Jalan Pulang ke Masa Depan (Apresiasi Jalan Kreatif Festival Jelajah Maumere 2025)
redaksi - Senin, 15 September 2025 11:24
Oleh: Steph Tupeng Witin*
KITA mesti mengapresiasi jalan kreatif yang digagas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sikka melalui Festival Jelajah Maumere (FJM) tahun 2025.
Saya melihat festival ini tidak sekadar melarutkan diri dalam gebyar promosi pariwisata yang dangkal: mendatangkan turis. Tapi sebuah upaya intelektual dengan kesadaran terjaga yang menarasikan kepekaan terhadap konteks lokal.
Birokrasi dan politik kita di “Republik Sialan” (meminjam judul buku Uskup Maxi Regus) ini selalu diidentikkan dengan “pesta.” Lihat saja musim Pileg atau Pilkada. Rumah para kandidat itu jadi tempat “pesta.”
Raungan musik keras tidak kenal waktu. Mereka memfestivalkan goyangan privatnya di ruang media sosial. Bahkan orang-orang yang kehilangan urat malu ini menari-nari sampai ke ruang publik sekelas ruang sidang DPR RI. Risikonya fatal: publik marah lalu menjarah kecongkakannya.
Birokrasi dalam segala level menggelar festival dalam aneka tema. Rancangan beragam acara lebih mengarah pada nada “pesta.” Ruang untuk menggaungkan naluri tradisional di media sosial. Kadang ruang publik sekelas festival jadi arena menggebyarkan desakan naluriah.
Orang menunjukkan diri, jenis pakaian, gestur badan, riasan wajah, pameran kosmetik. Semua bermuara pada fulus. Festival sekadar menjadi ritus tahunan yang dangkal. Pejabat-pejabat sibuk berdandan agar bisa terekam dalam video. Siapa tahu banyak yang subscribe dan sekejap viral.
Gubernur, bupati, walikota bersama para wakilnya menyiapkan diri untuk tampil mengesankan. Baju dinasnya dijahit agak “sesak” biar terkesan ikuti arahan Presiden: efisiensi anggaran meski kementerian dan badan baru dibentuk untuk menampung perut kroni dan tim sukses melarat.
Meski saat debat publik tidak mengerti apalagi memahami “status quaestionis” dari pertanyaan yang diajukan. Asal jawab saja. Lebih tepat: jawab asal-asalan. Persis gatal di kepala tapi garukan tangannya nyasar ke pantat.
Festival Jelajah Maumere (FJM) mengajak segenap elemen rakyat Sikka, bahkan seluruh rakyat di Flores dan Lembata agar memuliakan kearifan lokal.
Tema yang diusung: Wini Ronan atau lumbung benih. Tema ini mengapresiasi kebudayaan Sikka yang tumbuh dari tradisi bertani dan berladang.
Saat menyiapkan lahan pertanian dengan mencangkul, ada kearifan bekerja sama (Sako Seng), saat tanaman yang sedang tumbuh tapi diganggu hama pun ada ritusnya: Tu Teu di Kecamatan Paga dan Kecamatan Mego, Wotan Wurat di Kecamatan Hewokloang, mengusir tikus di Pulau Palue (Tu Dheu) dan di wilayah etnis Tana Ai bernama Pire Teu.
Saat masa panen, muncul tradisi syukur yang melahirkan tarian dan nyanyian, misalnya tarian Togo Pare, Tari Ga’I, Wadong dan lainnya. Tradisi bertani dan berladang ini melahirkan keyakinan tentang asal usul padi dari seorang manusia sebagaimana terungkap dalam cerita Dua Nalun Pare (Florespos.net 13/9/2025).
Penulis sangat tertarik dengan banyak narasi dalam dunia pertanian berladang yang dihidupi petan-petani sederhana di kampung-kampung khususnya di wilayah Lio yang ditulis Pater Piet Petu SVD yang lebih dikenal dengan nama “Sareng Orinbao”, nama yang ia adopsi dari marga orangtuanya.
Buku besar dan panjang itu berjudul: “Tata Berladang Tradisional & Pengaruh Dominan Ibu Padi, Suku Lio” yang penulis terima langsung dari tangannya saat belajar di Ledalero. Sebuah buku yang membuktikan ziarah intelektual Sareng Orinbao menjelajah lekuk wilayah Lio di perbatasan barat Kabupaten Ende-Sikka.
