Keagungan Pengantin Concitta da Silva dan Quincy Imran, dalam Balutan Tenun Ikat Motif Burung Merak, Lipa Prenggi dan Kimang

redaksi - Jumat, 26 November 2021 15:55
Keagungan Pengantin Concitta da Silva dan Quincy Imran,  dalam Balutan Tenun Ikat Motif Burung Merak, Lipa Prenggi dan Kimang Pengantin Concitta da Silva dan Quincy Imran, dalam Balutan Tenun Ikat Motif Burung Merak, Lipa Prenggi dan Kimang (sumber: Farida Denura)

KEBANGGAAN terhadap kain tenun ikat, khususnya tenun ikat Sikka mulai muncul 10 tahun yang lalu. Kala itu perayaan penikahan khususnya di Sikka maupun di daerah lain yang ditempati warga diaspora Sikka itu sendiri mulai bergeser ke busana pengantin modern.

“Ini memicu pola pikir kami, kenapa tidak memakai dan membudayakan kembali pakaian adat Sikka itu sendiri,”ungkap Don YGS da Silva, ayah dari pengantin perempuan Dona Marie Rosario Concitta da Silva dalam percakapan dengan media ini, Jumat, 26 November 2021.

Menurut Don da Silva yang akrab disapa Roy da Silva, akhir-akhir ini  berkembang tren baru yaitu gaun dari kain tenun ikat yang dikenakan pada acara-acara khusus terlebih pada perayaan pesta nikah.

Tren baru itu disambut oleh pasangan muda, Dona Marie Rosario Concitta da Silva  dan Quincy Igwahyudy Christian Imran.

 Dona Marie Rosario Concitta da Silva adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Don YGS da Silva dan Floriana Lolly DG da Silva. Wanita yang biasa disapa Concitta itu adalah cucu Raja Sikka, Raja Muda Sikka-Mo'at Don Josephus Daniel Ximenes da Silva. 

Sementara pengantin pria adalah putra pasangan Imran Idris dan Betsy Irene Paulus. 

Pada  Misa  Pemberkatan Pernikahan dan ketika mengikat janji pernikahan di hadapan Romo Andreas Sutiyo SX, Sabtu, 28 Agustus 2021 lalu di Gereja Katolik St. Matius Penginjil, Bintaro, Jakarta Selatan, kedua pengantin mengenakan busana tradisional Sikka.

Concitta memakai baju adat yang lebih praktis. Dia  lebih memilih  busana tradisional yang simple dan tidak  memakai ala gadeja juga.
Dia hanya memakai utang labu, dong, kalar gelang dan socking tiga  buah dan lenggeng.

Letak socking adalah satu  buah di depan dan dua  buah kiri kanan  adalah simbol yang menandakan pernikahan suci  seorang gadis.

Sebagai saksi pernikahan adalah J. Phillip Gobang dan Avanti Fontana,  kerabat pengantin perempuan . Mereka berdua juga mengenakan busana tenun ikat Sikka bermotif Dala Mawarani.

Resepsi pernikahan dijadwalkan akan digelar pada Minggu 28 November 2021 di Arosa Hotel di Bintaro, Jakarta Selatan. 

Tenun ikat motif burung merak

Sonya da Gama praktisi pariwisata khusus tenun ikat Sikka memberikan penjelasan tersendiri perihal busana tradisional  pasangan pengantin  Concitta dan Imran. 

Menurut dia pada saat Misa Pernikahan, Concitta  mengenakan tenun ikat motif burung merak. Ini  termasuk motif fauna.

Sedangkan, Imran mengenakan kain tenun jenis songket yang biasa dipakai para pria dengan sebutan Lipa Prenggi. 

Sementara itu, Sonya, seorang paham mengenai seluk-beluk  tenun ikat Sikka menambahkan,  sarung bermotif Merak melambangkan keagungan dan kecantikan bagi anak gadis, sedangkan dan Llipa Prenggi dipilih untuk membedakan busana wanita dan pria.

