Kearifan Lokal dan Gempa Bumi

redaksi - Rabu, 23 Februari 2022 10:35
Kearifan Lokal dan Gempa BumiYasintus Ratu, S.Pd, Berdomisili di Wilayah Paroki St. Klaus Kuwu. (sumber: Dokpri)

DAERAHKU, Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur kerap dilanda bencana alam. Aneka ragam model dan bentuk kemarahan alam yang pernah melandanya letusan gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi dan lain sebagainya.

 Iya menurut para peneliti dan ilmuwan zaman ini, Flores pulauku itu masuk dalam kawasan ring of fire. Kawasan cincin api yang selalu rentan dengan bencana alam.

Sekadar kilas balik. Tahun 1992 dilanda gempa bumi yang sangat hebat. Seluruh pulau bergetar dan bergoyang. Gempa bumi yang disertai dengan tsunami menelan ribuan korban jiwa kala itu.

Adakah kearifan lokal yang mendidik dan mengajarkan masyarakat untuk berdamai dan bersahabat dengan alam yang rawan dan rentan bencana itu?

Saya yakin, setiap daerah dan setiap etnis yang mendiami dan menghuni pulau ini pasti ada. 

Misalnya dalam kearifan lokal di daerahku, Manggarai. Kalau ada angin, badai dan hujan lebat yang datang menerpa. Maka orang yang menghuni rumah adat yang kami sebut mbaru gendang akan menabuh gong dan gendang.

Tujuannya jelas. Selain berharap badai dan angin cepat berlalu serta seluruh warga kampung selamat dari bahaya juga untuk mengingatkan penghuni kampung agar siaga dan waspada. Jangan larut dan hanyut dalam kesibukan saat alam kurang bersahabat.

Demikianpun saat gerhana bulan. Gong dan gendang ditabuh diiringi dengan nyanyian. 

Sedangkan saat gempa yang datang secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi.,Reaksi dan teriakan spontan warga umumnya ruha lale dan lawa do.

Ruha lale kalau diterjemahkan secara harafiah telur yang berwarna coklat. Dan biasanya, kalau ada ayam yang sementara mengeram saat gempa bumi, maka telurnya harus disiram dengan abu dapur. 

Konon agar semuanya bisa menetas. Karena kalau tidak disiram dengan abu akan gagal untuk menetas.

Bagi saya, teriakan ruha lale adalah upaya untuk mengingatkan sesama bahwa saat ini sedang terjadi gempa bumi.mari kita siaga dan waspada serta berupaya untuk menyelamatkan diri.

Lawa do, kalau diterjemahkan secara harafiah berarti orang banyak. Konon menurut mitosnya, gempa bumi terjadi karena Tuhan merasa bumi ini terlalu ringan. Sehingga Ia menggoyang dan menggoncangkannya untuk mengetahui masih ada atau sudah tidak ada penghuninya. Karena itu saat gempa bumi tiba, orang harus berteriak lawa do.

Ruha lale dan lawa do merupakan kearifan lokal untuk siaga dan waspada saat gempa bumi datang.*

Oleh: Yasintus Ratu, S.Pd
Berdomisili di Wilayah Paroki St. Klaus Kuwu. ***

RELATED NEWS