Jejak Migran Purba dari Minangkabau di Tanah Manggarai, Flores

Redaksi - Rabu, 17 Februari 2021 05:51
Jejak Migran Purba dari Minangkabau di Tanah Manggarai, Floresjejak kami migran purba minangkabau (sumber: 2021/02/1613490662059.jpeg)

Para tetua Todo-Pongkor mengatakan bahwa leluhur mereka bernama Mashur, salah seorang keturunan Raja Luwu. Namun, nenek moyang Mashur berasal dari Minangkabau. Migrasi orang Minangkabau ke berbagai wilayah di Asia Tenggara pada 1500-an, termasuk ke Manggarai, didorong oleh tekanan budaya matrilineal di tanah Minangkabau sendiri. Menurut catatan Robert Pires dalam Suma Oriental, diketahui bahwa pada sekitar awal 1500 terdapat Tiga Raja yang berkuasa di Minangkabau yaitu Raja Alam, Raja Sabda dan Raja Ibadat (Cortesao A 1944). Sedangkan menurut catatan yang dibuat antara 1513-1515, dari ketiga Raja Minangkabau tersebut hanya satu yang telah memeluk Agama Islam sejak 15 tahun sebelumnya. Hal itu berarti bahwa agama Islam sudah mulai berkembang di Minangkabau pada sekitar 1498 – 1500.

Pada awal 1500an, banyak orang Minangkabau yang pindah ke sisi timur Sumatera bahkan hingga ke Semenanjung Malaya, di wilayah kesultanan Malaka. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, banyak orang Melayu termasuk orang Minangkabau yang bermigrasi ke kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Saat itu kerajaan Goa belum memeluk Islam. Jadi, orang-orang Melayu dan Minangkabau itulah yang memperkenalkan Islam ke kerajaan Goa, dan kemudian ke Bima yang takluk kepada Goa.

Konon Mashur adalah seseorang yang diberi kepercayaan untuk memimpin pasukan kesultanan Goa (Gowa) memasuki daerah Flores barat pada 1666. Mereka memasuki wilayah barat Flores dari arah utara (Luwu), berlabuh dan singgah di Reo lalu bergerak ke arah Barat dan menerap beberapa lama di Barloka ( Warloka). Lalu mereka menuju pantai selatan Flores, tepatnya dari daerah Iteng – Satarmese sekarang. Dari situ mereka bergerak ke arah pedalaman dan sampai ke wilayah Todo-Pongkor.

Di tempat yang baru, Mashur dan rombongannya memperkenalkan hal-hal baru yang belum dikenal penduduk asli. Hal-hal baru yang diperkenalkan antara lain peralatan dari besi, sistem pertanian dan perladangan, memintal benang, dan mendirikan rumah besar. Oleh karena jasa dan berbagai kelebihan yang dimilikinya, penduduk asli mengangkat Mansur menjadi pemimpin. Melalui pernikahan dengan warga asli, keturunan Karaeng Mashur dan rombongannya kemudian hari menjadi cikal bakal dari komunitas adat Todo – Pongkor sekarang.

Cerita lisan mengenau asal usul leluhur dari Minangkabu tampaknya didukung oleh sejumlah situs peninggalan kaum migran purba dari Minangkau di beberapa desa di wilayah Manggarai Barat dan Tengah.

Situs terkait migran purba Minangkabau

Jejak mingran purba Minangkabau di Manggarai pernah ditelusuri Kompas Travel pada 2019 silam. Kepada KompasTravel, penjaga situs Wisata Kampung Runa, Hubertus Dantol (59) menjelaskan bahwa Beo Rua, kampung Runa adalah kampung tertua di hamente Kolang. Letak kampung ini sejajar dengan pantai Nangalili di bagian selatan dari Kabupaten Manggarai Barat.

Sebagaimana dirilis oleh Kompas.com - 31/08/2019, 13:07 WIB, kru Kompas Travel mencatat, ada empat kampung yang memiliki bukti sejarah kedatangan orang Minangkabau di kedaluan Kolang ribuan tahun lalu. Pertama, Kampung (Beo) Teno, ada jejak Bukit Kolang yang disinggahi oleh orang Minangkabau dengan Nama Pesau di sekitar perkampungan tersebut.

