Keagungan Persahabatan Itu Tak Memudar (Di Mana Engkau Berada, di Situ pun Aku)

redaksi - Jumat, 13 Agustus 2021 11:42
Keagungan Persahabatan Itu Tak Memudar (Di Mana Engkau Berada, di Situ pun Aku)Ilustrasi: Persahabatan (sumber: Ist)

Sebuah refleksi atas Rut 1:1-22

Oleh Pater Kons Beo, SVD

NAOMI. Perempuan Israel, orang Efrata dari suku Yehuda itu ada di titik puncak kebahagiaan. Naomi hidup ceriah bersama Elimelekh, suaminya. Tak cuma itu! Tuhan tunjukan berkat nyata bagi Naomi.

Hadirnya dua putra sudah cukup untuk lebih membahagiakannya lagi. Mahlon dan Kilyon itulah kelengkapan kasih Naomi dan Elimelekh, sang suami. Bukankah kehadiran anak-anak laki adalah tanda berkat Tuhan? Pun jadi tanda harapan kelangsungan bangsa Israel dan kehormatan suku? Naomi tak jadi aib dan batu sandungan bagi Elimelekh, suaminya. Iya, Elimelekh sudah punya nama dan diperhitungkan dalam keluarga besarnya.  

Sayangnya, tibalah satu situasi yang sungguh berbalik. Di Jaman Para Hakim memerintah bencana kelaparan mendera Israel. Kitab Rut punya cerita bagaimana Elimelekh mesti hijrah ke tanah Moab. Membawa Naomi dan kedua putranya adalah tindakan bijak. Tak peduli entah harus menjadi orang asing di tanah Moab  sekalipun (Rut 1:1). Bagi Elimelekh keselamatan keluarga adalah segalanya!

Namun nasib malang tak terhindarkan. Di tanah asing, Moab, Elimelekh menemui ajalnya. Dan Naomi pun harus bertahan bersama kedua puteranya, yang lalu menikah perempuan-perempuan Moab, yakni Orpa dan Rut.

Namun badai nasib buruk tetap membuntuti Naomi. Kedua putranya, Mahlon dan Kilyon itu pun mati di tanah asing. Hati terluka menganga harus dialami Naomi untuk menjanda dan harus pula ditinggalkan selama-lamanya oleh kedua anak kekasihnya (Rut 1:5).

Kini, yang ada di benak Naomi adalah pulang ke tanah Yehuda. Naomi harus pulang dalam ketiadaan. Tanpa orang-orang yang sungguh ia kasihi. Di jalan pulang itu, Naomi membujuk kedua menantu untuk sebaiknya meninggalkannya sendiri di jalan pulang.

"Pergilah, pulanglah masing-masing ke rumah ibunya; Tuhan kiranya menunjukkan kasihNya kepadamu, seperti yang kamu tunjukan kepada orang-orang yang telah mati itu dan kepadaku" (Rut 1:8).

Naomi memang ingin kembali pulang sendirian ke tanah Yehuda. Biarlah tanpa siapa yang menemani. Dalam derita pilu tertikam di dada sendiri. Bayangkan saja dalam aura syair lagu Deritaku milik Panbers dulu-dulu itu, "Ku mau tak seorang pun tahu. Biarlah kuderita sendiri...."

Tetapi kedua menantu itu bersikeras untuk tetap bersama Naomi, mertua mereka. Sayangnya, Orpa pada akhirnya memutuskan untuk tinggalkan Naomi. Tetapi sikap itu tidak berlaku bagi Rut. Kita pantas renungkan kata-kata Rut penuh ketegasan:

"Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan" (Rut 1:16-17).

Rut tak cuma lukiskan satu kesetiaan seorang anak (mantu) terhadap ibu (mertua). Di baliknya, ada gambaran persahabatan yang berbobot.

Di kisah kehidupan nyata, relasi tidak baku enak menantu dan mertua  sering terjadi sengit. Anak mantu bisa jadi tertekan oleh sikap mertua yang 'cerewet mati punya; maen perintah sana-sini serta banyak sekali mau-maunya.'

Tetapi jamak  pula terjadi bahwa menantu juga sulit tampakan kepeduliaan pada sang mertua. Dia sedikit pun tak pernah sadar, bahwa ada garis sejarah hidup penuh perjuangan sang mertuanya sebelum anaknya terpilih sebagai suami atau istri tercintanya. Adalah bencana dalam keluarga (besar) saat irama hati mertua dan menantu ternyata sungguh bertolak belakang!

Rut bisa menjadi gambaran kesetiaan seorang menantu pada mertua. Ia sedikitpun tak hendak biarkan sang mertua berjalan dalam kesendirian, kesepian, dan rasa ditinggalkan penuh derita. Hingga di akhir hayat pun ia berikrar untuk setia bersama.

Sungguh, cahaya kesetiaan Rut pada Naomi bisa pula menjadi inspirasi dasar satu citra persahabatan. Dalam situasi paling pahit dan malang, seorang sahabat selalu berada di dekat. Ia siap untuk mendengarkan, berjalan bersama, dan untuk ada bersama. Dan tak lupa, sahabat yang baik itu pun akan semburkan kemarahan pedagogik akibat satu kebengkokan hati dan arah jalan yang semakin memudar kurang bercahaya.

Di zaman yang punya aura kompetisi sengit ini, nilai persahabatan bisa menjadi suram. Terbungkus kabut. Kepentingan dan keuntungan sepihak telah jadi benalu yang mengisap sekaligus mematikan!

Virus kepentingan jadi monster mematikan bagi sebuah persahabatan. 'Ada mau-maunya' sering jadi penggerak utama demi terciptanya sekian banyak modus dari 'asal aku dapat keuntungan.'

Rut tak peduli apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Tetapi kebulatan hati tetap jadi miliknya: Kapan dan di mana Naomi berada di situ pastilah ia berada.

Tak usahlah untuk hanya mengartikannya sebagai keberadaan fisik semata. Sebab kapan dan di mana saja kita berada, seorang sahabat senantiasa tetap iringi kita dalam harapan, dalam kata-kata penuh berkat dan  dalam sepotong doa dari kesunyian dan dari kejauhannya.

Seorang sahabat tak akan pernah cepat untuk bertepuk tangan saat kita berada di ketinggian prestasi dengan segala kesuksesan. Tetapi, kata si bijak, "Lihatlah, hatinya penuh iba dan betapa tangannya cekatan dan bijak dalam menarik saat kita tersungkur."

Dalam Naomi dan Rut terpatrilah ziarah dan piagam hidup bersama penuh cahaya persahabatan! Cahaya persahabatan seperti itu bakal tak akan pernah memudar. Entah dalam situasi berat penuh tantangan. Ia kokoh untuk tak roboh berkeping-keping oleh terkaman badai zaman!

Mari kalungkan di dalam hati apa yang dipesan oleh Kitab Amsal:

"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran"
(Amsal 17:17).

Verbo Dei Amorem Spiranti

Editor: Redaksi

RELATED NEWS