tidak bisa mencekalnya.
Juga, berdasarkan penelitian buku ini, senjata dan dana yang disuntikan ke dalam tubuh separatis ini berasal dari luar negeri. Gerakan separatis Timor Leste, misalnya, melepaskan diri dari NKRI karena campur tangan Australia. Tentu saja tidak ada makan siang gratis. “Tidak ada intervensi pihak lain yang terjadi secara cuma-cuma,” kata Nurcholish Madjid (halaman 152). Seperti halnya Timor Leste, Papua kemungkinan besar juga akan memisahkan diri disebabkan persoalan ekonomi, politik, sumber daya alam, dan intervensi kekuatan transnasional seperti Australia, Amerika, dan Inggris. Ada kekhawatiran bahwa ia akan melahirkan efek domino terhadap daerah lain untuk memisahkan diri pula.
Sulit Bubar
Semua negara yang bubar, menurut Ahmad Khoiri, pada dasarnya disebabkan tidak becusnya pemerintah mengurus negara dan rakyat. Sebab itu, banyak rakyatnya tidak sejahtera karena miskin dan tidak aman sebab lemahnya hukum. Sementara di sisi lain para pejabat melakukan korupsi gila-gilaan (halaman 274).
Rakyat yang idealnya harus disejahterakan karena memiliki kontrak resiprokal-mutualistik dengan negara, ternyata justru menderita. Mereka tidak memiliki rasa nasionalisme karena rasa tersebut tidak memenuhi syarat untuk dimiliki. Tidak masuk akal rakyat mencintai negeri yang telah membuat mereka menderita. Di saat demikian, tawaran idelogi lain yang lebih menjanjikan tentu menarik hati. Inilah salah satu faktor terbesar munculnya pergolakan dengan segala variannya, di antaranya radikalisme dan separatisme, yang mengancam stabilitas negara.
Ahmad Khoiri optimistis bahwa NKRI tidak akan bubar asalkan segera melakukan beberapa pembenahan yang terkait dengan keadilan ekonomi, perbaikan pendidikan, kesehatan, dan juga paradigma kebangsaan dan keislaman yang sampai sekarang masih bisa dikatakan buruk. Azyumardi Azra juga, saat webinar peluncuran buku ini, optimistis bahwa NKRI tidak akan bubar. Jika menggunakan skala 1-10, kemungkinan Indonesia bubar hanya berada di skala 2.
Menurutnya, menjelang Indonesia merdeka, negeri ini diramalkan akan pecah sebab tidak memiliki fondasi pemerintahan yang kuat. Nyatanya ramalan tersebut salah. Pasca-Reformasi juga diramalkan negeri ini akan bubar sebab masyarakat akan berada dalam pusaran kebebasan lepas kontrol. Ramalan ini juga keliru.
Menurut pakar sejarah ini, ada beberapa sebab yang membuat negeri ini tidak mudah bubar, di antaranya adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat maritim yang sejak dulu memiliki pandangan dan sikap kosmopolitan. Keberadaan mayoritas umat Islam di negeri ini juga menjadi pemersatu. Dengan kesamaan keyakinan, mereka menjadi satu saudara yang saling menjaga walaupun mereka berada dalam pluralitas suku, budaya, daerah, bahasa, ras, dan lain sebagainya.
Buku ini menjadi penting dikaji karena memberikan perhatian besar terhadap keutuhan bangsa. Kajiannya lintas literatur. Tidak hanya memberikan ragam masalah yang terjadi, buku ini juga memberikan solusi bagaimana masalah tersebut bisa diatasi. Lazimnya, buku terbitan Pustaka Harakatuna, sepanjang amatan saya, adalah penentang utama khilafah dan harakah sejenis karena ia diyakini menjadi ancaman serius bagi NKRI. Namun, buku ini melebarkan cakupan pandangnya tidak hanya pada bahaya radikalisme Islam, namun juga pada separatisme dan kelemahan pemerintah dengan kadar amatan proporsional. (*)