“Motif Merak sendiri masuk dalam motif Kelang Suster, karena dibuat oleh para suster pada tahun 1928 di Lela. Motof ini awalnya adalah berupa gambar piala, hosti dan anggur yang dirancang untuk kepentingan pembuatan stola para imam,"jelas Sonya yang juga pemilik Sonya Tenun Maumere sebuah toko cendramata di Maumere, Kabupaten Sikka.

Sedangkan Lipa Prenggi sendiri, Sonya menambahkan, ketika jaman kerajaan dipimpin Ratu Dona Agnes Ines da Silva punya sejarah yang berbeda. Untuk mengadakan motif ini, Ratu Dona mendatangkan para penenun dari pesisir Goa juga Bima. 

Sehingga warna bercorak pesisir tidak terlepas dari pengaruh busana orang Makassar dan Gowa yang menetap di Flores khususnya di Maumere.

Menurut Roy, seharusnya tata cara berpakaian dalam sebuah prosesi pernikahan disesuaikan dengan runutan peristiwa prosesi adat nikah itu sendiri. Ada kostum dan warna tersendiri. 

Namun saat ini menurut Roy sangat, hal ini sulit diimplementasikan lagi. “Seperti pakaian wanita saat dilamar ada dominan warna merah yang melekat pada Dong. Itu menandakan bahwa perempuan sedang mekar dan berseri serta siap untuk dipinang," jelasnya.

Warna kostum saat lepas bujang lebih mengarah ke warna kuning dan hijau untuk Dong-nya. “Artinya dia siap dipetik dan matang,” ujarnya.

"Sedangkan warna kuning atau biru laut pada pesta nikah atau di Gereja menandakan kecantikan dan ceria untuk dibanggkan bagi sang suami serta penghormatan bagi para undangan,”tutur Roy.

Menurut dia, semua warna dan urutan yang dikenakan tidak terlepas dari pengaruh busana orang Makassar dan Gowa yang menetap di Flores khususnya di Maumere. 

Sekarang hal itu telah menjadi bagian dari busana Sikka dengan corak kostum yang sangat bernilai tinggi. “Perhatikan corak warna bagi kain sarung pria, pengaruh warna dari Makasar sangat kental,”ujar Roy.

Roy menceritakan dalam memilih ragam warna dan corak untuk busana pasangan pengantin sangat teliti dan semaksimal mungkin kembali ke corak-corak lama, di abad lalu, meski seringkali perajin tidak mampu menenunnya.

“Paduan warna dan corak ini yang menghasilkan keunikan nuansa meriah pada saat  pasangan pengantin bersanding bersama-sama,”kata Roy.

Perlu diketahui, penata rambut dan penata busana  untuk pasangan pencantin ini adalah Maria Anneliesa Gobang yang biasa disapa Marlis Gobang.

Kimang dan Martabat Perempuan Sikka

Portal krisdasomerpes.wordpress.com menulis bahwa salah satu suku di Flores, Nusa Tenggara Timur yang meletakkan perempuan pada posisi yang bermartabat lantaran hasil dari perjuangan yang panjang melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan di masa silam adalah suku Sikka di Maumere.

Simbol-simbol yang selanjutnya menjadi ukuran martabat perempuan Sikka tidak hanya dapat dilihat dari belis yang dimintakan kepada pihak keluarga laki-laki ketika proses pertunanganan dimulai. Tetapi juga dari pakaian yang dikenakan perempuan Sikka ketika proses penikahan adat dilangsungkan.

Perihal itu di Sikka ada adagium yang berbunyi “Du’a utan(g)ling labu welin(g)” yang arti dan atau maknanya kurang lebih “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai, berharga”.

 Adagium ini sebenarnya memendar banyak makna. Salah satunya seperti terpatri dalam setelan baju Kimang. Sepasang baju yang dikenakan pengantin pada ketika acara pernikahan adat dilangsungkan.

Ada tiga hal menarik yang dalam dan melalui baju Kimang seorang perempuan atau gadis Sikka tampak begitu bermartabat.
Pertama, dalam bentuk uang jika diadakan atau dibeli. Coba dibayangkan dan selanjutnya diuangkan dari catatan informatif berikut ini: setelan Kimang terdiri dari bawahan berupa sarung tenun ikat bermotif dan atasan berupa baju sulam yang dipadu dengan sejenis selendang yang disebut “dong”. 

