INTERVIEW: Maksimilianus Jemali (Pemenang Nusantara Award 2021): “Hambor Bisa Menjadi Modal  Perdamaian Terbesar di Manggarai”

redaksi - Minggu, 29 Agustus 2021 18:12
INTERVIEW:  Maksimilianus Jemali (Pemenang Nusantara Award 2021): “Hambor Bisa Menjadi Modal  Perdamaian Terbesar di Manggarai”Maksimilianus (Lian) Jemali (sumber: Dokpri)

RUTENG (Floresku.com) - Minggu, 29 Agustus 2021, Jivansi dari floresku.com berhasil melakukan interview dengan salah satu pemenang Nusantara Award 2021 untuk kategori penulisan proposal disertasi terbaik tingkat nasional yaitu Maksimilianus Jemali. Dosen UNIKA Santu Paulus Ruteng yang biasa disapa Lian ini sedang menjalankan studi program doktoral di ICRS, Universitas Gadjah Mada . ICRS adalah program S-3 internasional dalam bidang lintas agama dan budaya yang mahasiswanya berasal dari berbagai negara. 

Prestasi yang diraih oleh mantan Ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero dan penulis buku ‘Tindakan Politik Perspektif Hannah Arendt’ ini sangat membanggakan karena berhasil mengharumkan nama Manggarai dalam ajang kompetisi  nasional. 

Berikut adalah petikan wawancara tim floresku.com (FC) dengan Bapak Maksimilianus Jemali/MJ.) 

FC: Selamat siang, Pak Lian. Kami baru saja memperoleh informasi bahwa Bapak meraih penghargaan “Nusantara Award 2021” di tingkat nasional. 

MJ: Selamat siang juga. Informasi itu benar. Saya mengikuti kompetisi penulisan proposal disertasi terbaik di ajang “Nusantara Writing Grant 2021” yang diselenggarakan oleh Nusantara Institute. Kebetulan tema disertasi saya relevan dengan orientasi dari kompetisi ini yaitu mengangkat tradisi lokal. Proposal disertasi saya berjudul, “Hambor sebagai Narasi Kecil dalam mengelola Konflik dan Situasi Damai di Manggarai, Flores, NTT”.   

FC: Bagaimana perasaan Bapak saat mengikuti kompetisi ini? 

MJ: Awalnya saya pesimis dengan tulisan saya. Saya tidak yakin apalagi nanti berhadapan dengan peserta dari kampus-kampus ternama di Indonesia. Tetapi saya mencoba sekalian menjadi kesempatan untuk memperkenalkan kebudayaan Manggarai di tingkat nasional dan internasional. Ternyata, tulisan saya dinyatakan lolos tahap seleksi awal dan memperoleh kesempatan istimewa untuk direview via zoom oleh lima panelis (para dosen) dari lima kampus berbeda di Indonesia. Pada bulan April yang lalu saya mendapat informasi dari Nusantara Institute bahwa proposal saya menjadi salah satu yang terbaik. 

FC: Publik belum banyak mengetahui tentang “Nusantara Writing Grant 2021”. Bisa diinformasikan kepada publik terkait kompetisi tersebut? 

MJ: Nusantara Writing Grant 2021 adalah ajang kompetisi nasional penulisan tesis/magsiter tesis magister / disertasi doktor yang membahas tentang topik-topik yang sesuai dengan visi, misi & platform Nusantara Institute, yaitu yang berkaitan dengan aneka ragam aspek agama, budaya, tradisi, dan kerajaan lokal di Indonesia. Untuk tahun 2021 ada 130-an proposal disertasi/tesis yang dikirim ke tim Nusantara Institute dari berbagai kampus di Indonesia dan mancanegara. 

Proposal yang dianggap lolos seleksi tahap pertama, berhak  memperoleh kesempatan wawancara dengan para kandidat bersama tim panelis via Zoom. Para penelis berjumlah puluhan yang adalah guru besar dari berbagai kampus ternama di Indonesia dan luar negeri.  Pemenang yang lolos seleksi Nusantara Writing Grant (NWG) 2021  mendapat bantuan penulisan tesis / disertasi dari PT Bank Central Asia, Tbk. 

FC: Siapa-Siapa saja pemenangnya, Pak?

MJ: dari 130-an proposal yang diseleksi, hanya 5 proposal yang masuk kategori terbaik. Selain saya dari ICRS-UGM, ada  Siti Khoirnafiya (Departemen Antropologi, Universitas Indonesia), Safrin Salam (Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin),  Puji Sulani (Departemen Sejarah, Universitas Indonesia), dan Mahattama Banteng Sukarno (Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana). 

FC: Bapak memenangkan kompetisi ini dengan menulis tentang “Tradisi Hambor sabagai Narasi Kecil”. Bisa dijelaskan secara singkat apa itu hambor dan sejauh mana perannya bagi pengelolaan konflik dan perdamaian di Manggarai?

