Kearifan Lokal Warga Desa Nua Ja, Kecamatan Ende: Sui Feo, Pi'a Feo

redaksi - Kamis, 23 Desember 2021 11:17
Kearifan Lokal Warga Desa Nua Ja, Kecamatan Ende: Sui Feo, Pi'a FeoKemiri atau Feo dalam bahasa daerah Ende (kiri), dan alat pemecah Feo terbuat dari pelepah Pinang (Mba'o) (sumber: Marianus PD)

'FEO' adalah sebutan bahasa daerah Ende, Flores untuk tanaman ‘Kemiri’. Feo dikenal sebagai salah satu hasil komoditi pertanian yang sangat populer di beberapa provinsi di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di NTT, tanaman Feo tersebar di semua kabupaten. Di Kabupaten Ende, tanaman Feo juga banyak ditemukan  di Desa Nua Ja, Kecamatan Ende.  

Oleh karena itu, Feo menjadi salah satu komditi pertanian andalan yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi para petani di Desa Nua Ja,  terutama dalam situasi ekonomi yang sedang sulit akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun belakangan ini. 

Betapa tidak,  harga Feo lumayan tinggi. Saat ini petani dapat menjual daging (isi biji) Feo yang sudah dikelarkan dari cakang atau tempurungnya, dengan harga Rp 22.000 per 1 (satu) kilogram. 

Musim hujan menjadi kendala yang menyulitkan para petani Desa Nua Ja untuk memproduksi daging biji Feo yang utuh. Itu berarti musim hujan juga menghambat proses percepatan perputaran uang di kalangan petani di Desa Nua Ja.

Namun, hal demikian tidak mematahkan semangat dan niat kerja para petani Desa Nua Ja. Mereka membuat wadah yang disebut ‘Ghara’ baik di dapur atau pub di luar rumah. Ghara berfungsi untuk  melakukan proses pengeringan biji Feo yang alam bahasa lokal disebut ‘Sui Feo’. 

Sui Feo dengan wadah Ghara tentu saja memerlukan api yang dihasilkan dari kayu api (kayu bakar).  Selain kayu bakar warga Desa Nua Ja juga memanfaat cakang tempurung Feo. 

Ketika Feo  sudah kering, warga melakukan proses pemecahan biji kemiri (Pi'a Feo) menggunakan alat pemukul yang terbuat dari pelepah phon Pinang disebut "Mba'o" .  Memecahkan biji kemiri (Pi'a Feo) menggunakan Mba'o dimaksudkan agar daging biji kemiri tidak rusak, melainkan tetap utuh.

Seiring perkembangan zaman  kini Feo sudah diincar oleh para pedaganghingga ke kebun milik petani. Keadaan ini mendorong petani untuk menjual Feo langsung dengan cakangnya. Buah Feo yang baru dipanen dari kebun kemudian dikuliti dan bijinya dicuci  hingga bersih. Kemudian biji-biji Feo dikeringkan lalu langsung dijual kepada para pedagang. Dengan demikian proses Sui Feo dan Pi'a Feo terlewatkan.

Melalui cara instan eperti itu memang warga Desa Nua Ja dapat memperoleh uang dengan cepat. Namun, untuk proses berbasis kearifan lokal yang terabaikan, mereka terpaksa menerima harga jual Feo yang  lebih rendah, sekitar  Rp5.000 per kilogram saja. (Oleh: Marianus PD)***

Editor: redaksi

RELATED NEWS