Perhiasan yang mewarnainya terdiri atas kalar gelang dari gading yang harganya jutaan rupiah, kalung leher, anting yang terbuat dari emas, dan “ala gadeja” (perhiasan penutup wajah dan hanya dikenakan oleh oleh perempuan yang masih perawan) yang terdiri dari kain dan benang¬benang yang dihiasi dengan emas yang juga mencapai jutaan rupiah.

Selanjutnya, tataan rambut disanggul ke atas, diikat dengan gelang atau benang emas, dan pada rambut yang disanggul terdapat tiga tusuk konde emas (soking telu). Tiga tusuk konde ini melambangkan tiga tahap perkawinan yang dimulai dari  persiapan, penentuan belis dan (sampai pada) upacara perkawinan itu sendiri.

Kedua, harga rasa jika dilihat secara estetis. Ada pesona yang ditawar-pendarkan jika mengenakan Kimang, apalagi jika pasangan pengantin perempuannya masih perawan. 

“Kalau nikah suci, atau nikah mulia perempuan yang mengenakan Kimang tampak lebih anggun, cantik dan menawan” demikian kesaksian orang-orang Sikka. Kesaksian yang lain “Sekalipun dipoles dengan kosmetik jenis apa pun, tetapi jika yang mengenakan Kimang adalah perempuan yang sudah tidak perawan, akan tampak berbeda, kelihatan tidak segar”. 

Boleh percaya atau tidak, tapi kesan umum di Sikka demikian.

Ketiga, secara moral dan kultural Kimang menunjukkan tentang tingkat kejujuran. Sebab sesungguhnya, tidak semua pasangan pengantin, secara khusus pengantin perempuan dapat mengenakan Kimang begitu saja. 

Kata orang-orang Sikka, ketika sang pengantin perempuan mengenakan Kimang mata akan dengan tanggap melihat “oh ini anak perawan atau tidak”. Kasat mata, hal itu dapat dilihat dari apakah pengantin perempuan mengenakan “ala gadeja” (perhiasan penutup wajah) atau tidak ketika pernikahan adat dilangsungkan. 

Jika “ala gadeja” dikenakan pengantin perempuan pada ketika upacara pernikahan dilangsungkan maka hal itu menunjukkan pengantin perempuan masih perawan, namun jika tidak, jelas mau apa dikata.

Namun, poin terakhir ini (sekali lagi) hanya dapat diukur dengan niat baik dan kejujuran sang pengantin. Namun pula, percaya atau tidak, mata ibu-ibu, mama-mama Sikka dapat melihat dengan amat jelas nilai tersebut. Sampai saya berkesimpulan bahwa mata keyakinan moral dan cultural tidak dapat dibohong.

Tiga harga Kimang  ini tak dapat ditakar. Dalam dan melaluinya martabat perempuan ditampil-kedepankan. Tidak dapat dielak bahwa melampaui dari segala jumlah harta benda yang diuangkan, harta terbesar dalam kehidupan berbudaya adalah ketulusan dan kejujuran itu sendiri. 

Hal itu, menjadi norma universal yang dapat ditemukan pada segala tempat dan suku. Di Sikka, nilai itu, salah satunya, ditunjukkan dalam dan melalui Kimang.

Busana adat tenun Sikka yang lengkap dengan Kimang pernah dikenakan pada pernikahan putri kedua Roy da Silva, Dona Marie Kanena da Silva & David Wenur di Gereja Katolik St. Matius Penginjil, Bintaro, Jakarta Selatan pada 29 September 2021.

Ini menjadi bukti bahwa  sungguh tepatlah adagium Sikka yang berbunyi “Du’a utan(g)ling labu welin(g)”  atau “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai, berharga. Mulia dan agungnya pengantin dibalut tenun Sikka. 

Selamat menempuh hidup baru Dona Marie Rosario Concitta da Silva  dan Quincy Igwahyudy Christian Imran. ***

Oleh Farida Denura.

Editor: redaksi

RELATED NEWS