Kedua, Kampung Lembah Kolang. Setelah menetap sementara di golo (bukit) Kolang di sekitar perkampungan Teno, orang Minangkabau itu menyusuri lembah-lembah dengan melewati Daerah Aliran Sungai (DAS) Wae Impor. Kemudian mereka tiba di Kampung Lembah Kolang dan menetap ke perkampungan itu hingga meninggal dunia. Hingga saat ini, bukti kuburannya masih bisa dilihat.

Ketiga Kampung (Beo) Runa, berada di Lembah Kedaluan Kolang. Kampung Lembah Runa masih tersembunyi dari promosi dan publikasi luas di media massa.

Kompas Travel juga mencatat terdapat enam situs jejak orang Minangkabau, sebagai leluhur orang Runa yang masih terjaga dengan baik di bebatuan besar di sekitar perkampung lembah Runa. Pertama, situs Compang Runa, di situs batu compang, tempat mezbah yang berada di ujung kampung bertuliskan, R U N K W. tulisan itu masih terjaga dengan baik. Walaupun saat ini penuh dengan lumut. Jikalau kena hujan maka tulisan ini bisa dibaca dengan jelas.

Kedua, Situs Watu Mbolong, batu bulat, ada lima batu bulat adat Mbolong yang ada di compang di tengah Kampung Runa.

Ketiga, Watu Cermeng, batu cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Batu cermin dengan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan berada dalam satu batu besar. Bagian atas batu itu ada dua batu berbentuk cermin dan bagian bawahnya terdapat gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Keempat, gambar kaki laki-laki dan perempuan di batu dengan nama situs Rukuh Tadhu. Tak jauh dari batu berbentuk cermin dan gambar jenis kelamin laki-laki dan perempuan, ada batu lain yang terdapat gambar kaki laki-laki dan perempuan dan juga ada gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan dan juga sebuah gambar rumah. Arah gambar kaki laki-laki dan perempuan itu, jari-jari kaki mengarah ke bagian barat dari Kampung Runa.

Kelima, gambar peta diatas batu. Berdasarkan penuturan orang luar dari Kampung Runa menyebut bahwa gambar peta itu seperti peta Negara India.

Keenam, Liang Segha Dewa, situs itu tempat persembunyian orang-orang Kampung Runa saat terjadi peperangan ribuan tahun lalu. Liang atau gua itu sangat dalam.

Weka dan Ture, Juga dari Minangkabau

Ata (orang) Rongga di Manggarai Timour juga memiliki lisan sendiri mengenai asal-usulnya. Meski mengakui bahwa nenek moyangnya berasal dari Minangkabau juga, Ata Rongga memiliki alur cerita yang berbeda. Dalam artikel bertajuk ‘Suku Motu Poso Dalam Lintasan Sejarah, yang dirilis melalui blognya pada 9 Januari 2010, Ireneus Lagung menuturkan bahwa menurut tradisi lisan dikisahkan bahwa nenek moyang Suku Motu Poso adalah dua bersaudara, Weka dan Ture.

Weka dan Ture berasal dari Minangkabau. Mereka masuk ke tanah Rongga dalam kurun waktu yang berbeda. Konon, Weka melarikan karena menolak menikah dengan gadis pinangan orangtuanya (puteri sang Paman). Weka bersama gadis pilihannya bernama Motu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tanah Minangkabau menuju LokoTure. Dari Miangkabau Weka berlayar melewati pantai selatan Jawa dan kemudian memilih mendarat di Loko Ture, Manggarai Timur bagian selatan.

Kedatangan Weka di bumi Rongga kemudian disusul sang adik, yaitu Ture. Kisah perjalanan Ture dari Minangkabau menuju Loko Ture berlangsung dramatis. Gelombang dan badai memaksa Kowa, sampan yang ditumpangi Ture mengalami kebocoran di laut selatan Jawa. Ture kemudian diselamatkan oleh para nelayan dari pesisir pantai selatan Jawa. Namun, karena keselo lidah mengucapkan sebuah kata maki: puki, para pelaut Jawa tersinggung dan menawannya.