Sebuah perjalanan kemanusiaan untuk menghargai kearifan lokal dan norman-norma adat. Semua terdokumentasi rapi dalam buku sehingga generasi yang hidup di era serba instan ini belajar untuk menghargai karya tulis yang lahir dari perjuangan keringat dan air mata.
Semua tradisi ini biasanya terjelma dalam narasi sastra lokal dengan syair-syair yang tidak hanya indah tapi memiliki makna yang “mendalam.” Sebuah momen untuk memerkaya khazanah kesusastraan lokal Sikka.
Kita bersyukur karena dari ladang dan kebun, orang-orang kecil dan sederhana yaitu petani-petani kita, mampu menghadirkan kebijaksanaan hidup yang mesti menginspirasi nurani gerombolan elite politik dan birokrasi dalam karya pengabdian kemanusiaan.
Tanah itu rahmat Tuhan yang keramat dan sakral. Tidak pernah ada syair dalam Sako Seng maupun ritus lain yang mengajak orang menjual tanah kepada investor untuk dijadikan area bangunan villa mewah.
Syair-syair itu merupakan ajakan kepada manusia untuk menghormati martabat tanah, merawat marwah tanah dan mewariskan keutuhan tanah kepada semua generasi.
Kebijaksaaan lokal Sikka itu sesungguhnya merupakan perlawanan budaya terhadap bandang proyek pertambangan, terutama banjir proyek geothermal yang berdaya rusak masif dan permanen kepada kehidupan, khususnya keutuhan, martabat dan kesucian tanah.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sikka mesti mengundang petinggi birokrasi di level pusat, kabupaten dan terutama provinsi agar mengasah nuraninya dengan kebijaksanaan kearifan lokal Sikka agar tidak sekadar menjadi “suara titipan” dari para bandit tambang dan geothermal.
Lumbung benih (Wini Ronan) diniatkan untuk menggarisbawahi pentingnya isu ketersediaan pangan, khususnya pangan lokal. Sebuah upaya kreatif mengabadikan dan memuliakan benih dan bibit lokal yang sudah menghilang dari lumbung dan ladang-ladang petani kita.
Padahal benih dan bibit lokal itu telah teruji kualitasnya melintasi zaman sejak nenek moyang. Mutu benih dan bibit lokal itu telah teruji dalam pergulatannya dengan kemurnian tanah dan lintasan zaman dengan semua gelombang penyakit, virus dan hama.
Hampir tiap zaman menghadirkan virusnya tersendiri yang bergerak bagai rudal yang siap menghancurkan. Tapi benih dan bibit lokal tetap eksis. Bahkan ketika musim paceklik dan krisis moneter yang melanda seluruh dunia, terbukti benih dan bibit lokal membangun ketahanan pangan yang sangat kuat.
Badai semodern apa pun tidak mampu meruntuhkan bangunan pangan lokal di kampung-kampung. Tetapi perlahan tanpa kita sadari, kekuatan berdaya rusak masif dan berdaya hancur dahsyat merengsek masuk hingga ke kampung-kampung dan mengganggu “kenyamanan” benih dan bibit lokal.
Benih-benih transgenik yang diciptakan oleh kapitalis di laboratorium-laboratorium mahal bernafsu besar untuk menguasai benih dan bibit. Ada sebuah upaya yang didukung penuh pemerintah melalui kementerian pertanian untuk membunuh keberadaan benih dan bibit lokal.
Pemerintah republik ini telah menjadi perpanjangan tangan salah satu mesin kapitalisme yang mencakar langsung ke basis-basis lokal pedesaan dan kampung. Petani berhadapan dengan kekuatan global yang berdaya menenggelamkan sendi-sendi ketahanan pangan petani.
Benih-benih transgenik hadir dengan kampanye masif “kemurahan hati” untuk melipatgandakan produksi pangan. Janji kesejahteraan. Bahkan didukung dengan penyuluhan teknis di lapangan oleh aparat yang diberi makan oleh negara.
Petani yang tidak kritis, apalagi bermental instan, larut dalam bujuk rayu kapitalisme yang kaki tangannya adalah orang-orangnya sendiri yang kebetulan menjadi aparat negara. Ketika membaca laporan dan berupaya memahami makna Festival Jelajah Maumere (FJM).
Penulis teringat ada satu buku bagus dengan editor Melki Koli Baran yang diterbitkan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Larantuka yang didukung Yayasan TIFA.