MJ: Hambor, kata bahasa Manggarai, yang berarti ‘damai atau harmoni’, merupakan tradisi perdamaian, bagian dari kearifan lokal dan model resolusi konflik berbasis budaya Manggarai.  Tradisi ini berkarakter generatif karena diwariskan turun-temurun serta dengan ritual yang spesifik. 

Namun, yang menariknya adalah leluhur kita menciptakan suatu tradisi perdamaian.  Hambor adalah kekuatan terbesar yang mengikat masyarakat Manggarai dalam perdamaian dan keharmonisan antar sesama manusia, dengan alam, leluhur, dan Pencipta.  Hambor adalah hakikat dan penjamin (modal) terbesar perdamaian di Manggarai di tengah konflik yang beragam dengan tingkatan yang berbeda. Namun, sebenarnya tidak hanya dalam konteks resolusi konflik tetapi seluruh kehidupan dan ritual orang Manggarai bernuansa hambor. 

Orang Manggarai melihat semesta ini seperti jaring laba-laba raksasa yang semua jaringnya berhubungan satu sama lain dan memiliki kekuatan utama yaitu “hambor”. Ketika saya menyebut kata atau tradisi hambor misalnya, orang-orang Manggarai pasti langsung merasakan satu spirit yang mengikat mereka “yaitu perdamaian dan harmoni”.  Hambor  juga bisa menjadi spirit bersama untuk semua orang yang tinggal dan hidup di Manggarai meskipun berbeda suku, agama, ras, dan golongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan Manggarai sebenarnya ikut berkontribusi terhadap upaya menjaga harmoni dalam keberagaman.

FC: Kenapa hambor disebut  narasi kecil dalam judul proposal disertasi, Bapak? 

MJ: sebenarnya itu berangkat dari pemikiran Francois Lyotard (filsuf asal Prancis) yang membuat dikotomi antara narasi-narasi besar dan narasi-narasi kecil. Narasi besar adalah pemikiran-pemikiran modern yang lebih menekankan satu poros keilmuan yang merujuk pada pemikiran Eropa sebagai satu-satunya referensi pengetahuan. 

Menurut Lyotard, di era postmodern, sumber pengetahuan mesti beralih kepada narasi-narasi kecil yaitu kebenaran yang menyebar  dalam berbagai kebudayaan. Bahwa kebenaran itu tidak tunggal tetapi plural dan partikular yang merujuk pada penghayatan oleh masyarakat tertentu. Saya sangat yakin bahwa setiap kebudayaan memiliki tradisi tertentu dalam konteks perdamaian, dengan ritual tertentu, dinternalisasi atau dieksternalisasi dengan cara tertentu. Dalam hal ini, tugas berbagai kalangan atau Anda untuk mengkesplorasinya secara intensif sehingga menjadi kajian yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. 

FC: Apa harapan Bapak untuk generasi muda terkait pengembangan budaya lokal? 

MJ: Semoga prestasi dan eksplorasi saya tentang tradisi hambor juga menjadi motivasi kepada generasi muda supaya tetap setia mempelajari, memelihara, dan mengembangkan tradisi masing-masing yang diwariskan secara turun menurun. Kita mesti bertanggungjawab untuk menjaga apa yang pernah dilakukan oleh leluhur kita walaupun ada ruang untuk modifikasi, restrukturisasi, atau revitalisasi kultural. Sekiranya tradisi-tradisi lokal kita tidak   mudah tergerus atau terbenam oleh perkembangan zaman. Kalau bukan kita, siapa lagi. 

Ketika saya menulis tentang tradisi lokal, saya juga menunjukkan jati diri dan kebanggaan sebagai seorang putra Manggarai. Seorang Manggarai yang bangga dengan masyarakatnya, bangga dengan tradisinya, bangga dengan leluhur yang sudah mencetuskan tradisi perdamaian, dan bangga juga untuk memperkenalkannya secara luas.  Ajang yang saya ikuti ini merupakan kesempatan istimewa untuk memperkenalkan tradisi lokal (hambor) kepada dunia. Semoga dengan tulisan ini juga, pemerintah lebih memperhatikan peran tua-tua adat seperti tu’a golo melalui pembentukan lembaga adat.   

FC: Kalau boleh tahu, penghargaan prestius ini dipersembahkan untuik siapa?

MJ: Penghargaan ini saya persembahkan untuk almarhum ayah saya, mama, istri dan anak-anak yang sudah setia mendukung perjuangan saya selama studi S-3 di UGM. Juga untuk UNIKA St. Paulus Ruteng, UGM, dan untuk masyarkat Manggarai.

FC: Baik, Pak. Proficiat untuk prestasi Bapak. Sukses untuk perjuangan selanjutnya. 

MJ: Terimakasih.   

Editor: Redaksi

RELATED NEWS