Pada suatu malam, dalam mimpi Ture mendapat pentunjuk untuk menyusuri jejak sang kakak. Dalam mimpinya Ture bertemu dengan ikan paus raksasa yang kemudian menjadi Dewa Penyelamat dan penunjuk jalan baginya menuju tempat di mana sang kakak berada. Ture diminta untuk menunggang ikan Lumba-lumba (ngembu) menuju tempat kediaman sang kakak dengan bekal tujuh buah ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri jeruk asam.

Tujuh duri jeruk asam bertujuan untuk menjaga komunikasi antara Ture dan ikan lumba-lumba. Bila selama perjalanan Ture merasa gerah, ia boleh memberi isyarat dengan menusukan duri jeruk asam pada punggung sang ikan untuk menenggelamkan diri dari permukaan laut. Demikian juga bila ia sudah merasa dingin,ia bisa menusuk kembali duri jeruk asam agar sang ikan mengangkat punggungnya ke atas permukaan air.

Setelah tujuh hari tujuh malam mengarangui latutan, Ture akhirnya tiba di pantai yang kini disebut Loko Ture. Saat berpamitan dengan ikan Paus, Ture mendapat hadiah dalam bentuk sebuah pedang istimewa yang dimuntahkan dari mulut sang ikan. Pedang itu menjadi senjata untuk melawan musuh sekaligus alat untuk mencari nafkah.

Ture kemudian menetap dan mencari nafkah di Loko Ture serta menjalin interaksi dengan penduduk asli Rongga yang bermukim di sekitar wilayah pantai selatan. Perjumpaannya dengan manusia Rongga memuluskan jalannya untuk menemukan jejak atau keberadaan Weka, sang kakak.

Saat itu Weka yang sudah menetap di Sari Kondo. Rumor kencang, yang menceritakan kedatangan adiknya mendorong Weka untuk mendatangi sang adik. Semula Weka masih menaruh curiga akan keberadaan sosok adiknya itu. Dalam hatinya Weka berpikir, “Jangan-jangan sosok pemuda yang berada di depan matanya adalah penyamar yang bisa berubah menjadi ancaman serius bagi keselamatan jiwanya”.

Weka kemudian melakukan investigasi terhadap Ture hingga pada akhirnya ia benar-benar yakin setelah Ture menceritakan tentang keberdadaan sanak saudara mereka di Minangkabau serta sejumlah kisah kebersamaan mereka selama di negeri asal.

Setelah Weka cukup yakin bahwa sosok yang berada di depan matanya adalah adik kandungnya sendiri, maka terjadilah sebuah adegan dramatis yang mengharukan. Kakak beradik itu berpelukan disertai isak tangis. Pesisir pantai Loko Ture pun menjadi saksi sejarah. Kisah perantauan dua bersaudara itu terpatri dalam sebuah syair Vera:

Weka Ture ndhili mai/tu monggo Sari Kondo

Weka welu Jawa Ture / Ti Motu tanah Medzhe

Kisah yang berkembang secara turun temurun itu dikukuhkan dalam upacara/ ritus adat seperti Pau Manu, Pau Wawi, dan Pau Kamba. Dalam acara-acara itu, nama Ture dan Weka selalu disebut turunan Suku Motu, sebagai nama pertama mendahului nama nenek moyang lainnya.

Sumber:

  • Jilis A.J. Verheijen SVD, 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Penerbit, Lembaga Ilmu Pengentahuan Indonesia, Jakarta.
  • Dami N. Toda. 1999. Manggarai: Mencari Pencerahan Historiografi. Penerbit Nusa Indah, Ende-Flores.
  • Irenesu Lagung: “Menguak Kisah Sejarah dari Tanah Rongga, Flores, NTT” dalam Kompasiana.com, dirilis 4 Februari 2010   15:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55, diakses 15 Ferbuari 2021, pukul. 19.00
  • Markus Makur | Editor Wahyu Adityo Prodjo, “Menyusuri Jejak Sejarah Orang Minangkabau di Nusa Tenggara Timurhttps://travel.kompas.com/read/2019/08/31.diakses 15 Ferbuari 2021, pukul. 21.00

RELATED NEWS