Buku berjudul “Pangan Lokal, Kembali ke Masa Depan” (2014) mendokumentasi kesaksian militansi petani di tanah Lamaholot Flores Timur yang berjuang melawan penetrasi benih transgenik melalui program pemerintah demi memuliakan dan mengabadikan benih dan bibit lokal yang sangat terancam keberadaannya.
Buku ini membuat saya teringat kepada mentor saya, Pater Petrus Nong Lewar SVD, pastor petani di tanah Lamaholot yang makan, minum, diskusi dan tidur bersama petani-petani di pondok kebun.
Sebuah pastoral pertanian berbasis kekuatan lokal. Sebuah pastoral kreatif bersama rekan-rekan aktivis LSM dan segelintir aparat birokrasi yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap dunia pertanian.
Pastor tua berambut putih ini sangat mencintai buku sehingga sangat terbuka dalam membangun diskursus dengan para petani sederhana. Pastor itu punya status sosial tinggi sehingga kadang-kadang bertindak arogan dan serba tahu, susah mendengarkan umat yang kecil dan kadang lupa untuk terus belajar hidup dari orang-orang sederhana.
Saya ingat, ketika berada di Jakarta, ia meminta saya membeli buku: Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban” (Kompas, 2006) yang berisi gagasan banyak pemikir seputar produk pertanian sebagai komoditi, pertanian sebagai tarian alam, dan sinergi revitalisasi pertanian melalui epistemologi dan ilmu budaya.
Pastor ini tidak hanya urus ritus altar saja tetapi menjadi dunia pertanian sebagai “altar” pengabdiannya yang konkret. Hal yang hingga sekarang terasa menjadi sesuatu yang asing bagi “rekan-rekan seperjalanannya” adalah terus belajar hidup dari orang kecil dan setiap hari ada waktu.
Saya berpikir, Festival Jelajah Maumere (FJM) yang gagasan intelektualnya didukung sejumlah buku yang penulis sebutkan di atas, merupakan ajakan bahkan kampanye besar kepada segenap elemen hidup agar sesegera mungkin menempuh “Jalan Pulang ke Masa Depan” dengan kembali ke pangkuan kekuatan pangan lokal.
Ketika dunia dilanda berbagai krisis besar yang menempatkan manusia pada titik nadir, ajakan kembali ke alam merupakan solusi yang mendesak.
Kita belajar dari alam dan lingkungan yang jika dijaga kemurniannya akan menopang hidup dengan kesabaran dan penuh kaish. Bangunan yang tidak akan begitu mudah dihancurkan.
Kita makan pangan yang murni dan asli dari alam. Tanpa pupuk transgenik, tanpa semprotan air penyakit produksi pabrik milik para kapitalis. Alam memiliki kearifan yang luar biasa untuk memproduksi pangan yang mampu bertahan abadi.
Ajakan untuk kembali ke pangan lokal berarti kembali kepada alam yang murni dan asli. Ajakan itu sejalan dengan gerakan untuk memelihara keutuhan alam dan menjaga kemurnian kehidupan.
Gagasan ini sejalan dengan slogal “keberlanjutan” yang seringkali hanya sekadar dilekatkan pada akhir kata “pembangunan” yang sejujurnya memiliki daya perusak yang sangat masif.
Ajakan pulang ke masa depan berarti menolak tambang dan proyek geothermal karena itulah monster jahat berdaya rusak dahsyat. Kita tidak pernah boleh memuliakan pangan lokal dan pada momen yang sama menerima tambang dan proyek geothermal.
Masa depan memiliki kepastian ketika semua elemen memulihkan tanah, menjaga keutuhan hidup dan merawat keberlanjutan napas semua makluk.
Kuncinya tidak membiarkan seorang pun, dengan kekuatan apa pun, melubangi tanah dan menghancurkan keutuhan jejaring komunitas kehidupan yang telah teretas sebelum kita dilahirkan.
Mari kita pulang ke masa depan tanpa tambang, tanpa geothermal. Mari kita tinggalkan masa lalu: pikiran, kampanye dan nasfu untuk merusak keutuhan alam. Festival Jelajah Maumere (FJM) 2025 adalah “Jalan Pulang ke Masa Depan.” *
*Penulis, Jurnalis, Pendiri Oring Literasi Lembata.
Catatan: Artikel ini pernah ditayangkan di Flores Pos.Net pada Senin, 15 September 2025 - 09:10 WITA.